Senin, 21 Oktober 2024

 

Representasi Budaya “Keagamaan” Ahmadiyah sebagai Sub-Culture dalam Melawan Budaya Dominan Arus-Utama melalui Media

               

Studi ini diawali dengan perdebatan  mengenai hubungan media, budaya, dan keagamaan. Sebagian sarjana menganggap media berpotensi menjadi ancaman bagi kebudayaan (Haunschild, et.al, 2022; Taptiani, 2024; Naher, 2018). Media juga dianggap cenderung bias apabila merepresentasikan isu kebudayaan “keagamaan” minoritas (Nugroho et.al, 2013; Heychael et.al, 2021; Panis, 2019; Ittefaq, 2021). Meskipun demikian, beberapa sarjana lainnya menganggap media berperan dalam melestarikan kebudayaan melalui representasinya (Calista, 2024; Rochayanti, 2018; Caropeboka, 2022), menggambarkan diversitas dan dinamika sosial-budaya (Dembe, 2024), dan merepresentasikan identitas budaya komunitas (Youkongpun, 2017), termasuk budaya “keagamaan” yang merupakan bagian dari ekspresi kebudayaan (Edara, 2017; Sarbini, 2018; Kansong, 2022). Ini berarti, bahwa meskipun media di satu sisi dianggap tendensius, tetapi di sisi lain media membuka peluang bagi representasi kebudayaan “keagamaan” termasuk “kebudayaan” pihak minoritas (Kheir, 2020; Batool, 2021).

Studi ini mendukung pandangan yang kedua di atas yang menganggap adanya peluang representasi kebudayaan “keagamaan” dalam media. Maka, dengan menggunakan representasi kebudayaan melalui “bahasa” dalam media, sebagaimana pandangan Hall (1997), studi ini berargumen bahwa kelompok minoritas Ahmadiyah dapat merepresentasikan kebudayaan (keagamaan) mereka melalui konstruksi bahasa yang ditampilkan di ruang media untuk melawan budaya dominan arus-utama. Di samping itu, sebagai sub-kultur dari norma kebudayaan “keagamaan” dominan di Indonesia, menurut pandangan Hebdige (2002), Ahmadiyah dapat menekankan pemaknaan subversive dalam proses representasi budaya yang mereka lakukan. Karenanya, studi ini menolak pandangan Nugroho et.al (2013), Heychael et.al (2021), dan Panis (2019) yang pesimis pada representasi minoritas di bawah kebudayaan dominan. 

Merujuk kepada Hall (1997), Ahmadiyah menggunakan tanda dan simbol untuk merepresentasikan budaya keagamaan, dalam bentuk teks dan video yang ditampilkan di ruang website dan YouTube. Mereka menekankan pemaknaan tertentu yang sesuai dengan keyakinan mereka. Misalnya, Mirza Ghulam Ahmad yang mereka yakini sebagai Nabi, dikonstruksi melalui bahasa sebagai “Nabi baru” dengan sifat “zilly (sebagai bayangan Muhammad atau sebagai sosok pembaharu) (Burhani, 2014) berdasarkan keyakinan orang-orang Ahmadi sendiri. Konstruksi demikian sejalan dengan pandangan Hall (1997) tentang pendekatan konstruktivis dalam representasi. Menurutnya, sebuah makna tidak melekat pada “sesuatu (tanda itu sendiri)” tetapi pada hubungan antara dunia, sistem konsep, dan bahasa. Penekanannya adalah pada konsep; perbedaan konsep budaya akan menghasilkan perbedaan makna. Artinya, bisa saja makna yang dikehendaki oleh Ahmadiyah dalam bahasa-bahasa mereka, menurut konsep mereka, berbeda dengan makna yang dibuat oleh kalangan dominan (Nugroho et.al, 2013).

Karenanya, dalam konteks konstruktivis ini, Hall (1997) lebih jauh menawarkan konsep semiotics dan discourse dengan membedakan keduanya. Apabila semiotik berfokus pada bagaimana tanda-tanda bekerja dalam bahasa yang bisa dimaknai, maka diskursus berusaha menguji produksi pengetahuan dan kekuasaan melalui praktik diskursif yang lebih luas. Dalam konteks media Ahmadiyah, konstruksi bahasa yang mereka tampilkan terkait kasus "nabi baru" misalnya dapat dipahami lebih jauh sebagai wacana perjuangan sub-kultur menantang norma dominan "Muhammad nabi terakhir" (Kheir, 2020). Bahasa tersebut juga dapat dilihat sebagai kritik terhadap "bangunan pengetahuan" yang dibuat oleh kelompok dominan konservatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Hicks, 2014).

Sementara itu, konsep pemaknaan subversive atau disebut obtuse meaning pada perjuangan sub-kultur yang menantang kultur dominan, menekankan simbol yang berorientasi makna subversive, tidak baku, dan tidak terbatas (Hebdige, 2002). Artinya, simbol ke-Ahmadiyah-an (katakanlah misalnya dalam tema 'kenabian' ini) memiliki makna yang otonom, tidak mudah diprediksi, dan tidak bisa dijangkau dengan pemaknaan sesuai dengan standard yang berlaku dalam budaya dominan. Saat simbol-simbol Ahmadiyah dianggap ‘sesat dan telah menyimpang” dari tatanan dominan, Ahmadiyah sebetulnya sedang menjalankan negosiasi subversif dalam pemaknaan simbol mereka. Hal itu terlihat dengan Ahmadiyah yang tidak langsung reaktif (Ma'arif, 2022) terhadap tuduhan "sesat," tetapi membuka berbagai alternatif pemaknaan di tengah dominasi makna tradisional.

Sejak mengalami berbagai persekusi (Budiwanti, 2010), Ahmadiyah di Indonesia telah melakukan berbagai tindakan subversive dalam komunikasi. Ma’arif (2022) mencatat bagaimana Ahmadiyah mengubah pola komunikasi mereka setelah mengalami persekusi melalui cara-cara lebih soft, tidak frontal. Hal yang sama juga diungkapkan Connley (2016) bahwa diantara langkah yang dilakukan Ahmadiyah dalam mengamankan posisi mereka di tengah dominasi adalah dengan (1) memberikan rasionalitas terhadap penindasan yang mereka alami dan (2) melakukan manuver ideologis. Rasionalisasi penindasan merujuk pada komunikasi yang rasional dan logis dalam meng-counter serangan arus-utama. Sementara manuver ideologis dilakukan dengan menerjemahkan ideologi mereka berdasarkan Pancasila dan NKRI.  

Sebagai sub-kultur, Ahmadiyah mengembangkan style dan praktik yang berbeda dalam menantang norma dan nilai arus-utama. Ini disebut oleh Hebdige (2002) sebagai signifying practice. Style sebagai praktik penandaan (signifying practice) tampil secara aktif untuk melakukan konstruksi dan dekonstruksi suatu makna. Stlye yang ditampilkan sub-kultur merepresentasikan makna yang berbeda, bahkan di luar hubungan tanda dan aspek yang ditandainya. Ahmadiyah dalam konteks ini  menggunakan tanda-tanda yang memang tidak lazim dan tidak bisa dimaknai sebagaimana yang diyakini oleh arus-utama (Wulandari & Bawono, 2023). Sebagai contoh, kata "Nabi" dalam agama, Ahmadiyah melalui pandangan dekonstruksinya, tidak memaksudkan kata Nabi sebagai "Nabi yang terbatas pada 25 Nabi itu," tetapi Nabi lain (pembaharu) yang akan terus berdatangan (Ghaffar, 2023). Pemaknaan kreatif ini tentu saja menjadi sub-pandangan di tengah pandangan dominan yang meyakini hanya ada 25 Nabi.

Apa yang dilakukan Ahmadiyah sebagai sub-kultur merupakan tindakan kreatif-bricolage (Hebdige, 2002), yang berkaitan dengan bagaimana sebuah style dikreasikan. Ahmadiyah menggunakan sumber-sumber (objek) keagamaan sehari-hari yang sudah ada, kemudian membedahnya secara "baru" dengan "konteks baru" untuk menghasilkan "style budaya keagamaan baru" dengan makna yang berbeda tentang "nabi akhir zaman." Dalam hal ini, Ahmadiyah mengkreasi kebudayaan baru di atas objek/sumber dominan, yaitu Kitab Suci, yang memuat 25 nabi (Burhani, 2014). Ini berarti meskipun Ahmadiyah dituduh "sesat," Ahmadiyah tetap menggunakan objek lama yang sudah ada dalam membuat pemaknaan baru dan anti-mainstream tersebut. 

Lebih jauh, simbol-simbol Ahmadiyah yang muncul dalam media mereka sendiri (dalam hal ini adalah website dan YouTube) merupakan discourse yang terbangun sebagai bentuk respon mereka terhadap budaya keagamaan dominan di media-media arus-utama yang mempersekusi mereka. Menurut Morley & Brunsdon (2005), respons atau interpretasi masyarakat (dalam hal ini Ahmadiyah) terhadap suatu pesan media (arus-utama) sangat kuat dipengaruhi oleh latar belakang sosial-budaya termasuk pengalaman posisinya sebagai sub-kultur dalam masyarakat. Dalam posisi sebagai sub-kultur, audiens atau objek bagi media arus-utama selama ini, Ahmadiyah mendapati pandangan-pandangan budaya dominan yang menyudutkan mereka (Purwanto, 2008). Merespon hal tersebut, Ahmadiyah menampilkan komunikasi subversif dalam bentuk negosiasi wacana dan simbol-simbol di media (Nugroho, 2013; Ma'arif, 2022). Dengan kata lain, pesan media arus-utama yang memojokkan mereka tidak direspons secara frontal, tetapi secara halus melalui simbol dan pewacanaan (discourse) yang ditampilkan di media milik mereka sendiri. 

Selain itu, sifat pesan media yang polysemic (kompleks dan bisa ditafsirkan dengan berbagai cara) (Morley & Brunsdon, 2005) semakin membuka jalan bagi Ahmadiyah untuk membuat wacana alternatif sebagai respons dan interpretasi mereka terhadap "konten persekusi" yang menyudutkan. Artinya tidak ada bahasa media dengan makna yang tunggal, sehingga memungkinkan diversitas (Dembe, 2024) dan membuka peluang berbagai representasi. Dengan demikian, studi ini menegaskan bahwa diskursus yang muncul dalam media Ahmadiyah menunjukkan respon/interpretasi mereka terhadap pandangan kebudayaan dominan (Morley & Brundsdon, 2005), yang memojokkan mereka di media arus-utama. Respons tersebut mereka tampilkan/representasikan melalui bahasa dengan pemaknaan yang subversive berbasis pada pengalaman sebagai yang telah lama dipersekusi (Hall, 1997; Hebdige, 2022;Wulandari, 2023; Kiran, 2022).

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut:

1.     Bagaimana Ahmadiyah merepresentasikan kebudayaan “keagamaan” mereka melalui bahasa dan wacana keagamaan yang mereka yakini?

2. Sebagai sub-kultur, bagaimana pemaknaan subversive berwujud dalam bahasa-bahasa yang ditampilkan oleh Ahmadiyah?

3. Bagaimana latar belakang sosial-budaya Ahmadiyah termasuk posisinya sebagai sub-kultur memengaruhi interpretasi mereka terhadap pesan-pesan "persekusi" atas mereka yang didominasi oleh kalangan arus utama?


Mind Map


Referensi

Referensi Utama:

Morley, D., &  Brunsdon, C. (2005). The Nationwide Television Studies. (n.p.): Taylor & Francis.

Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. India: SAGE Publications.

Hebdige, D. (1979). Subculture, the meaning of style. London: Methuen.

 

Referensi Pendukung:

Batool, S., Sultana, S., & Tariq, S. (2021). Social Media and Religious Minorities: Analyzing the Usage of Facebook Groups among Christian Minority to Highlight their Issues in Pakistan. Global Mass Communication Studies Review, VI(I), 117-132. https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(VI-I).10.

Burhani, A.N. (2014). Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals. Journal of Social Issues in Southeast Asia, 1 (3), 657-90.

Christina Rochayanti et al. (2019).  Preservation Media of Local Culture. J. Phys.: Conf. Ser. 1254 012020.

Caropeboka, Ratu & Arini, Sherin & Suharto, Suharto & Misnawati, Desy. (2022). The Role of the Media in Preserving Local Culture (A Phenomenographic Study of Rentak Ulu Melayu in TVRI Programs in the Era of Transformation and Globalization). Proceedings Of International Conference On Communication Science. 2. 212-217. 10.29303/iccsproceeding.v2i1.90.

Calista, A., & Fitriningtyas, I. D. (2024). Preserving Cultural Heritage in a Digital World: Balancing tradition, inclusivity, and sustainability. International Journal of Studies in Social Sciences and Humanities (IJOSSH)1(1), 57–71. https://doi.org/10.25047/ijossh.v1i1.5208.

Dembe, James. (2024). Cultural Representation in International Media: Trends and Implications. Journal of Communication. 5. 28-39. 10.47941/jcomm.1974. 

Edara, I. (2017) Religion: A Subset of Culture and an Expression of Spirituality. Advances in Anthropology7, 273-288. doi: 10.4236/aa.2017.74015.

Gaffar, A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community.  Belief: Sociology of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.

Haunschild, J., Marc-André Kaufhold, M., & Reuter, C. (2022). Cultural violence and fragmentation on social media Interventions and countermeasures by humans and social bots. Routledge.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Hicks, J. (2014). Heresy and Authority: Understanding the Turn against Ahmadiyah in Indonesia. South East Asia Research22(3), 321–339. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0216.

Ittefaq, M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated in Society and Marginalized in Media: Social Representation of Christian Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI: 10.1080/17512786.2021.1939103.

Kiran, Aysun. (2022). Mediation and subversion in The Club: translating the minorities of Turkey.  Conference: Audiovisual Translation and Minority Cultures, Pescara, Italy.

Kansong, U., Sunarwinadi, I.R., & Triputra, P.  (2022). Religious Populism in Mainstream Media between Indonesia and India. Jurnal The Messenger, Vol. 14, No. 1 (2022), pp. 1-16.

Kheir, S., & Moberg, M. (2020). Internet and social media use and religion among minority groups in Israel: A case study of Muslim and Druze young adults. In Digital Media, Young Adults and Religion. Routledge.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

Naher, J., &  Minar, M.R. (2018). Impact of Social Media Posts in Real life Violence: A Case Study in Bangladesh.  arXiv:1812.08660 .

Nugroho, Y., Nugraha, L.K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D.A., & Amalia, D. (2013). Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang Terpinggirkan.  Centre for Innovation Policy and Governance.

Panis, K.,, Paulussen, S., & Dhoest, A. (2019). Managing Super-Diversity on Television: The Representation of Ethnic Minorities in Flemish Non-Fiction Programmes. Media and Communication, 7 (1). Doi: https://doi.org/10.17645/mac.v7i1.1614

Sarbini, A.  (2018). Religious Content in the Mass Media and Its Implications for Society. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies Volume 12 Number 2 (2018) 161-176.

Taptiani, N., & Mahadi, A. (2024). The Impact of Globalization on Local Culture. International Journal of Progressive Sciences and Technologies (IJPSAT). Vol. 45 No. 1, pp. 92-102.

Umer, Sarah & Zulqarnain, Wajid & Zulqarnain, Amna & Pages,. (2023). The Role of Media in the Preservation and Promotion of Archaeological Heritage. Global Digital & Print Media Review. 6. 25-37. 10.31703/gdpmr.2023(VI-II).03.

Untalan, C. Y. (2012). Media and culture: global homogeneity and local identity. Philippine Political Science Journal33(1), 108–110. https://doi.org/10.1080/01154451.2012.684523.

Wulandari, P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based documentary film of  the Ahmadiyya Jamaat in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417, doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.

Youkongpun, P.  (2017). The Role of Community-Based Media in Strengthening, Preserving, and Promoting Identity and Culture: A Case Study in Eastern Thailand. Athens Journal of Mass Media and Communications- Volume 1, Issue 3 – Pages 197-210.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...