Senin, 04 November 2024

 

Performativitas Perempuan Ahmadiyah (Perspektif Feminisme)

SAP 11

 

Temuan studi terdahulu menunjukkan bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami persekusi berbasis gender karena posisi mereka sebagai perempuan dari kelompok minoritas (Mak, 2020; Akram, 2022). Namun, hal ini berbeda dengan temuan lainnya, yang memperlihatkan keaktifan perempuan Ahmadiyah dalam melakukan perlawanan di tengah donimasi dan persekusi berbasis gender yang mereka alami (Noor, 2017). Mereka juga menampilkan taktik kompromis (Gosh, 2006) dengan berusaha membangun identitas baru di tengah persekusi (Trianita, 2012). Artinya, ini menunjukkan adanya upaya perempuan Ahmadiyah untuk mengartikulasikan ulang norma gender yang mendiskreditkan mereka. Karenanya, studi ini, dengan merujuk pandangan Butler (1990) tentang gender sebagai performativitas, berargumentasi bahwa identitas gender yang bersifat tidak tetap dan dihasilkan dari tindakan yang terus-menerus berulang dalam konteks norma sosial tertentu, memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan performa diri yang berbeda dengan norma dominan yang berkuasa.

Persekusi berbasis gender terhadap perempuan Ahmadiyah di Indonesia lebih banyak terjadi karena dominasi pandangan konservatif dari kelompok Muslim mayoritas (Gani, 2018), sebagaimana juga terjadi di Pakistan (Mak, 2020). Meskipun demikian, peneliti berargumentasi bahwa norma gender hasil konstruksi budaya konservatif Muslim tersebut dapat dinegosiasi melalui tindakan-tindakan subversif (Butler, 1990). Dalam hal ini, konsep tindakan tubuh yang subversif (subversive bodily acts) (Butler, 1990) memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan diri dengan ekspresi alternatif untuk menjelaskan peran mereka dalam masyarakat. Tindakan subversif menjadi pilihan untuk melawan persekusi ganda yang mereka alami: sebagai perempuan yang dikungkung oleh norma-norma patriarkal di satu sisi, dan sebagai anggota kelompok minoritas yang dianggap menyimpang oleh mayoritas di sisi lain (Ahmadi, 2022).

Sifat performativitas gender juga memungkinkan terjadinya relasi kritis (critical relation) perempuan Ahmadiyah (Butler, 2004) terhadap norma dominan yang berkuasa. Relasi kritis ini, tegas Butler (2004), bergantung pada kapasitas agen untuk mengartikulasikan sebuah alternatif tindakan yang mencerminkan norma-norma baru yang berpihak pada minoritas. Dalam konteks ini, tindakan alternatif yang dihasilkan oleh perempuan Ahmadiyah tentu mendapat tantangan dari otoritas Muslim sebagai pihak dominan yang berkuasa. Sehingga, untuk melakukan kritik, perempuan Ahmadiyah tidak bisa terlepas dari atau memerlukan kapasitas, kemampuan, dan keberanian untuk menarasikan identitas gender yang anti-mainstream, lebih cair, dan fleksibel (Gauntlett, 2008). Jos de Mul (2015) menegaskan bahwa penarasian identitas menjadi langkah yang bisa ditempuh oleh masyarakat termasuk perempuan Ahmadiyah dalam memaknai diri, dan itu bisa dilakukan melalui ruang digital.

Merujuk pada beberapa temuan studi sebelumnya tentang keterbukaan ruang digital bagi masyarakat termasuk minoritas (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016), peneliti berargumentasi bahwa perempuan Ahmadiyah dapat menampilkan narasi gender alternatif yang berkaitan dengan diri mereka melalui media digital. Bahkan, melalui media digital, perempuan Ahmadiyah dapat mempertanyakan aturan dan norma-norma konservatif yang mempersekusi mereka (Kraidy, 2002). Selain itu, sifat media digital yang terbuka (Lindgren, 2022) justru menemukan relevansinya dengan sifat gender yang tidak tetap (Butler, 1990) sehingga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam relasi perempuan Ahmadiyah dengan norma dominan yang mempersekusi mereka. Dengan demikian argumentasi ini berbeda dengan temuan Halwati (2022) dan Rosadi (2011) yang menunjukkan bagaimana media menjadi ruang yang sering kali merugikan identitas perempuan minoritas seperti Ahmadiyah (Ahmadi, 2016). 

 Usaha mendekonstruksi norma (gender) dominan melalui tindakan performative memang bukan praktik yang sederhana. Hal itu terjadi karena gender sendiri sebagai tindakan (doing) merujuk pada praktik improvisasi dalam sebuah situasi yang penuh dengan batasan (constraint) (Butler, 2004). Dalam konteks tersebut, meski perempuan Ahmadiyah bisa melakukan improvisasi tindakan untuk menghasilkan performa berbeda, namun itu sangat terbatas atau dibatasi oleh norma dominan yang berkuasa. Mereka (perempuan Ahmadiyah), karena konstruksi gender, tetap saja lebih rentan dengan persekusi dibandingkan laki-laki Ahmadiyah. Artinya, perempuan Ahmadiyah tidak melakukan peran gendernya sendirian, tetapi melakukannya dengan atau untuk orang lain yang menguasainya (Butler, 2004). Dalam konteks ini, perempuan Ahmadiyah sebagai anggota kelompok minoritas di Indonesia cenderung mengalami pembatasan, karena lingkungan sosial yang mengawasi gerak-gerik mereka (Wahab, 2019). Mereka bahkan menjadi sulit untuk menolak atau bisa keluar dari berbagai tekanan dari luar diri mereka (McDonagh-MP, 2020). 

Namun, sejak konstruksi sosial gender sendiri bukan merupakan sesuatu yang tetap dan memungkinkan untuk didekonstruksi (Butler, 1990), meskipun terus mengalami persekusi dan dominasi, tindakan perlawanan yang mereka (perempuan Ahmadiyah) lakukan secara berulang-ulang dan terus menerus (Butler, 1990) dapat membuka jalan bagi munculnya konstruksi sosial alternatif (Trianita, 2012). Untuk itu, peneliti menawarkan pandangan bahwa meski di satu sisi norma sosial konservatif di Indonesia berada pada posisi yang sangat dominan untuk mempersekusi perempuan Ahmadiyah (Butler, 1990), di sisi lain masih terdapat ruang agensi bagi perempuan Ahmadiyah dalam mengkonstruksi ulang peran gender mereka melalui narasi di ruang digital. Narasi digital sebagai bentuk komunikasi subversif perempuan Ahmadiyah bisa membuka peluang transformasi sosial (Ma’arif, 2022), meskipun dalam skala kecil, untuk mendorong pemahaman dan penerimaan yang inklusif terhadap keragaman identitas (Butler, 1990; Gauntlett, 2008).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut:

1. Apa bentuk performa identitas yang ditampilkan oleh perempuan Ahmadiyah di Indonesia dalam ruang digital?

2. Bagaimana perempuan Ahmadiyah mengartikulasi ulang konstruksi sosial gender yang menyudutkan mereka melalui proses relasi kritis (critical relation)?

 

Daftar Pustaka

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing Gender. Routledge.

Ahmed-Ghosh, H. (2006).  Ahmadi Women Reconciling Faith with Vulnerable Reality through Education. Journal of International Women's Studies, 8 (1), 36-51. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol8/iss1/3.

Ahmadi, F. (2006). Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context. Journal of Feminist Studies in Religion. 22. 33-53. 10.1353/jfs.2006.0035.

Ahmadi, D. (2024). Between a Rock and a Hard Place: The Intersectional Experiences of Iranian Feminists from Minoritized Ethno-National Backgrounds. Religions15(5), Article 533. https://doi.org/10.3390/rel15050533.

Akram, A.M. (2022). Navigating Triple Consciousness in the Diaspora: An Autoethnographic Account of an Ahmadi Muslim Woman in Canada. Religions, 13, 493. https://doi.org/10.3390/rel13060493.

Noor, N.M., Siti Syamsiyatun, JB., & Banawiratma. (2015). In search of peace: Ahmadi women’s experiences in conflict transformation. Ijtihad, 15 (1), DOI: https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i1.61-82.

K.M. (2020). Gender-Based Perspectives on Key Issues Facing Poor Ahmadi Women in Pakistan, CREID Intersections Series, Coalition for Religious Equality and Inclusive Development. Brighton: Institute of Development Studies.

Gani, R. (2018). Islam dan kesetaraan gender. Al-Wardah, 12 (2), DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v12i2.139.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Gauntlett, D. (2008).  Media, Gender and Identity: An introduction. Routledge

Halwati, U., Alfi, I., Arifin, J., & Sirnopati, R. (2022). Konstruksi Gender dalam Media Islam dan Sekuler: Analisis Framing Berita Poligami, Pernikahan Dini, dan KDRT. Jurnal Komunikasi Islam12(2), 335–352. https://doi.org/10.15642/jki.2022.12.2.335-352.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Rangkuti, A. R. Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah pada Majalah Tempo dan Sabili). https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/58506.

Syafiq, M. (2022). Studi Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Sosial dan Keberagaman.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni, 18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...