Realitas Semu dalam Narasi Kesesatan Ahmadiyah di
Ruang Digital
SAP 12_REVISI
Berbagai studi menunjukkan bagaimana kelompok agama
minoritas Ahmadiyah mengalami persekusi, seperti yang terjadi di Pakistan,
Indonesia, Malaysia, dan Algeria (Nagi, 2019; Budiwanti, 2009; Heychael, et.al,
2020; Greenwalt, 2021). Dalam hal ini, Ahmadiyah mengalami berbagai hujatan
kebencian dalam media digital dengan tuduhan sesat (menyimpang dari kebenaran)
oleh kelompok mayoritas (Rizkita, 2023; Azeem, 2021; Kohari, 2021). Namun,
studi lain menegaskan bahwa persekusi terhadap kesesatan Ahmadiyah cenderung
menyampingkan fakta bahwa Ahmadiyah telah mulai membuka diri dengan
meredefinisi keyakinan mereka dan juga telah lebih akomodatif dengan masyarakat
sekitar (Tanveer; 2020; Ma’arif, 2022). Oleh karena itu, studi ini berargumen
bahwa realitas tentang Ahmadiyah yang dibangun dalam ruang digital sebagai
komunitas yang sesat dan menyimpang mencerminkan realitas yang tidak berbasis
pada pengalaman hidup Ahmadiyah. Hal ini merujuk kepada pandangan Baudrillard
(1994) tentang hyper-realitas, yang berarti bahwa realitas simulatif telah
mengaburkan pengalaman hidup. Apa yang dianggap ‘realitas’ justru merupakan
konstruksi atas sesuatu yang tidak ada atau tidak berbasis pada pengalaman
nyata (Baudrillard, 1994).
Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana media digital
berperan dalam membangun realitas yang hyper (berlebihan). Hal tersebut
sejalan dengan gagasan Baudrillard (1994) yang menyatakan bahwa digitality berpotensi
menciptakan realitas melebihi apa yang dikonstruksi oleh iklan. Ia mengatakan
“pemrosesan mikro, digitalitas, bahasa sibernetik melangkah lebih jauh melalui
proses yang sangat mudah, melebihi iklan, dengan perantara sistem komputer.”
Artinya, praktik penciptaan realitas semu tentang Ahmadiyah di ruang digital lebih
mudah dilakukan dari makanisme iklan (yang cenderung monoton). Dalam konteks
ini, kelompok arus-utama mengubah kerja konstruksi mereka terhadap Ahmadiyah
dari yang sebelumnya konvensional menuju pola-pola digital. Sehingga, persekusi
melalui ruang digital ini berperan membentuk realitas semu Ahmadiyah di tengah
masyarakat (Rizkita, 2023; Kohari, 2021).
Apa yang dilakukan oleh kelompok arus-utama dalam
ruang digital adalah membangun realitas Ahmadiyah dengan tidak mengikutsertakan
pengalaman Ahmadiyah yang terlihat di ruang nyata. Terkait hal ini, Baudrillard
(1994) menyebutnya sebagai kegiatan informasi yang alih-alih memperkaya makna,
tetapi menghancurkan intensitas makna dan mengakibatkan inersia (kecenderungan
informasi yang diulang-ulang dan tidak berubah). Dalam hal ini, meskipun
Ahmadiyah secara faktual telah menampakkan berbagai perubahan, seperti yang
ditunjukkan oleh studi terdahulu tentang keterlibatan Ahmadiyah dalam kegiatan
kemanusiaan secara nyata (Burhani, 2014; Solikhati, 2022; Tanveer, 2020; Moten,
2018), kelompok arus-utama tetap mengkonstruksi realitas kesesatan Ahmadiyah
secara berulang-ulang dalam bahasa-bahasa yang konstan. Ini berarti bahwa
realitas yang dibangun oleh arus-utama tentang Ahmadiyah tidak memperhatikan
fakta-fakta sosial tentang eksistensi Ahmadiyah yang dinamis.
Penciptaan realitas simulatif dengan mengabaikan fakta
tentang pengalaman hidup, menurut Baudrillard (1994), merupakan bentuk
hiper-realitas di mana tanda tidak lagi mencerminkan realitas sesungguhnya
tetapi ia mendahuluinya, bahkan mengaburkannya. Dalam hal ini, masyarakat
arus-utama telah terlebih dahulu membangun realitas kesesatan Ahmadiyah sebelum
melakukan peninjauan lebih jauh tentang fakta-fakta ke-Ahmadiyah-an sehingga
mengaburkan antara realitas simulatif dan pengalaman hidup (Chistyakov, 2020).
Hal ini seperti yang diilustrasikan oleh Baudrillard (1994) tentang pembuatan
peta yang mendahului wilayah; kesesatan Ahmadiyah telah terlebih dahulu
diciptakan dalam ilusi sebelum melihat pengalaman hidup Ahmadiyah.
Realitas semu yang dibangun oleh kelompok arus-utama
terhadap Ahmadiyah pada akhirnya mendorong publik (masyarakat luas) ke arah
yang pasif. Baudrillard (1994) memunculkan konsep deterrence
(penangkalan), yaitu saat simulasi digunakan untuk menahan atau mengendalikan
orang agar tidak terlalu banyak bertanya tentang realitas. Tanda atau gambar
yang terus dilihat membuat orang merasa puas dan tidak mencari makna yang lebih
dalam, sehingga menjadi pasif (Baudrillard, 1994). Dalam hal ini, untuk
menangkal pertanyaan publik, kelompok arus-utama mengendalikan (mengelabui)
publik dengan narasi atau dalih menjaga kesucian agama atau menjaga agama
Tuhan, lalu dengan serta merta menyebut Ahmadiyah telah keluar dari keyakinan
yang benar.
Hal yang penting pula digaris-bawahi adalah realitas
Ahmadiyah yang dibangun oleh arus-utama melalui media digital semakin
mengaburkan makna. Baudrillard (1994) berpendapat bahwa media menghasilkan
implosi (keruntuhan) makna. Ia mengatakan, sering kali diasumsikan bahwa
keberadaan informasi memproduksi makna; tetapi keberlimpahan informasi justru
mengaburkan makna (we think that information produces meaning, the opposite
occurs) (Baudrillard, 1994). Dalam narasi persekusi terhadap Ahmadiyah
tampak bahwa keberlimpahan informasi (Bawden & Robinson, 2020) seputar
persekusi Ahmadiyah di ruang digital tidak memberikan makna apapun bagi upaya
menarik simpati terhadap penindasan yang dialami Ahmadiyah. Pada saat yang
bersamaan itu justru hanya mengukuhkan legitimasi perilaku kekerasan terhadap
Ahmadiyah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan publik terjebak dalam nebula
hiperreal (kabut realitas buatan), di mana media dan realitas yang tanpa
fakta saling membaur sehingga makna menjadi kabur (Baudrillard, 1994).
Meskipun demikian, keberlangsungan praktik
hiperrealitas terkait Ahmadiyah tidak terlepas dari realitas perubahan
masyarakat, yang disebut oleh Castells (2010) sebagai masyarakat jaringan (network
society), struktur masyarakat baru yang didasarkan pada jaringan yang
diberdayakan oleh teknologi informasi. Masyarakat jaringan ini memiliki
jangkauan global, melampaui batas-batas geografis konvensional. Studi ini
karenanya berargumen bahwa realitas sosial baru yang berjejaring ini semakin
membuka ruang bagi persekusi terhadap Ahmadiyah secara mudah dan terbuka. Hal
ini terlihat misalnya, berdasarkan temuan Greenwalt (2021), bahwa persekusi
Ahmadiyah di Malaysia berjejaring dengan persekusi Ahmadiyah yang terjadi di
Pakistan dan Algeria.
Lebih jauh, dalam masyarakat informasi, persekusi
arus-utama terhadap Ahmadiyah menggambarkan sebuah dominasi aktor dalam
mempertahankan identitas budaya spesifik. Castells (2010) menegaskan bahwa
masyarakat informasi ditandai dengan dominasi/keunggulan identitas sebagai
prinsip yang mengatur mereka. Dalam konteks ini, seorang aktor sosial mengenali
dirinya sendiri dan membangun makna terutama berdasarkan atribut budaya
tertentu, dengan mengecualikan budaya lainnya (Castells, 2010; Couldry &
Hepp, 2020). Artinya, melalui kemajuan teknologi informasi, kelompok arus-utama
berusaha membangun/membingkai identitas budaya keagamaan mereka secara
spesifik, sebagai yang benar di satu pihak (Yan, 2020), namun mengecualikan
(menggangap sesat) kelompok Ahmadiyah di pihak lain.
Dengan memberikan penekanan pada realitas kesesatan
Ahmadiyah sebagai sesuatu/realitas yang semu, penelitian ini karenanya tidak
sejalan dengan pandangan atau narasi keagamaan konservatif yang menarasikan
Ahmadiyah sebagai sesat dan menyimpang (Wolf, 2019). Mayoritas studi terdahulu
yang berkembang dalam tradisi keagamaan arus-utama menempatkan Ahmadiyah
sebagai pihak yang dimusuhi (Akbarizan, 2009; Faizah & Thohri, 2018; Monica
et.al, 2023), bahkan dianjurkan untuk dipersekusi. Oleh karena itu, di tengah bangunan
realitas tentang kesesatan Ahmadiyah yang mendominasi ruang publik digital,
penelitian ini berfokus/bertujuan untuk melihat sisi lain dari konstruksi
tersebut dengan menggunakan kerangka Baudrillard (1994) dan Castells (2010).
Kerangka Baudrillard (1994) berguna untuk melihat sisi semu dari realitas yang
dibangun oleh arus-utama, sementara Castells (2010) akan membantu memperjelas
budaya virtual arus-utama dalam konstruksi realitas tersebut.
Untuk itu, pertanyaan penelitiannya adalah (1) apa
bentuk realitas semu tentang kesesatan Ahmadiyah yang disimulasi oleh kelompok
arus-utama dalam ruang digital? (2) bagaimana budaya virtual berjejaring yang
dimiliki arus-utama memengaruhi simulasi terhadap realitas Ahmadiyah di ruang
digital?
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra
and Simulation. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Castells, M. (2000). The
Rise of the Network Society, 2nd ed. Oxford: Blackwell.
Akbarizan, A. (2009). Jamaah
Ahmadiyah (Kesesatan yang Merusakan Kerukunan Umat Seagama). Toleransi:
Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 1(2). DOI: http://dx.doi.org/10.24014/trs.v1i2.456.
Azeem, T. (2021). Pakistan’s
Social Media Is Overflowing With Hate Speech Against Ahmadis. The Diplomat.
https://thediplomat.com/2021/07/pakistans-social-media-is-overflowing-with-hate-speech-against-ahmadis/.
Burhani, A.N. (2014).
Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and
Spiritual Appeals. Journal of Social Issues in Southeast Asia, 1 (3),
657-90.
Budiwanti, E. (2009).
Pluralism collapses: A Study of the Jama’Ah Ahmadiyah Indonesia and its
persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.
Bawden, D., & Robinson,
L. (2020). Information Overload: An Introduction. Oxford Research
Encyclopedia of Politics. Retrieved 11 Nov. 2024, from https://oxfordre.com/politics/view/10.1093/acrefore/9780190228637.001.0001/acrefore-9780190228637-e-1360.
Chistyakov, Denis. (2020).
Media Construction of Social Reality and Communication Impact on an Individual.
Proceedings of 5th International Conference on Contemporary Education,
Social Sciences and Humanities-Philosophy of Being Human as the Core of
Interdisciplinary Research (ICCESSH 2020).
10.2991/assehr.k.200901.028.
Couldry, Nick, and Andreas
Hepp, 'Media and the Social Construction of Reality', in Deana A. Rohlinger,
and Sarah Sobieraj (eds), The Oxford Handbook of Digital Media Sociology
(2022; online edn, Oxford Academic, 8 Oct. 2020), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780197510636.013.2, accessed 10 Nov. 2024.
Faizah & Thohri, M.
(2018). Strategi Penanganan Paham Keagamaan Menyimpang dalam Perspektif
Dakwah (Studi pada Kasus-kasus yang Ditangani MUI NTB). Jurnal Penelitian
Keislaman, 14 (1), 13-29.
Greenwalt, P., Mohammad,
N.,Vellturo, M. (2021). Persecution of Ahmadiyya Muslims. United States
Commission on International Religious Freedom Kohari, A. (2021). How social
media became a deadly trap for a minority group in Pakistan. Rest of world.
https://restofworld.org/2021/facebook-pakistan-ahmadis/.
Heychael, M., Rafika,
H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious
communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.
Moten, A. (2018). Ahmadiyya:
Growth and Development of a Persecuted Community. Malaysian Journal of
International Relations, 6. 35-46. 10.22452/mjir.vol6no1.4.
Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T.,
& Khuza’i, T. (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya
Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.
Monica, A., Nur, A.L., Fauzi,
A.M., & Sajari, D. (2018). Teologi Ahmadiyah di Indonesia Indonesian
Journal of Islamic Theology and Philosophy, 5 (2), 17-136. Doi: http://dx.doi.org/10.24042/ijitp.v5i2.19754.
Nagi, A. I. (2019). Hate,
fear, conformity- How the Pakistani media is marginalizing the persecuted
(Unpublished graduate research project). Institute of Business
Administration, Pakistan. Retrieved from https://ir.iba.edu.pk/research-projects-msj/2.
Rizkita, M., & Hidayat, A.
(2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi
terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20
(1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.
Tanveer. R. (2020). Ahmadiyya
and secularism: Religious persecution at home affects endorsement for secular
values in Canada. Religion and Culture Major Research Papers. 3.
https://scholars.wlu.ca/rlc_mrp/3.
Solikhati, S. (2022).
Religious moderation and the struggle for identity through new media: Study of
the Indonesian Ahmadiyya Congregation. Religious, 6 (2). https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/15058.
Wolf, S.O. (2019). Persecution
against the Ahmadiyya Muslim Community in Pakistan: A multi-dimensional
perspective. Sadf Research Report, 1. www.sadf.eu.
Yan, F. (2020). Media
Construction of Social Reality. In: Image, Reality and Media Construction.
Springer, Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-32-9076-1_3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar