Selasa, 01 Oktober 2019

Fundamentalisme untuk Islam: sebuah Peristilahan yang Tidak Valid



Peristiwa terorisme yang terjadi di New Zealand pada hari Jumat 15 Maret 2019 menambah catatan buruk sejarah hubungan antar umat beragama dan hubungan kemanusiaan dewasa ini. Kejadian ini sungguh menyita publik dunia, tidak hanya di dunia Muslim tetapi juga dunia Barat non-muslim. Kejadian yang penuh bengis dan tak berperikemanusiaan ini menegaskan kepada kita bahwa masih ada di antara umat manusia yang masih tidak nyaman hidup dalam kedamaian, keamanan, dan saling mengasihi, padahal dasar pokok semua agama yang ada di dunia ini adalah kasih sayang Tuhan. Dengan Maha kasih-Nya, Dia (Tuhan) berikan agama untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan dan pertikaian. Al-Qur’an sendiri memulai semua ayatnya dengan bismillahirrahmaanirrahim, yang sangat menekankan “kasih sayang.”

Terkait kasus New Zealand, berbagai spekulasi muncul ke permukaan. Ada yang mengatakan, kejadian ini sebagai peristiwa rasis yang luar biasa sepanjang sejarah New Zealand yang selama ini dinilai sebagai negara yang aman. Ada yang menilai, kejadian ini justru menjadi tonggak persatuan dan solidaritas keagamaan di New Zealand. Di antara media Barat, ada yang mengatakan bahwa kejadian itu bukanlah terorisme, tetapi hanya pembunuhan biasa, untuk mengalihkan pemberitaan dari term terorisme. Namun yang paling jelas dan riil di mata dunia adalah bahwa korban dari kejadian kali ini adalah umat Islam, yang selama ini sangat sering dituduh sebagai teroris-ektremis. Kajadian ini dengan tegas membantah tesis besar yang dikonstruksi oleh media selama ini yang menyatakan Islam sebagai agama teroris-ekstremis.

Kejadian ini mendorong penulis menegaskan kembali makna fundamentalisme Islam yang selama ini sering dituduh sebagai penyebab terorisme-esktremisme.  Sebagian ahli Barat sering menghubungkan terorisme dengan fundamentalisme Islam. Mereka memahami, bahwa fundamentalisme itu merupakan sebagai sikap rigid (kaku), tertutup, suka melakukan kekerasan, bengis, dan tidak berkasih-sayang. Bernard Lewis misalnya, dalam buku The Crisis of Islam menyatakan, bahwa fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. Akan tetapi fundamentalisme yang dipahami Barat ini berbeda sekali dengan apa yang dipahami dan dikenal di dunia Islam. Jika Barat sering memahami fundamentalisme agama sebagai terorisme, maka Islam tidaklah demikian dalam memahaminya. Muhammad Imarah tergolong akademisi yang mempertanyakan keabsahan peristilahan fundamentalisme dalam konteks Islam. Menurut Imarah, dalam Islam, istilah tersebut dipadankan dengan istilah al-usuliyat yang berarti dasar-dasar agama. Islam tidak mengenal fundamentalisme dengan karakter sebagaimana di Barat yang merujuk kepada tiga karakter, antara lain: pertama, kebuntuan, menolak adaptasi, menolak setiap perubahan dan perkembangan. Kedua, kembali ke masa lalu, dan berafiliasi kepada warisan masa lalu. Ketiga, ketiadaan toleransi, tertutup, fanatik mazhab, dan keras pendirian.


Fundamentalisme dalam al-Qur’an
            Terminilogi “ushuliyyat” yang merupakan terjemahan dari fundamentalisme dalam Islam dapat dilihat di antaranya dalam ayat berikut, yaitu:
1.      Q.S. Al-Hasyr: 5:

مَا قَطَعْتُمْ مِنْ لِينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَائِمَةً عَلَىٰ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيُخْزِيَ الْفاسِقِينَ

 “Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.

2.      Q.S. Ash-Shaaffat: 64:
إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِىٓ أَصْلِ ٱلْجَحِيمِ
           
“Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala.”

3. Q. S. Ibrahim: 24.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.”

Ayat-ayat di atas menjelaskan, bahwa untuk menunjuk kata fundamentalisme, Islam menggunakan istilah “Ashal atau Ushul” yang berarti pokok, dasar, atau akar. Ulama Ushul Fiqh menyebut bahwa yang dimaksud dengan ushul di antaranya dasar-dasar pokok keislaman berupa al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, fundamentalisme juga bisa terjadi di dunia non-Muslim. Setiap pemeluk agama yang taat adalah seorang fundamentalis sejati, karena ia berpegang teguh pada dasar dan pokok keagamaan yang diyakininya. Seorang Muslim disebut fundamentalis ketika ia rajin melaksanakan shalat, membayar zakat, berhaji, dan lain-lain. Seorang Kristen dapat disebut fundamentalis ketika mereka datang ke Gereja dan berpanjat doa di sana. Begitu pun Hindu, Budha, dan Konghuchu, semuanya berpegang pada pokok ajarannya masing-masing. Adapun tindakan teroris-radikal yang melakukan kekerasan tidak relevan untuk dikait-hubungkan dengan fundamentalisme. Tindakan kekerasan apa pun itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang tidak bersumber dari institusi agama.

Di antara ahli Barat yang  menolak menghubungkan terorisme dengan fundamentalisme Islam adalah Andereas Armborst. Ia mengatakan, tidak ada keterkaitan antara fundamentalisme Islam dengan tindak kekerasan, apalagi terorisme. Menurutnya, fundamentalisme diidentifikasi sebagai salafisme yang di antara cirinya adalah penentangan terhadap konsensus modernisme dan sekularisme dan menganut tafsiran tekstual terhadap kitab suci. Salafisme tidak bisa disebut sebagai global jihad dan terorisme, karena mayoritas mereka absen dari aktivitas politik.

John L. Esposito cenderung menggunakan istilah ‘revivalisme Islam dan Islamis’ untuk gerakan keagamaan seperti Ikhwan al-Muslimin di Mesir yang berhasil membangun masyarakat menjadi lebih islami. Eksistensi mereka hampir terdapat dalam seluruh lapisan masyarakat, seperti psikolog, wartawan, pengacara, ilmuwan politik. Aktivitas mereka tersebar dalam banyak lembaga seperti sekolah-sekolah Islam, klinik kesehatan, rumah sakit, pelayanan sosial, dan lembaga penerbitan. Mereka muncul sebagai respon atas kegagalan negara dan krisis kemasyarakatan ketika tidak ada kepemimpinan efektif di negaranya. Penggunaan terminologi fundamentalisme Islam, sebagaimana dalam karyanya yang lain yakni The Future of Islam hanya dibatasi pada wahabi Islam dan salafi Islam.

Karena itu, agama harus diposisikan sebagai wahana memantapkan spiritualitas dan menebarkan kedamaian. Sebentar lagi kita akan menyambut Bulan Rajab di mana di dalamnya terdapat peristiwa Isra wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Perjalanan agung dan mulia itu merefleksikan banyak hal bagi umat manusia. Lihatlah ketika dalam perjalanannya, Jibril meminta turun melaksanakan shalat di suatu tempat. Setelah Rasulullah shalat dua rakaat, Jibril berkata bahwa tempat Nabi shalat itu adalah Kota Yatsrib, yang nantinya akan menjadi tempat Nabi berhijrah, yang kemudian disebut dengan Kota Madinah. Madinah adalah model utama bagi kota paling aman dan damai di dunia. Semua kalangan agama dan suku yang berbeda dapat hidup dengan damai di sana melalui Piagam Madinah.

Rasulullah SAW juga diminta turun di suatu tempat, yang ternyata tempat itu adalah Bait Lehm, tempat di mana Nabi Isa AS dilahirkan oleh Ibunya Siti Maryam. Ini mengindikasikan bahwa Islam sangat hormat kepada Nasrani di mana Isa AS sebagai Nabinya. Rasulullah SAW diperlihatkan Gunung Sinai/Thursina, sebuah tempat di mana Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa AS. Ini menunjukkan Islam sangat respek kepada agama Yahudi di mana Nabi Musa merupakan salah satu Nabinya. Rasulullah pada akhirnya sampai di Masjid Aqsha di Palestina di mana beliau shalat dengan seluruh Malaikat dari lintas generasi, dan beliau sebagai imamnya, yang merefleksikan sikap Islam yang begitu respek kepada semua golongan tanpa diskriminasi sedikit pun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gerakan Akomodatif Salafisme: Review Kritis

            Salafi sering dianggap sebagai kelompok sempalan yang tidak memiliki orientasi kebangsaan yang tinggi. Adeni (2020: 49) meliha...