Senin, 03 September 2018

Sekilas Cerita Konferensi dan Sinopsis Makalah



Baru-baru ini saya memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan makalah pada 9 th International Graduate Student Conference of Nursi Studies. Saya menulis makalah mengenai pandangan Said Nursi tentang media dan implementasinya pada gerakan Nur, khususnya di Indonesia. Makalah ini ditulis dalam bahasa Inggris, sebanyak 15 halaman.
Konferensi yang diselenggarakan di Istanbul Turki ini mencoba melihat kajian-kajian Nursi pada level tesis dan disertasi yang diikuti oleh para pengkaji Nursi dari beberapa negara.
Kegiatan ini berorientasi akademik. Ia memosisikan Nursi tidak saja sebatas figur ulama atau pendakwah atau pun sebagai tokoh Islam Turki, tapi juga sebagai objek yang dapat dikaji dengan sudut pandang ilmiah. Karenanya wajar jika pada awal pembukaan konferensi, Prof Farid Alatas menyatakan, “Anda diundang ke sini bukan saja untuk berdakwah, tapi mesti menawarkan frame berpikir dan konsep-konsep yang relevan dalam membingkai Nursi sebagai suatu objek kajian.” Hal yang sama juga disampaikan Dr. Colin Turner dalam presentasinya. Ia melihat Nursi tidak sebatas sumber inspirasi spritual, tapi sebagai objek akademik yang bisa dikaji dengan frame-frame ilmiah. Dan tampaknya demi menjaga orientasi akademik, para pemakalah yang mempresentasikan makalahnya pada konferensi tersebut mesti berhadapan dengan para reviewer yang bertugas memberikan penilaian, komentar dan catatan-catatan.
Sedikit cerita. Saya pada awalnya cukup merasa tercengang. Saya kira datang ke Istanbul hanya untuk presentasi makalah dan tidak berharap adanya pertanyaan-pertanyaan dari partisipan lain. Kebiasaan kita di Indonesia (khususnya saya) memang begitu. Kita lebih suka tidak ditanya apa-apa oleh para pendengar, apalagi disangkal dengan macam-macam argumentasi. Nah, alih-alih bisa mengelak, saya justru harus berhadapan dengan tim reviewer khusus yang telah ditentukan oleh pihak Istanbul Foundation. Rasanya seperti ditarik kembali ke forum ujian promosi magister dulu, di mana saya dibantai oleh tim penguji.
Saya diberi kesempatan menyampaikan makalah pada hari Selasa. Reviewernya adalah Prof. Farid Alatas, Dr. Shumaila Madjid, dan Dr. Elmira Akhmetova. Sebenarnya jauh sebelum itu, secara tuntas, makalah saya telah direview dan dikoreksi oleh Prof. Andi Faisal Bakti. Beliau pulalah yang menyarankan banyak hal dalam makalah ini. Saya haturkan banyak-banyak terimakasih.
Saya menggunakan frame media lama (old media) dan media baru (new media) untuk menganalisis media dalam pemikiran dan gerakan Nur. Buku David Holmes (2004) dan Gill Branston-Roy Stafford (2010) adalah dua buku yang paling saya sukai dan kuasai dalam kajian media lama dan media baru. Saya mencoba menjawab pertanyaan besar bagaimana pandangan dan penggunaan media dalam gerakan Nursi dilihat dari dua perspektif tersebut di atas. Media lama dapat berupa media cetak seperti buku dan surat kabar, dan media elektronik seperti radio dan televisi. Sedangkan media baru memasukkan segala bentuk perkembangan media sosial yang menekankan interaktivitas sperti yang marak sekarang ini. Dengan kata lain, saya berusaha menggali sejauhmana media-media tersebut (lama dan baru) dipikirkan oleh Said Nursi dan diimplementasikan oleh gerakan Nur khususnya di Indonesia?
Terhadap makalah saya, terdapat beberapa catatan dari tim reviewer. Di antara poin yang paling penting adalah:
  1. Saya mesti berhati-hati menggunakan istilah yang tidak lazim bagi kebanyakan orang sprti menggunakan kata “aktor” untuk menyebut “pendakwah (Komentar Dr. Shumaila Madjid)
  2. Saya sebaiknya mempertimbangkan kembali penggunaan istilah “Islamic media,” karena istilah tersebut tidak umum di kalangan ahli komunikasi, bahkan masyarakat awam (Komentar Dr. Elmira Akhmetova). Meski kemudian sya bantah dengan mengatakan “justru inilah yang ingin saya bangun dari kerja akademik saya, bahwa term media Islam adalah sesuatu yang ilmiah.”
  3. Term-term Islam pada bagian konseptual metodologis digunakan untuk apa? Apa manfaatnya bagi karya Anda? Apa distingsinya dari term-term Kristen, Hindu, Budha, dll? Contoh term “al-kitab (yang berarti buku)” sebagai term al-Quran yang Anda tawarkan. Apa bedanya dengan tradisi agama lain yang ternyata juga menggunakan term yang sama? (Pertanyaan Prof. Farid Alatas). Paling tidak saya menjawab bahwa setiap term-term media yang saya bangun dari al-Quran memiliki konteks yang berbeda dengan term yang sama pada agama lain. Apa yang saya maksudkan dengan term “al-Kitab (buku)” sebagai konsep al-Quran tentang media lama (old media) misalnya, bukanlah berarti buku-buku biasa yang di dalamnya bisa berisi apa saja, tapi mestilah buku-buku yang sarat nilai (moralitas). Artinya, media apapun yang digunakan termasuk buku sangatlah berkaitan dengan nilai yang dibawanya. Dengan konsep ini, maka apa yang diinginkan dari media Islam (dalam hal ini media gerakan Nursi) akan dapat terbaca dengan baik.
  4. Masih banyak komentar lain dari tim reviewer, tapi yang cukup membesarkan hati adalah ketika mereka melihat kajian media dalam konteks Nursi terbilang unik, orisinil, dan menarik, karena sekarang media menemukan trendnya dalam konteks globalisasi.
Terlepas dari semua catatan di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa Said Nursi adalah ulama yang mendukung keberadaan dan penggunaan media lama dan media baru selama digunakan untuk kebaikan. Meski demikian, dalam tataran impelementasi, untuk tujuan penguatan dakwah khususnya di Indonesia yang majemuk dengan segala dinamikanya, penggunaan media lama dan media baru mesti terus diperkuat dan sebaiknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan dakwah Nur.
Pandangan Nursi: antara Media Lama (Old Media) dan Media Baru (New Media)
Said Nursi melihat media sebagai sebuah anugerah yang patut disyukuri. Nursi, dalam The Rays menyatakan:
“The strongest of all was this, that I said in one place that Almighty God’s great bounties of aeroplane, railway, and radio should be responded to with great thanks, yet mankind had not done this and had rained down bombs on men’s heads with the planes. While thanks for the vast bounty of the radio would be shown by making it a universal million-tongued reciter of the Qur’an which would allow people all over the earth to listen to the Qur’an. And in the explanation in the Twentieth Word of Qur’anic predictions about the wonders of civilization. I said concerning the allusions of one verse that the unbelievers would defeat the Islamic world by means of the railway. Although I urged Muslims to work towards these wonders, I am accused at the end of the indictment because of the previous public prosecutor’s malice of “opposing modern advances like the railway, aeroplane, and radio.” (The Rays, 2008: 301, Pdf file).
Dalam ungkapan tersebut terlihat sekali bagaimana Nursi memandang radio, sebuah media yang berkembang pada zamannya sebagai media yang dapat dimanfaatkan bagi upaya menjaga al-Quran (dakwah). Karenanya, tidak heran jika gerakan Nur di seluruh dunia, khususnya di Indonesia juga cukup giat menjadikan radio sebagai media dakwah. Di Indonesia kita tahu bahwa radio RAS FM 95.05 Jakarta adalah radio di mana dakwah Nursi mendapat bagian untuk on air di sana.
Jika dilihat dengan perspektif media lama dan media baru, dapatlah dikatakan bahwa Said Nursi telah memberikan perhatiannya untuk media lama, dalam hal ini radio. Meskipun Nursi tidak menyebut radio (tentu juga memasukkan televisi di dalamnya),sebagai old media berdasarkan ketegori David Holmes (2004). Hal ini bukanlah berarti Nursi tidak mendukung keberadaan media baru (new media) dalam pengertian zaman now, seperti media sosial berbasis internet. Dalam batas tertentu dan tentu dengan pengertian yang terbatas pula, keberadaan radio pada masa Nursi tampaknya telah dianggap sebagai wujud media baru (new media), karena radio berwujud elektronik, yang berbeda dengan media tradisional seperti buku, brosur, dan surat kabar pada saat itu.
Dengan demikian saya berpendapat bahwa baik media lama maupun media baru, keduanya sama-sama mendapat tempat dalam pemikiran Said Nursi. Dia justru tampaknya mengakui setiap media selalu berkembang dalam wujud baru dan selalu terus menerus tampil baru seiring dengan perkembangan zaman, sebagai buah dari peradaban seperti yang ia istilahkan sebagai “the wonders of civilization” di atas. Pandangan ini sejalan dengan Branston-Stafford (2010) yang menilai media lama dan media baru selalu relevan untuk digunakan secara bersamaan, dan tentu sebuah media akan selalu tampil dalam wajah baru.
Berbicara media dalam konteks Said Nursi, saya menemukan sesuatu yang unik. Nursi tidak hanya berbicara mengenai bentuk media (lama atau baru), tapi ia juga menekankan pada etika media berkaitan dengan penggunaannya. Hal ini tampak jelas dalam ungkapannya, “…the radio would be shown by making it a universal million-tongued reciter of the Qur’an which would allow people all over the earth to listen to the Qur’an.”
Bukti lain Said Nursi memberikan perhatian besar pada nilai dan etika media adalah ungkapannya berikut ini:
“It says in a narration: ” The day the Dajjal appears all the world will hear. He will travel the world in forty days and has a wondrous ass.” God knows best, on the condition such conditions are completely sound, they miraculously predict that in the time of the Dajjal, the means of communication and travel will have so advanced that an event will be heard by all the world in a day. It will be shouted out by the radio and will be heard in east and west, and will be read about in all the newspapers. One man will travel the whole world in forty days and see the seven continents and seventy countries. Theses narrations thus miraculously foretold the telegraph, telephone, radio, railway, and airplane ten centuries before they appeared.” (The Rays, 2008: 110, Pdf file).
Berdasarkan pernyataan tersebut tampak bahwa Said Nursi sangat mengerti betul dengan perkembangan media dari masa ke masa. Ia bahkan telah memrediksi bahwa zaman Dajjal adalah zaman kemajuan pesat media komunikasi dan transportasi. Dan kenyataannya memang demikian. Prediksi Nursi tidak meleset. Apa yang terjadi di Amerika hari ini misalnya, kita di Indonesia akan dengan mudah mengetahuinya selama kita terkoneksi dengan internet melalui media sosial yang menjadikan segala informasi dalam sekejap bisa menjadi viral.
Pentingnya moralitas media bagi Said Nursi juga terlihat dari pernyataannya tentang setan yang menggunakan radio. Ia berkata:
“…Satan will broadcast it to the world by radio…” (The Rays, 2008: 291, Pdf file). Tentu pernyataan ini bukanlah berarti generalisasi bahwa setiap yang menggunakan media adalah Setan, tapi lebih merupakan peringatan bahwa media komunikasi dan informasi di era global lebih banyak dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu yang kurang mengedepankan moralitas dan lebih suka mengalabui manusia, layaknya setan.

Apa yang dipikirkan Nursi mengenai media komunikasi, Dajjal, dan setan seperti disebutkan di atas tepat sekali jika didiskusikan dalam konteks media baru saat ini. Branston dan Stafford (2010) memandang bahwa media baru (new media) kurang dapat diandalkan jika berhubungan dengan persoalan nilai. Ia menulis berikut:
“…a sense of public and private is being eroded, whit Facebook and other sites allowing violent verbal abuse, bullying, and ignorant comment in ways that would not be allowed in a property ‘public’ space. There are also concerns about the global spread of pornographic discourses.”
Tampaknya inilah salah satu arti dari Setan menguasai media dalam pandangan Said Nursi. Media (khususnya media baru) dapat digunakan untuk apa saja karena memang new media menwarkan kebebasan, keterbukaan, dan tidak terkontrol (David Holmes: 2010). Bagi Nursi, media yang terus menerus berkembang pesat sebagai buah peradaban itu, tidak dapat dihentikan, justru harus disyukuri. “… that I said in one place that Almighty God’s great bounties of aeroplane, railway, and radio should be responded to with great thanks.” (The Rays: 301).
Karena itu, berdasarkan pada pandangan Nursi, hal yang mesti dilakukan adalah mendasari setiap penggunaan media dengan nilai-nilai/moralitas. Dari sini pulalah dapat diyakini bahwa Said Nursi menganjurkan pentingnya jurnalistik Islam, media Islam.
Dalam konteks Indonesia, gerakan Nur telah berusaha mengarahkan potensi media baru untuk kegiatan dakwah, seperti penggunaan Facebook, WA, Twitter, Instagram yang diberi nama “Sahabat Risalah Nur.”
Akhirnya, usaha menggiring media baru (new media) ke arah yang lebih bermanfaat dalam bentuk kegiatan dakwah dan sosial dapat dinilai sebagai bagian dari wajah media Islam, yang untuk kepentingan jangka panjang, sangatlah mendesak untuk dilakukan dan mesti terus dikembangkan.
Dan istilah media Islam adalah istilah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan fakta/data bahwa media Islam telah tampil dalam wujud media-media dakwah yang dapat dibuktikan secara empiris.
Harapannya ke depan,kemajuan media dapat berkontribusi besar bagi perkembangan dakwah Nursi di Indonesia.
Amiiin. Amiin. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gerakan Akomodatif Salafisme: Review Kritis

            Salafi sering dianggap sebagai kelompok sempalan yang tidak memiliki orientasi kebangsaan yang tinggi. Adeni (2020: 49) meliha...