Performativitas Perempuan Ahmadiyah
(Perspektif Feminisme)_REVISI
SAP 11
Temuan studi terdahulu menunjukkan
bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami persekusi berbasis gender karena posisi
mereka sebagai perempuan dari kelompok minoritas (Mak, 2020; Akram, 2022).
Namun, hal ini berbeda dengan temuan lainnya, yang memperlihatkan keaktifan
perempuan Ahmadiyah dalam melakukan perlawanan di tengah donimasi dan persekusi
berbasis gender yang mereka alami (Noor, 2017). Mereka juga menampilkan taktik
kompromis (Gosh, 2006) dengan berusaha membangun identitas baru di tengah
persekusi (Trianita, 2012). Artinya, ini menunjukkan adanya upaya perempuan
Ahmadiyah untuk mengartikulasikan ulang norma gender yang mendiskreditkan
mereka. Karenanya, studi ini, dengan merujuk pandangan Butler (1990) tentang
gender sebagai performativitas, berargumentasi bahwa identitas gender yang
bersifat tidak tetap dan dihasilkan dari tindakan yang terus-menerus berulang
dalam konteks norma sosial tertentu, memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk
menampilkan performa diri yang berbeda dengan norma dominan yang berkuasa.
Persekusi berbasis gender (menyakiti karena
alasan minoritas) terhadap perempuan Ahmadiyah di Indonesia lebih
banyak terjadi karena dominasi pandangan konservatif dari kelompok Muslim
mayoritas (Gani, 2018), sebagaimana juga terjadi di Pakistan (Mak, 2020).
Meskipun demikian, peneliti berargumentasi
bahwa norma gender hasil konstruksi budaya konservatif Muslim tersebut dapat dilawan
dengan penampilan (performance) diri yang aktif menggunakan narasi-narasi
yang kritis. Hal ini sejalan dengan konsep relasi kritis (critical relation)
yang merujuk pada kapasitas agen untuk mengartikulasikan sebuah alternatif
tindakan yang mencerminkan norma-norma baru yang berpihak pada minoritas (Butler,2004).
Artinya, dalam konteks relasi yang tidak setara dengan mayoritas ini, perempuan
Ahmadiyah menggunakan kemampuan kritis mereka untuk mendekonstruksi pandangan gender
dominan yang mempersekusi mereka.
Penampilan aktif oleh perempuan Ahmadiyah
mencerminkan tindakan tubuh yang subversif (subversive bodily acts) (Butler, 1990), di mana penampilan diri dengan
aksi-aksi tertentu bisa menjadi resistensi terhadap kuasa mayoritas. Dikatakan subversif
karena perempuan Ahmadiyah melakukan tindakan perlawanan terhadap norma dominan
yang berlaku. Alih-alih terikat dengan norma tersebut, mereka melakukan kritik terhadapnya
melalui kegiatan naratif (Ma’arif, 2022; Connley, 2016; Noor, 2017). Dalam konteks ini, aksi
subversif menjadi pilihan perempuan Ahmadiyah dalam melawan persekusi ganda
yang mereka alami: sebagai perempuan yang dikungkung oleh norma-norma
patriarkal di satu sisi, dan sebagai anggota kelompok minoritas yang dianggap
menyimpang oleh mayoritas di sisi lain (Ahmadi, 2022).
Sejak penarasian identitas dilakukan
oleh mayoritas untuk mengkonstruksi norma sosial gender, maka sebaliknya, penarasian
identitas juga menjadi langkah yang bisa ditempuh perempuan Ahmadiyah dalam
memaknai diri dan melawan norma dominan (Butler, 1993). Praktik menarasikan identitas bisa dilakukan melalui
ruang digital (Jos de Mul, 2015). Temuan studi sebelumnya menunjukkan keterbukaan
ruang digital bagi masyarakat termasuk minoritas (Etzioni, 2015; Heriyanto,
2018; Grant, 2016). Karenanya, peneliti berargumentasi bahwa perempuan
Ahmadiyah dapat menampilkan narasi gender alternatif yang berkaitan dengan diri
mereka melalui media digital. Bahkan, melalui media digital, perempuan
Ahmadiyah dapat mempertanyakan aturan dan norma-norma konservatif yang mempersekusi
mereka (Kraidy, 2002). Selain itu, sifat media digital yang terbuka (Lindgren,
2022) justru menemukan relevansinya dengan sifat gender yang tidak tetap
(Butler, 1990) sehingga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam relasi
perempuan Ahmadiyah dengan norma dominan yang mempersekusi mereka.
Argumentasi ini berbeda dengan temuan
Halwati (2022) dan Rosadi (2011) yang menunjukkan bagaimana narasi media
menjadi ruang yang sering kali mendiskreditkan identitas perempuan minoritas
seperti Ahmadiyah (Ahmadi, 2016). Sementara
itu, penampilan diri melalui narasi kritis di ruang digital menjadi bentuk komunikasi
subversif perempuan Ahmadiyah (Ma’arif, 2022), yang memungkinkan pemahaman yang
inklusif terhadap keragaman identitas (Butler, 1990; Gauntlett, 2008).
Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut:
- Apa bentuk performa identitas dalam narasi yang ditampilkan oleh perempuan Ahmadiyah di Indonesia dalam ruang digital?
- Bagaimana perempuan Ahmadiyah mengartikulasi ulang konstruksi sosial gender yang menyudutkan mereka melalui proses relasi kritis (critical relation)
Daftar Pustaka
Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge.
Butler, J. (2004). Undoing Gender. Routledge.
Ahmed-Ghosh, H. (2006). Ahmadi Women Reconciling Faith with Vulnerable Reality through Education. Journal of International Women's Studies, 8 (1), 36-51. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol8/iss1/3.
Ahmadi, F. (2006). Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context. Journal of Feminist Studies in Religion. 22. 33-53. 10.1353/jfs.2006.0035.
Ahmadi, D. (2024). Between a Rock and a Hard Place: The Intersectional Experiences of Iranian Feminists from Minoritized Ethno-National Backgrounds. Religions, 15(5), Article 533. https://doi.org/10.3390/rel15050533.
Akram, A.M. (2022). Navigating Triple Consciousness in the Diaspora: An Autoethnographic Account of an Ahmadi Muslim Woman in Canada. Religions, 13, 493. https://doi.org/10.3390/rel13060493.
Connley, A. (2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58. https://doi.org/10.1177/186810341603500102.
Noor, N.M., Siti Syamsiyatun, JB., & Banawiratma. (2015). In search of peace: Ahmadi women’s experiences in conflict transformation. Ijtihad, 15 (1), DOI: https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i1.61-82.
Noor, N.M. Ahmadi Women Resisting Fundamentalist Persecution A Case Study on Active Group Resistance in Indonesia (Globalethics.net, 2017).
K.M. (2020). Gender-Based Perspectives on Key Issues Facing Poor Ahmadi Women in Pakistan, CREID Intersections Series, Coalition for Religious Equality and Inclusive Development. Brighton: Institute of Development Studies.
Gani, R. (2018). Islam dan kesetaraan gender. Al-Wardah, 12 (2), DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v12i2.139.
Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity, 18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.
Gauntlett, D. (2008). Media, Gender and Identity: An introduction. Routledge
Halwati, U., Alfi, I., Arifin, J., & Sirnopati, R. (2022). Konstruksi Gender dalam Media Islam dan Sekuler: Analisis Framing Berita Poligami, Pernikahan Dini, dan KDRT. Jurnal Komunikasi Islam, 12(2), 335–352. https://doi.org/10.15642/jki.2022.12.2.335-352.
Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.
Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.
Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T. (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.
McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.
Rangkuti, A. R. Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah pada Majalah Tempo dan Sabili). https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/58506.
Syafiq, M. (2022). Studi Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Sosial dan Keberagaman.
Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni, 18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar