Narasi
Dialektis Kelompok Ahmadiyah dalam Media Digital
(Perspektif
Strukturasi)
SAP-10
Kelompok
minoritas dianggap tidak memiliki keleluasaan untuk bergerak secara aktif karena struktur yang menguasainya (Baugut, 2020; Wilder, 2020; Saleem, 2019; Ghaffar, 2023). Namun, studi ini, dengan mempertimbangkan dialektika kontrol dari
Giddens (1984), berargumentasi bahwa dalam konteks Indonesia, minoritas Ahmadiyah
sebagai agen dan pihak yang kurang berkuasa (less powerful) dapat mengelola
sumber daya dalam bentuk “narasi di media digital” untuk berdialektika dengan
atau mengendalikan struktur (norma/aturan yang berlaku). Hal ini sejalan dengan
pandangan Olsson (2016), Turner (2018), Abeele (2018), dan Lindgren (2022) yang
melihat keaktifan individu/kelompok dalam bernarasi di ruang digital dalam
relasinya dengan struktur. Karenanya, studi ini berbeda dengan interaksionalisme
simbolik (Blumer, 1962), yang mengabaikan aspek struktur dan lebih menekankan tindakan
berdasarkan pemaknaan simbol dalam interaksi sosial.
Merujuk
pada pandangan Giddens (1984) tentang dualitas struktur, studi ini
beragumentasi bahwa di tengah struktur “diskriminatif” di Indonesia, Ahmadiyah
tidak serta merta terbatasi tindakannya. Dualitas struktur (duality of
structure) (Giddens, 1984) tidak hanya membatasi (constrain) tindakan
agen, tetapi juga membebaskan (enable)-nya, atau dengan kata
lain, struktur juga dibentuk oleh tindakan agen. Ahmadiyah dalam konteks ini
selain dikendalikan juga berada pada posisi yang mengendalikan/membentuk struktur
“diskriminatif” tersebut. Sebagaimana di satu sisi, struktur “diskriminatif” itu
terbentuk dari tindakan sosial (keagamaan) Ahmadiyah yang ‘dianggap berbeda’ dengan
mayoritas, maka di sisi lain, tindakan tertentu Ahmadiyah juga bisa memengaruhi
ataupun mengubah struktur tersebut (Connley, 2016).
Meskipun sebagian studi di negara seperti Pakistan (Ittefaq, 2023; McDonagh-MP, 2020), China (Lemon, 2022; Hua, 2022), Amerika (Pollock, 2024; Thijssen, 2022), termasuk juga Indonesia (Heychael et.al, 2023; Irawan, 2022), menggambarkan kuatnya diskriminasi terhadap minoritas, tetapi keterlibatan minoritas dalam bentuk “memberikan kritik-evaluatif” terhadap struktur itu menunjukkan adanya sebuah dialektika (Giddens, 1984). Studi ini karenanya berargumentasi bahwa dialektika antara agen (Ahmadiyah) dan struktur yang berkuasa sangat mungkin terjadi. Sehingga, minoritas Ahmadiyah, meskipun terdiskriminasi oleh aturan-aturan yang ada, bisa bertindak dinamis untuk mencari celah alternatif yang bisa mendorong pembentukan struktur baru yang berpihak pada kehidupan mereka (Ma’arif, 2022).
Relasi
dinamis dan saling memengaruhi antara Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang
berkuasa, menempatkan Ahmadiyah dalam proses “reproduksi tindakan sosial”, yang
berpengaruh terhadap reproduksi struktur (Giddens, 1984). Artinya, di tengah
struktur yang ada, keterlibatan aktif Ahmadiyah ini pada gilirannya dapat mendorong
perubahan struktur yang lebih besar, misalnya dalam bentuk perubahan kebijakan
atau aturan yang pro-Ahmadiyah di kemudian hari. Studi ini memandang, bahwa
upaya reproduksi tersebut dapat dilakukan oleh minoritas Ahmadiyah melalui media
digital (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016) dengan menyediakan
berbagai narasi kritis. Hal ini sejalan dengan Kraidy (2002), yang melihat
bagaimana kelompok minoritas melalui media “menjelaskan kembali” aturan dan
norma yang berkuasa. Artinya, melalui ruang digital, komunitas Ahmadiyah dapat memberikan
‘artikulasi ulang’ terhadap struktur yang mempersekusi mereka, terutama
menyangkut kebijakan diskriminatif dan tekanan sosial, yang membatasi ruang
gerak mereka.
Tentu
saja mengargumentasikan Ahmadiyah sebagai agen yang aktif dalam berdialektika
dengan struktur, bahkan membentuk struktur, tidak terlepas dari perdebatan. Mayoritas
temuan terdahulu menempatkan Ahmadiyah sebagai agen yang tidak memiliki sumber daya
yang memadai untuk bisa memengaruhi struktur dan cenderung hanya didominasi
oleh struktur (Ghaffar, 2023; Wahab, 2018; Rizkita, 2023). Meskipun, argumentasi
Connley (2016) tentang Ahmadiyah yang berusaha “merasionalisasi penindasan” mungkin
bisa diterima sebagai bentuk tindakan/upaya memengaruhi struktur, tetapi Connley
masih memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan bagaimana kesaling-pengaruhan
antara Ahmadiyah dan struktur terjadi. Sebaliknya, studi ini berargumentasi, bahwa dialektika naratif (Giddens, 1984) antara Ahmadiyah dalam
relasinya dengan struktur/aturan/norma yang ada dapat mendorong alternatif perubahan struktur yang bisa menjembatani mayoritas dan minoritas.
Berbeda dengan interaksionisme simbolik (Blumer, 1962) yang
lebih relevan digunakan dalam konteks sosial yang relatif setara dan kurang terstruktur
secara hierarkis (Fine & Kleinman, 1983), studi ini dilakukan dalam konteks di mana terdapat Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang berkuasa, yang terlibat upaya saling memengaruhi. Untuk itu, studi ini memilih pemikiran Giddens (1984) yang mengakui keberadaan norma/aturan yang menekan di satu sisi, tetapi juga di sisi lain tidak menafikan tindakan Ahmadiyah dalam menciptakan atau menantang struktur tersebut, yang dilakukan melalui ruang digital. Sehingga, studi ini mempertahankan argumentasi bahwa meskipun Ahmadiyah
berada dalam struktur yang membatasi, mereka tetap aktif memanfaatkan agensi
mereka untuk melakukan perubahan melalui praktik bermedia sehari-hari yang
terorganisir.
Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
- Bagaimana Ahmadiyah sebagai agen menjadikan media digital sebagai ruang untuk berdialektika dengan struktur yang berkuasa di Indonesia?
- Apa saja bentuk-bentuk narasi dialektis yang dibuat oleh komunitas Ahmadiyah untuk mereproduksi atau memengaruhi ‘struktur’ yang kurang berpihak pada minoritas Ahmadiyah di Indonesia?
Referensi
Giddens,
A. (1984). The Constitution of Society:
Outline of the Theory of Structuration. Polity Press.
Blumer,
H. (1962). “Society as Symbolic Interaction.” In Rose, A. M. Human behavior and social
processes; an interactionist approach. Boston: Houghton Mifflin.
Baugut,
P. (2022). Perceptions of Minority Discrimination: Perspectives of Jews Living
in Germany on News Media Coverage. Journalism & Mass Communication
Quarterly, 99(2), 414-439. https://doi.org/10.1177/1077699020984759.
Etzioni,
A. (2015). The Moral Dimension: Toward a New Economics. Free Press.
Fine,
G. A., & Kleinman, S. (1983). Interpreting the Sociological Classics: Can
There Be a 'True' Meaning of Marx? American Journal of Sociology, 88(1),
1-25.
Grant,
A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing
Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity, 18(3),
371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.
Heychael,
M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized
religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.
Heryanto,
A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture.
NUS Press.
Ittefaq,
M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated
in Society and Marginalized in Media: Social Representation of
Christian Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI:
10.1080/17512786.2021.1939103.
Kraidy,
M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of
International and Intercultural Communication, 3rd ed.
Lemon,
E., Jardine, B., & Hall, N. (2022). Globalizing minority persecution:
China’s transnational repression of the Uyghurs. Globalizations, 20(4),
564–580. https://doi.org/10.1080/14747731.2022.2135944.
Lindgren,
S. (2022). Digital Media and Society. SAGE Publications Ltd.
McDonagh-MP.
(2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in
Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.
Ma’arif, B.S.,
Hirzi, A.T., & Khuza’i, T. (2022). Communication
dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution.
Routledge.
Rizkita, M., & Hidayat, A.
(2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap
perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20 (1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.
Turner,
G. (2018). The media and democracy in the digital era: is this what we had in
mind? Media International Australia, 168(1), 3-14. https://doi.org/10.1177/1329878X18782987.
The
Dui Hua Foundation. (2022). The Persecution of Unorthodox Religious Groups in
China. https://duihua.org/the-persecution-of-unorthodox-religious-groups-in-china-a-report/.
Wahab,
A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi
kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni, 18(1),
443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar