Senin, 28 Oktober 2024

Narasi Dialektis Kelompok Ahmadiyah dalam Media Digital

(Perspektif Strukturasi) 

SAP-10

           

Kelompok minoritas dianggap tidak memiliki keleluasaan untuk bergerak secara aktif karena struktur yang menguasainya (Baugut, 2020; Wilder, 2020; Saleem, 2019; Ghaffar, 2023). Namun, studi ini, dengan mempertimbangkan dialektika kontrol dari Giddens (1984), berargumentasi bahwa dalam konteks Indonesia, minoritas Ahmadiyah sebagai agen dan pihak yang kurang berkuasa (less powerful) dapat mengelola sumber daya dalam bentuk “narasi di media digital” untuk berdialektika dengan atau mengendalikan struktur (norma/aturan yang berlaku). Hal ini sejalan dengan pandangan Olsson (2016), Turner (2018), Abeele (2018), dan Lindgren (2022) yang melihat keaktifan individu/kelompok dalam bernarasi di ruang digital dalam relasinya dengan struktur. Karenanya, studi ini berbeda dengan interaksionalisme simbolik (Blumer, 1962), yang mengabaikan aspek struktur dan lebih menekankan tindakan berdasarkan pemaknaan simbol dalam interaksi sosial.

Merujuk pada pandangan Giddens (1984) tentang dualitas struktur, studi ini beragumentasi bahwa di tengah struktur “diskriminatif” di Indonesia, Ahmadiyah tidak serta merta terbatasi tindakannya. Dualitas struktur (duality of structure) (Giddens, 1984) tidak hanya membatasi (constrain) tindakan agen, tetapi juga membebaskan (enable)-nya, atau dengan kata lain, struktur juga dibentuk oleh tindakan agen. Ahmadiyah dalam konteks ini selain dikendalikan juga berada pada posisi yang mengendalikan/membentuk struktur “diskriminatif” tersebut. Sebagaimana di satu sisi, struktur “diskriminatif” itu terbentuk dari tindakan sosial (keagamaan) Ahmadiyah yang ‘dianggap berbeda’ dengan mayoritas, maka di sisi lain, tindakan tertentu Ahmadiyah juga bisa memengaruhi ataupun mengubah struktur tersebut (Connley, 2016).

Meskipun sebagian studi di negara seperti Pakistan (Ittefaq, 2023; McDonagh-MP, 2020), China (Lemon, 2022; Hua, 2022), Amerika (Pollock, 2024; Thijssen, 2022), termasuk juga Indonesia (Heychael et.al, 2023; Irawan, 2022), menggambarkan kuatnya diskriminasi terhadap minoritas, tetapi keterlibatan minoritas dalam bentuk “memberikan kritik-evaluatif” terhadap struktur itu menunjukkan adanya sebuah dialektika (Giddens, 1984). Studi ini karenanya berargumentasi bahwa dialektika antara agen (Ahmadiyah) dan struktur yang berkuasa sangat mungkin terjadi. Sehingga, minoritas Ahmadiyah, meskipun terdiskriminasi oleh aturan-aturan yang ada, bisa bertindak dinamis untuk mencari celah alternatif yang bisa mendorong pembentukan struktur baru yang berpihak pada kehidupan mereka (Ma’arif, 2022).

Relasi dinamis dan saling memengaruhi antara Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang berkuasa, menempatkan Ahmadiyah dalam proses “reproduksi tindakan sosial”, yang berpengaruh terhadap reproduksi struktur (Giddens, 1984). Artinya, di tengah struktur yang ada, keterlibatan aktif Ahmadiyah ini pada gilirannya dapat mendorong perubahan struktur yang lebih besar, misalnya dalam bentuk perubahan kebijakan atau aturan yang pro-Ahmadiyah di kemudian hari. Studi ini memandang, bahwa upaya reproduksi tersebut dapat dilakukan oleh minoritas Ahmadiyah melalui media digital (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016) dengan menyediakan berbagai narasi kritis. Hal ini sejalan dengan Kraidy (2002), yang melihat bagaimana kelompok minoritas melalui media “menjelaskan kembali” aturan dan norma yang berkuasa. Artinya, melalui ruang digital, komunitas Ahmadiyah dapat memberikan ‘artikulasi ulang’ terhadap struktur yang mempersekusi mereka, terutama menyangkut kebijakan diskriminatif dan tekanan sosial, yang membatasi ruang gerak mereka.

Tentu saja mengargumentasikan Ahmadiyah sebagai agen yang aktif dalam berdialektika dengan struktur, bahkan membentuk struktur, tidak terlepas dari perdebatan. Mayoritas temuan terdahulu menempatkan Ahmadiyah sebagai agen yang tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk bisa memengaruhi struktur dan cenderung hanya didominasi oleh struktur (Ghaffar, 2023; Wahab, 2018; Rizkita, 2023). Meskipun, argumentasi Connley (2016) tentang Ahmadiyah yang berusaha “merasionalisasi penindasan” mungkin bisa diterima sebagai bentuk tindakan/upaya memengaruhi struktur, tetapi Connley masih memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan bagaimana kesaling-pengaruhan antara Ahmadiyah dan struktur terjadi. Sebaliknya, studi ini berargumentasi, bahwa dialektika naratif (Giddens, 1984) antara Ahmadiyah dalam relasinya dengan struktur/aturan/norma yang ada dapat mendorong alternatif perubahan struktur yang bisa menjembatani mayoritas dan minoritas.

Berbeda dengan interaksionisme simbolik (Blumer, 1962) yang lebih relevan digunakan dalam konteks sosial yang relatif setara dan kurang terstruktur secara hierarkis (Fine & Kleinman, 1983), studi ini dilakukan dalam konteks di mana terdapat Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang berkuasa, yang terlibat upaya saling memengaruhi. Untuk itu, studi ini memilih pemikiran Giddens (1984) yang mengakui keberadaan norma/aturan yang menekan di satu sisi, tetapi juga di sisi lain tidak menafikan tindakan Ahmadiyah dalam menciptakan atau menantang struktur tersebut, yang dilakukan melalui ruang digital. Sehingga, studi ini mempertahankan argumentasi bahwa meskipun Ahmadiyah berada dalam struktur yang membatasi, mereka tetap aktif memanfaatkan agensi mereka untuk melakukan perubahan melalui praktik bermedia sehari-hari yang terorganisir.

            Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana Ahmadiyah sebagai agen menjadikan media digital sebagai ruang untuk berdialektika dengan struktur yang berkuasa di Indonesia?
  2. Apa saja bentuk-bentuk narasi dialektis yang dibuat oleh komunitas Ahmadiyah untuk mereproduksi atau memengaruhi ‘struktur’ yang kurang berpihak pada minoritas Ahmadiyah di Indonesia?


Mind map

Referensi

Giddens, A. (1984). The Constitution of Society:  Outline of the Theory of Structuration. Polity Press.

Blumer, H. (1962). “Society as Symbolic Interaction.”  In Rose, A. M. Human behavior and social processes; an interactionist approach. Boston: Houghton Mifflin.

Baugut, P. (2022). Perceptions of Minority Discrimination: Perspectives of Jews Living in Germany on News Media Coverage. Journalism & Mass Communication Quarterly, 99(2), 414-439. https://doi.org/10.1177/1077699020984759.

Etzioni, A. (2015). The Moral Dimension: Toward a New Economics. Free Press.

Fine, G. A., & Kleinman, S. (1983). Interpreting the Sociological Classics: Can There Be a 'True' Meaning of Marx? American Journal of Sociology, 88(1), 1-25.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Ittefaq, M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated in Society and Marginalized in Media: Social Representation of Christian Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI: 10.1080/17512786.2021.1939103.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Lemon, E., Jardine, B., & Hall, N. (2022). Globalizing minority persecution: China’s transnational repression of the Uyghurs. Globalizations20(4), 564–580. https://doi.org/10.1080/14747731.2022.2135944.

Lindgren, S. (2022). Digital Media and Society.  SAGE Publications Ltd.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

Rizkita, M., & Hidayat, A. (2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20 (1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.

Turner, G. (2018). The media and democracy in the digital era: is this what we had in mind? Media International Australia, 168(1), 3-14. https://doi.org/10.1177/1329878X18782987.

The Dui Hua Foundation. (2022). The Persecution of Unorthodox Religious Groups in China. https://duihua.org/the-persecution-of-unorthodox-religious-groups-in-china-a-report/.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...