Senin, 13 Juli 2020

Gerakan Akomodatif Salafisme: Review Kritis


            Salafi sering dianggap sebagai kelompok sempalan yang tidak memiliki orientasi kebangsaan yang tinggi. Adeni (2020: 49) melihat bahwa “kelompok salafi menyuarakan Islam murni yang merujuk kepada asas fundamental Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, berdasarkan pada tradisi Nabi dan para salaf salih. Kelompok ini menolak amaliyah keagamaan (keislaman) yang tidak ada tuntunannya secara tekstual di dalam dua sumber tersebut.”  Upaya merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman tekstual menjadikan kelompok ini tidak jarang dianggap kaku dalam beragama. Pada batas tertentu keberadaan dan pergerakan kelompok dianggap tidak akomodatif terhadap negara bangsa.

Artikel ini mencoba membantah pernyataan tersebut. Untuk sampai pada argumentasi bantahan, kita dapat merujuk ragam bentuk kelompok salafi. Salafi terbagi menjadi tiga golongan, yaitu kelompok salafi dakwah/rijeksionis, salafi reformis, dan salafi jihadis (Adeni & Hamid, 2020). Ketiganya memiliki orientasi pergerakan yang berbeda satu sama lain. Salafi dakwah atau rijeksionis sering disebut pula salafi murni (purist salafism). Dikatakan demikian karena golongan ini hanya bergerak dalam dakwah, tidak bersentuhan dengan politik, bahkan menolak gerakan reformis dan jihadis Islam. Orientasi dari kelompok ini adalah kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara golong reformis dan jihadis adalah dua golongan salafi yang berbasis pada gerakan perubahan secara radikal. Yang reformis terlibat dalam politik praktis dengan perjuangan membangun negara/sistem Islam, sedangkan yang jihadis terlibat dalam “eksterimitas” mengatasnamakan Islam. Dua wajah salafi terakhir ini lebih sering dianggap merepresentasikan pergerakan salafi secara umum. Dua golongan ini tidak jarang terlibat konfrontasi dengan pemerintah negara yang dianggap sekuler dan sejalan dengan prinsip Islam.

Salafi dakwah atau salafi rijeksionis punya gerakan yang berbeda. Dalam bernegara, kelompok ini cenderung lebih mudah berintegrasi dengan negara. Sikap dan prinsip keberagamaan mereka yang tidak suka berpolitik praktis dan tidak suka melakukan jihad dalam bentuk perang, membuat kelompok ini mendapat ruang yang bebas dalam berekspresi di suatu negara bangsa. Mereka bahkan menyatakan bahwa “tidak boleh atau dilarang melawan atau memberontak pada pemerintah yang sah.” Gerakan salafi seperti Rodja TV adalah gerakan salafi yang bergerak tidak pada wilayah politik. Mereka terlibat dalam pengembangan pendidikan, kegiatan bantuan sosial dan bencana alam, bahkan dalam batas tertentu mereka berkolaborasi dengan aparat penegak hukum dalam melawan terorisme atau kekerasan yang mengatasnmakan agama.

 

 

Bacaan

Adeni. 2020. “Paradoks Komunikasi-Dakwah Fundamentalis Salafi: Kasus Masjid Nurul Jam’iyah Jambi”. Jurnal Dakwah Risalah, Volume 31, Nomor 1 Juni 2020. DOI: 10.24014/jdr.v31i1.8882, pp. 48-69. http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/risalah/article/view/8882

Adeni, A., & Hamid, N. (2020). Pergulatan Kelompok Civil Islam Arus Utama dan Sempalan dalam Ranah Private, Public, Market, dan State: Pendekatan Sosiologis. International Journal Ihya''Ulum al-Din22(1), 71-96. https://journal.walisongo.ac.id/index.php/ihya/article/view/5586

 

 


Selasa, 01 Oktober 2019

Fundamentalisme untuk Islam: sebuah Peristilahan yang Tidak Valid



Peristiwa terorisme yang terjadi di New Zealand pada hari Jumat 15 Maret 2019 menambah catatan buruk sejarah hubungan antar umat beragama dan hubungan kemanusiaan dewasa ini. Kejadian ini sungguh menyita publik dunia, tidak hanya di dunia Muslim tetapi juga dunia Barat non-muslim. Kejadian yang penuh bengis dan tak berperikemanusiaan ini menegaskan kepada kita bahwa masih ada di antara umat manusia yang masih tidak nyaman hidup dalam kedamaian, keamanan, dan saling mengasihi, padahal dasar pokok semua agama yang ada di dunia ini adalah kasih sayang Tuhan. Dengan Maha kasih-Nya, Dia (Tuhan) berikan agama untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan dan pertikaian. Al-Qur’an sendiri memulai semua ayatnya dengan bismillahirrahmaanirrahim, yang sangat menekankan “kasih sayang.”

Terkait kasus New Zealand, berbagai spekulasi muncul ke permukaan. Ada yang mengatakan, kejadian ini sebagai peristiwa rasis yang luar biasa sepanjang sejarah New Zealand yang selama ini dinilai sebagai negara yang aman. Ada yang menilai, kejadian ini justru menjadi tonggak persatuan dan solidaritas keagamaan di New Zealand. Di antara media Barat, ada yang mengatakan bahwa kejadian itu bukanlah terorisme, tetapi hanya pembunuhan biasa, untuk mengalihkan pemberitaan dari term terorisme. Namun yang paling jelas dan riil di mata dunia adalah bahwa korban dari kejadian kali ini adalah umat Islam, yang selama ini sangat sering dituduh sebagai teroris-ektremis. Kajadian ini dengan tegas membantah tesis besar yang dikonstruksi oleh media selama ini yang menyatakan Islam sebagai agama teroris-ekstremis.

Kejadian ini mendorong penulis menegaskan kembali makna fundamentalisme Islam yang selama ini sering dituduh sebagai penyebab terorisme-esktremisme.  Sebagian ahli Barat sering menghubungkan terorisme dengan fundamentalisme Islam. Mereka memahami, bahwa fundamentalisme itu merupakan sebagai sikap rigid (kaku), tertutup, suka melakukan kekerasan, bengis, dan tidak berkasih-sayang. Bernard Lewis misalnya, dalam buku The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. Akan tetapi fundamentalisme yang dipahami Barat ini berbeda sekali dengan apa yang dipahami dan dikenal di dunia Islam. Jika Barat sering memahami fundamentalisme agama sebagai terorisme, maka Islam tidaklah demikian dalam memahaminya. Muhammad Imarah tergolong akademisi yang mempertanyakan keabsahan peristilahan fundamentalisme dalam konteks Islam. Menurut Imarah, dalam Islam, istilah tersebut dipadankan dengan istilah al-usuliyat yang berarti dasar-dasar agama. Islam tidak mengenal fundamentalisme dengan karakter sebagaimana di Barat yang merujuk kepada tiga karakter, antara lain: pertama, kebuntuan, menolak adaptasi, menolak setiap perubahan dan perkembangan. Kedua, kembali ke masa lalu, dan berafiliasi kepada warisan masa lalu. Ketiga, ketiadaan toleransi, tertutup, fanatik mazhab, dan keras pendirian.


Fundamentalisme dalam al-Qur’an
            Terminilogi “ushuliyyat” yang merupakan terjemahan dari fundamentalisme dalam Islam dapat dilihat di antaranya dalam ayat berikut, yaitu:
1.      Q.S. Al-Hasyr: 5:

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفاسِقِينَ

 “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.

2.      Q.S. Ash-Shaaffat: 64:
إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِىٓ أَصْلِ ٱلْجَحِيمِ
           
“Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala.”

3. Q. S. Ibrahim: 24.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”

Ayat-ayat di atas menjelaskan, bahwa untuk menunjuk kata fundamentalisme, Islam menggunakan istilah “Ashal atau Ushul” yang berarti pokok, dasar, atau akar. Ulama Ushul Fiqh menyebut bahwa yang dimaksud dengan ushul di antaranya dasar-dasar pokok keislaman berupa al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, fundamentalisme juga bisa terjadi di dunia non-Muslim. Setiap pemeluk agama yang taat adalah seorang fundamentalis sejati, karena ia berpegang teguh pada dasar dan pokok keagamaan yang diyakininya. Seorang Muslim disebut fundamentalis ketika ia rajin melaksanakan shalat, membayar zakat, berhaji, dan lain-lain. Seorang Kristen dapat disebut fundamentalis ketika mereka datang ke Gereja dan berpanjat doa di sana. Begitu pun Hindu, Budha, dan Konghuchu, semuanya berpegang pada pokok ajarannya masing-masing. Adapun tindakan teroris-radikal yang melakukan kekerasan tidak relevan untuk dikait-hubungkan dengan fundamentalisme. Tindakan kekerasan apa pun itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang tidak bersumber dari institusi agama.

Di antara ahli Barat yang  menolak menghubungkan terorisme dengan fundamentalisme Islam adalah Andereas Armborst. Ia mengatakan, tidak ada keterkaitan antara fundamentalisme Islam dengan tindak kekerasan, apalagi terorisme. Menurutnya, fundamentalisme diidentifikasi sebagai salafisme yang di antara cirinya adalah penentangan terhadap konsensus modernisme dan sekularisme dan menganut tafsiran tekstual terhadap kitab suci. Salafisme tidak bisa disebut sebagai global jihad dan terorisme, karena mayoritas mereka absen dari aktivitas politik.

John L. Esposito cenderung menggunakan istilah ‘revivalisme Islam dan Islamis’ untuk gerakan keagamaan seperti Ikhwan al-Muslimin di Mesir yang berhasil membangun masyarakat menjadi lebih islami. Eksistensi mereka hampir terdapat dalam seluruh lapisan masyarakat, seperti psikolog, wartawan, pengacara, ilmuwan politik. Aktivitas mereka tersebar dalam banyak lembaga seperti sekolah-sekolah Islam, klinik kesehatan, rumah sakit, pelayanan sosial, dan lembaga penerbitan. Mereka muncul sebagai respon atas kegagalan negara dan krisis kemasyarakatan ketika tidak ada kepemimpinan efektif di negaranya. Penggunaan terminologi fundamentalisme Islam, sebagaimana dalam karyanya yang lain yakni The Future of Islam hanya dibatasi pada wahabi Islam dan salafi Islam.

Karena itu, agama harus diposisikan sebagai wahana memantapkan spiritualitas dan menebarkan kedamaian. Sebentar lagi kita akan menyambut Bulan Rajab di mana di dalamnya terdapat peristiwa Isra wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perjalanan agung dan mulia itu merefleksikan banyak hal bagi umat manusia. Lihatlah ketika dalam perjalanannya, Jibril meminta turun melaksanakan shalat di suatu tempat. Setelah Rasulullah shalat dua rakaat, Jibril berkata bahwa tempat Nabi shalat itu adalah Kota Yatsrib, yang nantinya akan menjadi tempat Nabi berhijrah, yang kemudian disebut dengan Kota Madinah. Madinah adalah model utama bagi kota paling aman dan damai di dunia. Semua kalangan agama dan suku yang berbeda dapat hidup dengan damai di sana melalui Piagam Madinah.

Rasulullah SAW juga diminta turun di suatu tempat, yang ternyata tempat itu adalah Bait Lehm, tempat di mana Nabi Isa AS dilahirkan oleh Ibunya Siti Maryam. Ini mengindikasikan bahwa Islam sangat hormat kepada Nasrani di mana Isa AS sebagai Nabinya. Rasulullah SAW diperlihatkan Gunung Sinai/Thursina, sebuah tempat di mana Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa AS. Ini menunjukkan Islam sangat respek kepada agama Yahudi di mana Nabi Musa merupakan salah satu Nabinya. Rasulullah pada akhirnya sampai di Masjid Aqsha di Palestina di mana beliau shalat dengan seluruh Malaikat dari lintas generasi, dan beliau sebagai imamnya, yang merefleksikan sikap Islam yang begitu respek kepada semua golongan tanpa diskriminasi sedikit pun.




Minggu, 04 Agustus 2019

Dakwah Lintas Budaya: Pengantar


Prolog

Dakwah lintas budaya merupakan kegiatan dakwah yang terjadi dalam konteks masyarakat berbeda budaya. Prosesnya dilakukan dengan memerhatikan konteks di mana dakwah itu disampaikan. Masyarakat sebagai mad'u atau penerima dakwah tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang hampa nilai. Mereka hidup dalam dinamika sosial kebudayaan yang luar biasa. Inilah yang menjadi alasan mengapa dakwah harus mempertimbangkan konteks sosio-kultural masyarakat yang didakwahi.

Lantas Apa yang Dimaksud Dakwah Lintas Budaya?

Dakwah sendiri berasal dari kata da'a-yad'u-da'watan, yang berarti mengajak dan menyeru. Dakwah dalam pengertian ini tampaknya terbatas hanya pada tindakan informatif semata, tetapi Islam mendorong lebih dari sekadar menginformasikan sesuatu. Karenanya, term dakwah dapat diartikan secara kontekstual, yaitu tidak hanya sebatas mengajak kepada jalan kebaikan, tapi juga segala bentuk tindakan yang mengarahkan manusia kepada jalan Allah. Kegiatan pembimbingan,  pembinaan, pembangunan, dan pengembangan komunitas dalam pengertian luas dapat disebut sebagai bentuk dakwah Islam. 

Dakwah Islam merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Dua sumber ini dengan segala interpretasinya harus menjadi rujukan dakwah Islam. Dua sumber tersebut dalam hal-hal tertentu sangatlah absolut dan tidak dapat diganggu-gugat, tetapi pada batasan yang lain, untuk hal-hal yang bersifat umum (zhanni) terbuka ruang untuk dimaknai, didiskusikan, dan bahkan disesuaikan dengan realitas sosial yang dinamis. Inilah makna dari al-Islam shalih likulli zaman wa makan (dakwah Islam melampaui ruang dan waktu).

Keterbukaan pesan Islam untuk diinterpretasikan menjadi jaminan bagi kesiapan Islam untuk berinteraksi dengan realitas lain yang berbeda. Islam tidak semata-mata mengubah apapun yang tampak dari kebudayaan manusia. Islam dengan fleksibelitas ajarannya mencoba untuk beradaptasi dengan realitas perbedaan, meskipun Islam di satu sisi dalam posisinya sebagai ajaran adalah sebuah dogma yang sangat instruksional dari Sang Khaliq. Watak keterbukaan ini pula lah yang menjadi dasar dakwah lintas budaya. 

Dakwah lintas budaya merujuk pada prinsip Islam rahmatan li alamin sebagaimana ciri-cirinya yang telah dipaparkan di atas. Dakwah lintas budaya pada hemat saya berbeda jauh dengan dakwah yang dilakukan oleh sementara kalangan Islam dalam bentuk dakwah coersive (pemaksaan). Dakwah lintas budaya mencoba menerjemahkan pesan-pesan Islam dalam konteks masyarakat yang sarat dengan kebudayaan, dengan cara-cara yang soft, lembut, dan penuh apresiasi.

Urgensi Dakwah Lintas Budaya: Merespons Trend Budaya Kontemporer

Studi lintas budaya akan memberikan beragam perspektif dalam melaksanakan dakwah Islam. Sebagaimana dimaklum bahwa pada saat ini Islam mau tidak mau harus berhadapan dengan kemajuan masyarakat dengan beragam ekspresi dan trend kebudayaannya. Masyarakat hari ini adalah masyarakat dengan segala kemungkinan yang terjadi. Mereka di satu sisi, meski tidak semua, hidup dalam keadaan instabilitas dan labilitas yang sangat tinggi. Instabilitas ini paling tidak ditunjukkan dengan ketidaksiapan mereka menerima atau melihat realitas baru yang muncul di hadapan mereka. Kebudayaan baru apapun gampang sekali mengambil alih dan mengikis posisi penting nilai-nilai luhur yang mengakar dalam masyarakat. Karenanya perspektif dakwah yang kontekstual harus menjadi perhatian serius. 

Di antara faktor penting pendorong perubahan dan instabilitas masyarakat adalah pergerakan cepat dari pertumbuhan teknologi media. Keberadaan media yang dapat dimanfaatkan secara terbuka oleh siapapun memberikan beragam informasi yang dalam batas tertentu dapat mengubah persepsi masyarakat tentang kematangan nilai. Bagi sebagian masyarakat, kematangan nilai itu tidak pernah ada. Umumnya pendapat seperti ini diilhami oleh pikiran postmodernisme. Masyarakat hari-hari ini adalah masyarakat kontemporer yang gampang sekali berubah. Dakwah lintas budaya diarahkan untuk mengambil bagian dalam konteks demikian.

Kegagalan dakwah Islam bisa berangkat dari ketidaksiapan menghadapi masyarakat yang berubah sedemikian cepat. Dakwah yang dijalankan dengan cara-cara lama umumnya tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan masyarakat. Dalam kondisi tertentu, dan ini yang menyedihkan, dakwah Islam tidak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan yang bernuansa politis. Islam menjadi alat praktis untuk meraih kepentingan pragmatis oleh segelintir orang. Hal ini terjadi dan tidak dapat dibantah, karena memang ajaran Islam kehilangan strategi terbaiknya dalam membimbing manusia. Alih-alih dapat membimbing manusia ke jalan yang benar, dakwah Islam justru dinarasikan di bawah orientasi politik yang tidak sehat. Karenanya, dakwah Islam dengan perspektif lintas budaya juga memberikan arahan tentang bagaimana masuk ke ranah sosial-praktis seperti politik sebagai pembimbing dan penunjuk jalan.

Senin, 03 September 2018

Sekilas Cerita Konferensi dan Sinopsis Makalah



Baru-baru ini saya memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan makalah pada 9 th International Graduate Student Conference of Nursi Studies. Saya menulis makalah mengenai pandangan Said Nursi tentang media dan implementasinya pada gerakan Nur, khususnya di Indonesia. Makalah ini ditulis dalam bahasa Inggris, sebanyak 15 halaman.
Konferensi yang diselenggarakan di Istanbul Turki ini mencoba melihat kajian-kajian Nursi pada level tesis dan disertasi yang diikuti oleh para pengkaji Nursi dari beberapa negara.
Kegiatan ini berorientasi akademik. Ia memosisikan Nursi tidak saja sebatas figur ulama atau pendakwah atau pun sebagai tokoh Islam Turki, tapi juga sebagai objek yang dapat dikaji dengan sudut pandang ilmiah. Karenanya wajar jika pada awal pembukaan konferensi, Prof Farid Alatas menyatakan, “Anda diundang ke sini bukan saja untuk berdakwah, tapi mesti menawarkan frame berpikir dan konsep-konsep yang relevan dalam membingkai Nursi sebagai suatu objek kajian.” Hal yang sama juga disampaikan Dr. Colin Turner dalam presentasinya. Ia melihat Nursi tidak sebatas sumber inspirasi spritual, tapi sebagai objek akademik yang bisa dikaji dengan frame-frame ilmiah. Dan tampaknya demi menjaga orientasi akademik, para pemakalah yang mempresentasikan makalahnya pada konferensi tersebut mesti berhadapan dengan para reviewer yang bertugas memberikan penilaian, komentar dan catatan-catatan.
Sedikit cerita. Saya pada awalnya cukup merasa tercengang. Saya kira datang ke Istanbul hanya untuk presentasi makalah dan tidak berharap adanya pertanyaan-pertanyaan dari partisipan lain. Kebiasaan kita di Indonesia (khususnya saya) memang begitu. Kita lebih suka tidak ditanya apa-apa oleh para pendengar, apalagi disangkal dengan macam-macam argumentasi. Nah, alih-alih bisa mengelak, saya justru harus berhadapan dengan tim reviewer khusus yang telah ditentukan oleh pihak Istanbul Foundation. Rasanya seperti ditarik kembali ke forum ujian promosi magister dulu, di mana saya dibantai oleh tim penguji.
Saya diberi kesempatan menyampaikan makalah pada hari Selasa. Reviewernya adalah Prof. Farid Alatas, Dr. Shumaila Madjid, dan Dr. Elmira Akhmetova. Sebenarnya jauh sebelum itu, secara tuntas, makalah saya telah direview dan dikoreksi oleh Prof. Andi Faisal Bakti. Beliau pulalah yang menyarankan banyak hal dalam makalah ini. Saya haturkan banyak-banyak terimakasih.
Saya menggunakan frame media lama (old media) dan media baru (new media) untuk menganalisis media dalam pemikiran dan gerakan Nur. Buku David Holmes (2004) dan Gill Branston-Roy Stafford (2010) adalah dua buku yang paling saya sukai dan kuasai dalam kajian media lama dan media baru. Saya mencoba menjawab pertanyaan besar bagaimana pandangan dan penggunaan media dalam gerakan Nursi dilihat dari dua perspektif tersebut di atas. Media lama dapat berupa media cetak seperti buku dan surat kabar, dan media elektronik seperti radio dan televisi. Sedangkan media baru memasukkan segala bentuk perkembangan media sosial yang menekankan interaktivitas sperti yang marak sekarang ini. Dengan kata lain, saya berusaha menggali sejauhmana media-media tersebut (lama dan baru) dipikirkan oleh Said Nursi dan diimplementasikan oleh gerakan Nur khususnya di Indonesia?
Terhadap makalah saya, terdapat beberapa catatan dari tim reviewer. Di antara poin yang paling penting adalah:
  1. Saya mesti berhati-hati menggunakan istilah yang tidak lazim bagi kebanyakan orang sprti menggunakan kata “aktor” untuk menyebut “pendakwah (Komentar Dr. Shumaila Madjid)
  2. Saya sebaiknya mempertimbangkan kembali penggunaan istilah “Islamic media,” karena istilah tersebut tidak umum di kalangan ahli komunikasi, bahkan masyarakat awam (Komentar Dr. Elmira Akhmetova). Meski kemudian sya bantah dengan mengatakan “justru inilah yang ingin saya bangun dari kerja akademik saya, bahwa term media Islam adalah sesuatu yang ilmiah.”
  3. Term-term Islam pada bagian konseptual metodologis digunakan untuk apa? Apa manfaatnya bagi karya Anda? Apa distingsinya dari term-term Kristen, Hindu, Budha, dll? Contoh term “al-kitab (yang berarti buku)” sebagai term al-Quran yang Anda tawarkan. Apa bedanya dengan tradisi agama lain yang ternyata juga menggunakan term yang sama? (Pertanyaan Prof. Farid Alatas). Paling tidak saya menjawab bahwa setiap term-term media yang saya bangun dari al-Quran memiliki konteks yang berbeda dengan term yang sama pada agama lain. Apa yang saya maksudkan dengan term “al-Kitab (buku)” sebagai konsep al-Quran tentang media lama (old media) misalnya, bukanlah berarti buku-buku biasa yang di dalamnya bisa berisi apa saja, tapi mestilah buku-buku yang sarat nilai (moralitas). Artinya, media apapun yang digunakan termasuk buku sangatlah berkaitan dengan nilai yang dibawanya. Dengan konsep ini, maka apa yang diinginkan dari media Islam (dalam hal ini media gerakan Nursi) akan dapat terbaca dengan baik.
  4. Masih banyak komentar lain dari tim reviewer, tapi yang cukup membesarkan hati adalah ketika mereka melihat kajian media dalam konteks Nursi terbilang unik, orisinil, dan menarik, karena sekarang media menemukan trendnya dalam konteks globalisasi.
Terlepas dari semua catatan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa Said Nursi adalah ulama yang mendukung keberadaan dan penggunaan media lama dan media baru selama digunakan untuk kebaikan. Meski demikian, dalam tataran impelementasi, untuk tujuan penguatan dakwah khususnya di Indonesia yang majemuk dengan segala dinamikanya, penggunaan media lama dan media baru mesti terus diperkuat dan sebaiknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan dakwah Nur.
Pandangan Nursi: antara Media Lama (Old Media) dan Media Baru (New Media)
Said Nursi melihat media sebagai sebuah anugerah yang patut disyukuri. Nursi, dalam The Rays menyatakan:
“The strongest of all was this, that I said in one place that Almighty God’s great bounties of aeroplane, railway, and radio should be responded to with great thanks, yet mankind had not done this and had rained down bombs on men’s heads with the planes. While thanks for the vast bounty of the radio would be shown by making it a universal million-tongued reciter of the Qur’an which would allow people all over the earth to listen to the Qur’an. And in the explanation in the Twentieth Word of Qur’anic predictions about the wonders of civilization. I said concerning the allusions of one verse that the unbelievers would defeat the Islamic world by means of the railway. Although I urged Muslims to work towards these wonders, I am accused at the end of the indictment because of the previous public prosecutor’s malice of “opposing modern advances like the railway, aeroplane, and radio.” (The Rays, 2008: 301, Pdf file).
Dalam ungkapan tersebut terlihat sekali bagaimana Nursi memandang radio, sebuah media yang berkembang pada zamannya sebagai media yang dapat dimanfaatkan bagi upaya menjaga al-Quran (dakwah). Karenanya, tidak heran jika gerakan Nur di seluruh dunia, khususnya di Indonesia juga cukup giat menjadikan radio sebagai media dakwah. Di Indonesia kita tahu bahwa radio RAS FM 95.05 Jakarta adalah radio di mana dakwah Nursi mendapat bagian untuk on air di sana.
Jika dilihat dengan perspektif media lama dan media baru, dapatlah dikatakan bahwa Said Nursi telah memberikan perhatiannya untuk media lama, dalam hal ini radio. Meskipun Nursi tidak menyebut radio (tentu juga memasukkan televisi di dalamnya),sebagai old media berdasarkan ketegori David Holmes (2004). Hal ini bukanlah berarti Nursi tidak mendukung keberadaan media baru (new media) dalam pengertian zaman now, seperti media sosial berbasis internet. Dalam batas tertentu dan tentu dengan pengertian yang terbatas pula, keberadaan radio pada masa Nursi tampaknya telah dianggap sebagai wujud media baru (new media), karena radio berwujud elektronik, yang berbeda dengan media tradisional seperti buku, brosur, dan surat kabar pada saat itu.
Dengan demikian saya berpendapat bahwa baik media lama maupun media baru, keduanya sama-sama mendapat tempat dalam pemikiran Said Nursi. Dia justru tampaknya mengakui setiap media selalu berkembang dalam wujud baru dan selalu terus menerus tampil baru seiring dengan perkembangan zaman, sebagai buah dari peradaban seperti yang ia istilahkan sebagai “the wonders of civilization” di atas. Pandangan ini sejalan dengan Branston-Stafford (2010) yang menilai media lama dan media baru selalu relevan untuk digunakan secara bersamaan, dan tentu sebuah media akan selalu tampil dalam wajah baru.
Berbicara media dalam konteks Said Nursi, saya menemukan sesuatu yang unik. Nursi tidak hanya berbicara mengenai bentuk media (lama atau baru), tapi ia juga menekankan pada etika media berkaitan dengan penggunaannya. Hal ini tampak jelas dalam ungkapannya, “…the radio would be shown by making it a universal million-tongued reciter of the Qur’an which would allow people all over the earth to listen to the Qur’an.”
Bukti lain Said Nursi memberikan perhatian besar pada nilai dan etika media adalah ungkapannya berikut ini:
“It says in a narration: ” The day the Dajjal appears all the world will hear. He will travel the world in forty days and has a wondrous ass.” God knows best, on the condition such conditions are completely sound, they miraculously predict that in the time of the Dajjal, the means of communication and travel will have so advanced that an event will be heard by all the world in a day. It will be shouted out by the radio and will be heard in east and west, and will be read about in all the newspapers. One man will travel the whole world in forty days and see the seven continents and seventy countries. Theses narrations thus miraculously foretold the telegraph, telephone, radio, railway, and airplane ten centuries before they appeared.” (The Rays, 2008: 110, Pdf file).
Berdasarkan pernyataan tersebut tampak bahwa Said Nursi sangat mengerti betul dengan perkembangan media dari masa ke masa. Ia bahkan telah memrediksi bahwa zaman Dajjal adalah zaman kemajuan pesat media komunikasi dan transportasi. Dan kenyataannya memang demikian. Prediksi Nursi tidak meleset. Apa yang terjadi di Amerika hari ini misalnya, kita di Indonesia akan dengan mudah mengetahuinya selama kita terkoneksi dengan internet melalui media sosial yang menjadikan segala informasi dalam sekejap bisa menjadi viral.
Pentingnya moralitas media bagi Said Nursi juga terlihat dari pernyataannya tentang setan yang menggunakan radio. Ia berkata:
“…Satan will broadcast it to the world by radio…” (The Rays, 2008: 291, Pdf file). Tentu pernyataan ini bukanlah berarti generalisasi bahwa setiap yang menggunakan media adalah Setan, tapi lebih merupakan peringatan bahwa media komunikasi dan informasi di era global lebih banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang kurang mengedepankan moralitas dan lebih suka mengalabui manusia, layaknya setan.

Apa yang dipikirkan Nursi mengenai media komunikasi, Dajjal, dan setan seperti disebutkan di atas tepat sekali jika didiskusikan dalam konteks media baru saat ini. Branston dan Stafford (2010) memandang bahwa media baru (new media) kurang dapat diandalkan jika berhubungan dengan persoalan nilai. Ia menulis berikut:
“…a sense of public and private is being eroded, whit Facebook and other sites allowing violent verbal abuse, bullying, and ignorant comment in ways that would not be allowed in a property ‘public’ space. There are also concerns about the global spread of pornographic discourses.”
Tampaknya inilah salah satu arti dari Setan menguasai media dalam pandangan Said Nursi. Media (khususnya media baru) dapat digunakan untuk apa saja karena memang new media menwarkan kebebasan, keterbukaan, dan tidak terkontrol (David Holmes: 2010). Bagi Nursi, media yang terus menerus berkembang pesat sebagai buah peradaban itu, tidak dapat dihentikan, justru harus disyukuri. “… that I said in one place that Almighty God’s great bounties of aeroplane, railway, and radio should be responded to with great thanks.” (The Rays: 301).
Karena itu, berdasarkan pada pandangan Nursi, hal yang mesti dilakukan adalah mendasari setiap penggunaan media dengan nilai-nilai/moralitas. Dari sini pulalah dapat diyakini bahwa Said Nursi menganjurkan pentingnya jurnalistik Islam, media Islam.
Dalam konteks Indonesia, gerakan Nur telah berusaha mengarahkan potensi media baru untuk kegiatan dakwah, seperti penggunaan Facebook, WA, Twitter, Instagram yang diberi nama “Sahabat Risalah Nur.”
Akhirnya, usaha menggiring media baru (new media) ke arah yang lebih bermanfaat dalam bentuk kegiatan dakwah dan sosial dapat dinilai sebagai bagian dari wajah media Islam, yang untuk kepentingan jangka panjang, sangatlah mendesak untuk dilakukan dan mesti terus dikembangkan.
Dan istilah media Islam adalah istilah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan fakta/data bahwa media Islam telah tampil dalam wujud media-media dakwah yang dapat dibuktikan secara empiris.
Harapannya ke depan,kemajuan media dapat berkontribusi besar bagi perkembangan dakwah Nursi di Indonesia.
Amiiin. Amiin. Amiin.

Gerakan Akomodatif Salafisme: Review Kritis

            Salafi sering dianggap sebagai kelompok sempalan yang tidak memiliki orientasi kebangsaan yang tinggi. Adeni (2020: 49) meliha...