Selasa, 05 November 2024

 

Performativitas Perempuan Ahmadiyah (Perspektif Feminisme)_REVISI 

SAP 11

Temuan studi terdahulu menunjukkan bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami persekusi berbasis gender karena posisi mereka sebagai perempuan dari kelompok minoritas (Mak, 2020; Akram, 2022). Namun, hal ini berbeda dengan temuan lainnya, yang memperlihatkan keaktifan perempuan Ahmadiyah dalam melakukan perlawanan di tengah donimasi dan persekusi berbasis gender yang mereka alami (Noor, 2017). Mereka juga menampilkan taktik kompromis (Gosh, 2006) dengan berusaha membangun identitas baru di tengah persekusi (Trianita, 2012). Artinya, ini menunjukkan adanya upaya perempuan Ahmadiyah untuk mengartikulasikan ulang norma gender yang mendiskreditkan mereka. Karenanya, studi ini, dengan merujuk pandangan Butler (1990) tentang gender sebagai performativitas, berargumentasi bahwa identitas gender yang bersifat tidak tetap dan dihasilkan dari tindakan yang terus-menerus berulang dalam konteks norma sosial tertentu, memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan performa diri yang berbeda dengan norma dominan yang berkuasa.

Persekusi berbasis gender (menyakiti karena alasan minoritas) terhadap perempuan Ahmadiyah di Indonesia lebih banyak terjadi karena dominasi pandangan konservatif dari kelompok Muslim mayoritas (Gani, 2018), sebagaimana juga terjadi di Pakistan (Mak, 2020). Meskipun demikian, peneliti berargumentasi bahwa norma gender hasil konstruksi budaya konservatif Muslim tersebut dapat dilawan dengan penampilan (performance) diri yang aktif menggunakan narasi-narasi yang kritis. Hal ini sejalan dengan konsep relasi kritis (critical relation) yang merujuk pada kapasitas agen untuk mengartikulasikan sebuah alternatif tindakan yang mencerminkan norma-norma baru yang berpihak pada minoritas (Butler,2004). Artinya, dalam konteks relasi yang tidak setara dengan mayoritas ini, perempuan Ahmadiyah menggunakan kemampuan kritis mereka untuk mendekonstruksi pandangan gender dominan yang mempersekusi mereka.

Penampilan aktif oleh perempuan Ahmadiyah mencerminkan tindakan tubuh yang subversif (subversive bodily acts) (Butler, 1990), di mana penampilan diri dengan aksi-aksi tertentu bisa menjadi resistensi terhadap kuasa mayoritas. Dikatakan subversif karena perempuan Ahmadiyah melakukan tindakan perlawanan terhadap norma dominan yang berlaku. Alih-alih terikat dengan norma tersebut, mereka melakukan kritik terhadapnya melalui kegiatan naratif (Ma’arif, 2022; Connley, 2016; Noor, 2017). Dalam konteks ini, aksi subversif menjadi pilihan perempuan Ahmadiyah dalam melawan persekusi ganda yang mereka alami: sebagai perempuan yang dikungkung oleh norma-norma patriarkal di satu sisi, dan sebagai anggota kelompok minoritas yang dianggap menyimpang oleh mayoritas di sisi lain (Ahmadi, 2022).

Sejak penarasian identitas dilakukan oleh mayoritas untuk mengkonstruksi norma sosial gender, maka sebaliknya, penarasian identitas juga menjadi langkah yang bisa ditempuh perempuan Ahmadiyah dalam memaknai diri dan melawan norma dominan (Butler, 1993).  Praktik menarasikan identitas bisa dilakukan melalui ruang digital (Jos de Mul, 2015). Temuan studi sebelumnya menunjukkan keterbukaan ruang digital bagi masyarakat termasuk minoritas (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016). Karenanya, peneliti berargumentasi bahwa perempuan Ahmadiyah dapat menampilkan narasi gender alternatif yang berkaitan dengan diri mereka melalui media digital. Bahkan, melalui media digital, perempuan Ahmadiyah dapat mempertanyakan aturan dan norma-norma konservatif yang mempersekusi mereka (Kraidy, 2002). Selain itu, sifat media digital yang terbuka (Lindgren, 2022) justru menemukan relevansinya dengan sifat gender yang tidak tetap (Butler, 1990) sehingga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam relasi perempuan Ahmadiyah dengan norma dominan yang mempersekusi mereka.

Argumentasi ini berbeda dengan temuan Halwati (2022) dan Rosadi (2011) yang menunjukkan bagaimana narasi media menjadi ruang yang sering kali mendiskreditkan identitas perempuan minoritas seperti Ahmadiyah (Ahmadi, 2016).  Sementara itu, penampilan diri melalui narasi kritis di ruang digital menjadi bentuk komunikasi subversif perempuan Ahmadiyah (Ma’arif, 2022), yang memungkinkan pemahaman yang inklusif terhadap keragaman identitas (Butler, 1990; Gauntlett, 2008).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut: 

  1. Apa bentuk performa identitas dalam narasi yang ditampilkan oleh perempuan Ahmadiyah di Indonesia dalam ruang digital? 
  2. Bagaimana perempuan Ahmadiyah mengartikulasi ulang konstruksi sosial gender yang menyudutkan mereka melalui proses relasi kritis (critical relation)

Daftar Pustaka

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing Gender. Routledge.

Ahmed-Ghosh, H. (2006).  Ahmadi Women Reconciling Faith with Vulnerable Reality through Education. Journal of International Women's Studies, 8 (1), 36-51. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol8/iss1/3.

Ahmadi, F. (2006). Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context. Journal of Feminist Studies in Religion. 22. 33-53. 10.1353/jfs.2006.0035.

Ahmadi, D. (2024). Between a Rock and a Hard Place: The Intersectional Experiences of Iranian Feminists from Minoritized Ethno-National Backgrounds. Religions15(5), Article 533. https://doi.org/10.3390/rel15050533.

Akram, A.M. (2022). Navigating Triple Consciousness in the Diaspora: An Autoethnographic Account of an Ahmadi Muslim Woman in Canada. Religions13, 493. https://doi.org/10.3390/rel13060493.

Connley, A. (2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58. https://doi.org/10.1177/186810341603500102.

Noor, N.M., Siti Syamsiyatun, JB., & Banawiratma. (2015). In search of peace: Ahmadi women’s experiences in conflict transformation. Ijtihad, 15 (1), DOI: https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i1.61-82.

Noor, N.M. Ahmadi Women Resisting Fundamentalist Persecution A Case Study on Active Group Resistance in Indonesia (Globalethics.net, 2017).

K.M. (2020). Gender-Based Perspectives on Key Issues Facing Poor Ahmadi Women in Pakistan, CREID Intersections Series, Coalition for Religious Equality and Inclusive Development. Brighton: Institute of Development Studies.

Gani, R. (2018). Islam dan kesetaraan gender. Al-Wardah, 12 (2), DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v12i2.139.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Gauntlett, D. (2008).  Media, Gender and Identity: An introduction. Routledge

Halwati, U., Alfi, I., Arifin, J., & Sirnopati, R. (2022). Konstruksi Gender dalam Media Islam dan Sekuler: Analisis Framing Berita Poligami, Pernikahan Dini, dan KDRT. Jurnal Komunikasi Islam12(2), 335–352. https://doi.org/10.15642/jki.2022.12.2.335-352.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Rangkuti, A. R. Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah pada Majalah Tempo dan Sabili). https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/58506.

Syafiq, M. (2022). Studi Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Sosial dan Keberagaman.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...