Senin, 11 November 2024

 

Realitas Semu dalam Narasi Kesesatan Ahmadiyah di Ruang Digital

SAP 12

 

Studi sebelumnya menunjukkan bagaimana Ahmadiyah masih mengalami persekusi, seperti yang terjadi di Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan Algeria (Nagi, 2019; Budiwanti, 2009; Heychael, et.al, 2020; Greenwalt, 2021). Dalam hal ini, Ahmadiyah mengalami berbagai hujatan kebencian dalam media digital dengan tuduhan sesat (menyimpang dari kebenaran) oleh kelompok mayoritas (Rizkita, 2023; Azeem, 2021; Kohari, 2021). Namun, studi lain menegaskan bahwa persekusi terhadap kesesatan Ahmadiyah cenderung mengesampingkan fakta bahwa Ahmadiyah telah mulai membuka diri dengan meredefinisi keyakinan mereka dan juga telah lebih akomodatif dengan masyarakat sekitar (Tanveer; 2020; Ma’arif, 2022). Oleh karena itu, studi ini berargumen bahwa realitas tentang Ahmadiyah yang dibangun dalam ruang digital sebagai komunitas yang sesat dan menyimpang tidak lebih dari sekadar realitas semu yang tidak didasarkan pada kenyataan. Hal ini merujuk kepada pandangan Baudrillard (1994) tentang simulasi realitas yang tidak berbasis pada objek asli apa pun. Ini, tegas Baudrillard (1994), disebut sebagai realitas semu, di mana representasi yang awalnya mewakili realitas nyata telah bergeser menjadi realitas tanpa makna.

Media digital berperan dalam membangun realitas yang hyper (berlebihan). Baudrillard (1994) menyatakan bahwa digitality berpotensi menciptakan realitas melebihi apa yang dikonstruksi oleh iklan. Ia mengatakan “pemrosesan mikro, digitalitas, bahasa sibernetik melangkah lebih jauh melalui proses yang sangat mudah, melebihi iklan, dengan perantara sistem komputer.” Artinya, praktik penciptaan realitas di ruang digital melalui berbagai postingan lebih mudah dilakukan dari makanisme iklan (yang cenderung monoton). Dalam konteks ini, kelompok arus-utama mengubah kerja konstruksi mereka terhadap Ahmadiyah dari yang sebelumnya konvensional menuju pola-pola digital. Sehingga, persekusi melalui ruang digital ini semakin memperburuk posisi Ahmadiyah di tengah masyarakat (Rizkita, 2023; Kohari, 2021).

Apa yang dilakukan oleh kelompok arus-utama dalam ruang digital adalah membangun realitas Ahmadiyah dengan tidak mengikutsertakan sifat-sifat asli dari identitas Ahmadiyah yang terlihat di ruang nyata. Terkait hal ini, Baudrillard (1994) menyebutnya sebagai kegiatan informasi yang alih-alih memperkaya makna, tetapi menghancurkan intensitas makna dan mengakibatkan inersia (kecenderungan informasi yang diulang-ulang dan tidak berubah). Dalam hal ini, meskipun Ahmadiyah secara faktual telah menampakkan berbagai perubahan, seperti yang ditunjukkan oleh studi terdahulu tentang keterlibatan Ahmadiyah dalam kegiatan kemanusiaan secara nyata (Burhani, 2014; Solikhati, 2022; Tanveer, 2020; Moten, 2018), kelompok arus-utama tetap mengkonstruksi realitas kesesatan Ahmadiyah secara berulang-ulang dalam bahasa-bahasa yang konstan. Ini berarti bahwa realitas yang dibangun oleh arus-utama tentang Ahmadiyah tidak memperhatikan fakta-fakta sosial tentang eksistensi Ahmadiyah yang dinamis.

Pengabaian fakta sebenarnya tentang Ahmadiyah, menurut Baudrillard (1994), merupakan bentuk hiper-realitas di mana tanda tidak lagi mencerminkan realitas sesungguhnya tetapi ia mendahuluinya, bahkan mengaburkannya. Batas antara realitas dan representasinya menjadi kabur, sehingga apa yang dianggap ‘realitas’ justru merupakan konstruksi atau salinan dari sesuatu yang tidak lagi ada (Baudrillard, 1994). Dalam hal ini, masyarakat arus-utama telah terlebih dahulu membangun realitas kesesatan Ahmadiyah sebelum melakukan peninjauan lebih jauh tentang fakta-fakta ke-Ahmadiyah-an sehingga mengaburkan antara realitas simulatif dan realitas nyata (Chistyakov, 2020). Hal ini seperti yang diilustrasikan oleh Baudrillard (1994) tentang pembuatan peta yang mendahului wilayah; kesesatan Ahmadiyah telah terlebih dahulu diciptakan dalam ilusi sebelum melihat fakta yang sebenarnya.

Realitas semu yang dibangun oleh kelompok arus-utama terhadap Ahmadiyah pada akhirnya mendorong publik (masyarakat luas) ke arah yang pasif. Baudrillard (1994) memunculkan konsep deterrence (penangkalan), yaitu saat simulasi digunakan untuk menahan atau mengendalikan orang agar tidak terlalu banyak bertanya tentang realitas. Tanda atau gambar yang terus dilihat membuat orang merasa puas dan tidak mencari makna yang lebih dalam, sehingga menjadi pasif (Baudrillard, 1994). Dalam hal ini, untuk menangkal pertanyaan publik, kelompok arus-utama mengendalikan (mengelabui) publik dengan narasi atau dalih menjaga kesucian agama atau menjaga agama Tuhan, lalu dengan serta merta menyebut Ahmadiyah telah keluar dari keyakinan yang benar.

Hal yang penting pula digaris-bawahi adalah realitas Ahmadiyah yang dibangun oleh arus-utama melalui media digital semakin mengaburkan makna. Baudrillard (1994) berpendapat bahwa media menghasilkan implosi (keruntuhan) makna. Ia mengatakan, sering kali diasumsikan bahwa keberadaan informasi memproduksi makna; tetapi keberlimpahan informasi justru mengaburkan makna (we think that information produces meaning, the opposite occurs) (Baudrillard, 1994). Dalam narasi persekusi terhadap Ahmadiyah tampak bahwa keberlimpahan informasi (Bawden & Robinson, 2020) seputar persekusi Ahmadiyah di ruang digital tidak memberikan makna apapun bagi upaya menarik simpati terhadap penindasan yang dialami Ahmadiyah. Pada saat yang bersamaan itu justru hanya mengukuhkan legitimasi perilaku kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan publik terjebak dalam nebula hiperreal (kabut realitas buatan), di mana media dan realitas yang tanpa fakta saling membaur sehingga makna menjadi kabur (Baudrillard, 1994).

Meskipun demikian, keberlangsungan praktik hiperrealitas terkait Ahmadiyah tidak terlepas dari realitas perubahan masyarakat, yang disebut oleh Castells (2010) sebagai masyarakat jaringan (network society), struktur masyarakat baru yang didasarkan pada jaringan yang diberdayakan oleh teknologi informasi. Masyarakat jaringan ini memiliki jangkauan global, melampaui batas-batas geografis konvensional. Studi ini karenanya berargumen bahwa realitas sosial baru yang berjejaring ini semakin membuka ruang bagi persekusi terhadap Ahmadiyah secara mudah dan terbuka. Hal ini terlihat misalnya, berdasarkan temuan Greenwalt (2021), bahwa persekusi Ahmadiyah di Malaysia berjejaring dengan persekusi Ahmadiyah yang terjadi di Pakistan dan Algeria.

Lebih jauh, dalam masyarakat informasi, persekusi arus-utama terhadap Ahmadiyah menggambarkan sebuah dominasi aktor dalam mempertahankan identitas budaya spesifik. Castells (2010) menegaskan bahwa masyarakat informasi ditandai dengan dominasi/keunggulan identitas sebagai prinsip yang mengatur mereka. Dalam konteks ini, seorang aktor sosial mengenali dirinya sendiri dan membangun makna terutama berdasarkan atribut budaya tertentu, dengan mengecualikan budaya lainnya (Castells, 2010; Couldry & Hepp, 2020). Artinya, melalui kemajuan teknologi informasi, kelompok arus-utama berusaha membangun/membingkai identitas budaya keagamaan mereka secara spesifik, sebagai yang benar di satu pihak (Yan, 2020), namun mengecualikan (menggangap sesat) kelompok Ahmadiyah di pihak lain.

Dengan memberikan penekanan pada realitas kesesatan Ahmadiyah sebagai sesuatu/realitas yang semu, penelitian ini karenanya tidak sejalan dengan pandangan atau narasi keagamaan konservatif yang menarasikan Ahmadiyah sebagai sesat dan menyimpang (Wolf, 2019). Mayoritas studi terdahulu yang berkembang dalam tradisi keagamaan arus-utama menempatkan Ahmadiyah sebagai pihak yang dimusuhi (Akbarizan, 2009; Faizah & Thohri, 2018; Monica et.al, 2023), bahkan dianjurkan untuk dipersekusi. Oleh karena itu, di tengah bangunan  realitas tentang kesesatan Ahmadiyah yang mendominasi ruang publik digital, penelitian ini berfokus/bertujuan untuk melihat sisi lain dari konstruksi tersebut dengan menggunakan kerangka Baudrillard (1994) dan Castells (2010). Kerangka Baudrillard (1994) berguna untuk melihat sisi semu dari realitas yang dibangun oleh arus-utama, sementara Castells (2010) akan membantu memperjelas budaya virtual arus-utama dalam konstruksi realitas tersebut.

Untuk itu, pertanyaan penelitiannya adalah (1) apa bentuk realitas semu tentang kesesatan Ahmadiyah yang disimulasi oleh kelompok arus-utama dalam ruang digital? (2) bagaimana budaya virtual berjejaring yang dimiliki arus-utama memengaruhi simulasi terhadap realitas Ahmadiyah di ruang digital?

 Mind Map

Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.

Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society, 2nd ed. Oxford: Blackwell.

Akbarizan, A. (2009). Jamaah Ahmadiyah (Kesesatan yang Merusakan Kerukunan Umat Seagama). Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 1(2). DOI: http://dx.doi.org/10.24014/trs.v1i2.456.

Azeem, T. (2021). Pakistan’s Social Media Is Overflowing With Hate Speech Against Ahmadis. The Diplomat. https://thediplomat.com/2021/07/pakistans-social-media-is-overflowing-with-hate-speech-against-ahmadis/.

Burhani, A.N. (2014). Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals. Journal of Social Issues in Southeast Asia, (3), 657-90.

Budiwanti, E. (2009). Pluralism collapses: A Study of the Jama’Ah Ahmadiyah Indonesia and its persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.

Bawden, D., & Robinson, L.  (2020). Information Overload: An Introduction. Oxford Research Encyclopedia of Politics. Retrieved 11 Nov. 2024, from https://oxfordre.com/politics/view/10.1093/acrefore/9780190228637.001.0001/acrefore-9780190228637-e-1360.

Chistyakov, Denis. (2020). Media Construction of Social Reality and Communication Impact on an Individual. Proceedings of 5th International Conference on Contemporary Education, Social Sciences and Humanities-Philosophy of Being Human as the Core of Interdisciplinary Research (ICCESSH 2020). 10.2991/assehr.k.200901.028.

Couldry, Nick, and Andreas Hepp, 'Media and the Social Construction of Reality', in Deana A. Rohlinger, and Sarah Sobieraj (eds), The Oxford Handbook of Digital Media Sociology (2022; online edn, Oxford Academic, 8 Oct. 2020), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780197510636.013.2, accessed 10 Nov. 2024.

Faizah & Thohri, M. (2018). Strategi Penanganan Paham Keagamaan Menyimpang  dalam Perspektif Dakwah (Studi pada Kasus-kasus yang Ditangani MUI NTB). Jurnal Penelitian Keislaman, 14 (1), 13-29.

Greenwalt, P., Mohammad, N.,Vellturo, M. (2021). Persecution of Ahmadiyya Muslims. United States Commission on International Religious Freedom Kohari, A. (2021). How social media became a deadly trap for a minority group in Pakistan. Rest of world. https://restofworld.org/2021/facebook-pakistan-ahmadis/.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Moten, A. (2018). Ahmadiyya: Growth and Development of a Persecuted Community. Malaysian Journal of International Relations, 6. 35-46. 10.22452/mjir.vol6no1.4.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

Monica, A., Nur, A.L., Fauzi, A.M., & Sajari, D. (2018). Teologi Ahmadiyah di Indonesia Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, 5 (2), 17-136.  Doi: http://dx.doi.org/10.24042/ijitp.v5i2.19754.

Nagi, A. I. (2019). Hate, fear, conformity- How the Pakistani media is marginalizing the persecuted (Unpublished graduate research project). Institute of Business Administration, Pakistan. Retrieved from https://ir.iba.edu.pk/research-projects-msj/2.

Rizkita, M., & Hidayat, A. (2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20 (1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.

Tanveer. R. (2020). Ahmadiyya and secularism: Religious persecution at home affects endorsement for secular values in Canada. Religion and Culture Major Research Papers. 3.
https://scholars.wlu.ca/rlc_mrp/3.

Solikhati, S. (2022). Religious moderation and the struggle for identity through new media: Study of the Indonesian Ahmadiyya Congregation. Religious, 6 (2). https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/15058.

Wolf, S.O. (2019). Persecution against the Ahmadiyya Muslim Community in Pakistan: A multi-dimensional perspective. Sadf Research Report, 1. www.sadf.eu.

Yan, F. (2020). Media Construction of Social Reality. In: Image, Reality and Media Construction. Springer, Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-32-9076-1_3.

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...