Selasa, 01 Oktober 2024

 

Produksi Narasi ‘Persekusi’ terhadap Ahmadiyah dalam Media Arus Utama

(REVISI-SAP 6)

 

Para sarjana sebelumnya memberikan perhatian pada media terutama media baru sebagai ruang produksi narasi bagi kelompok minoritas. Kalangan minoritas dapat memproduksi konten untuk membentuk identitas (Tsai, 2021; Zerebecki, 2023; Salim, 2020), mempromosikan kapabilitas melalui hiburan (Naerland, 2022), menangani berbagai masalah di tengah dominasi mayoritas (Batool, 2021; Sablina, 2023), serta membuka peluang keterlibatan politik minoritas (Ahmed et.al, 2024). Sebagian jurnalis media juga memperkenalkan eksistensi minoritas melalui karya jurnalisme mereka (Quraishy, 2007; Sui, 2018). Artinya, media baru telah menjadi ruang produksi bagi perjuangan minoritas melawan dominasi arus-utama di tengah persekusi yang mereka alami.

Kendati demikian, ruang media tidak selamanya berpihak kepada minoritas (Douglas, 2021) terutama dalam konteks organisasi media arus utama yang proses produksinya dikendalikan oleh aturan mayoritas (O’Brien, et.al, 2023), sehingga seringkali menjadikan minoritas sebagai pihak yang dirugikan (Nugroho et.al, 2013; Heychael et.al, 2021; Panis, 2019). Artinya, produksi narasi melalui media bagi minoritas mendapat tantangan karena berhadapan dengan produksi media arus utama yang bertali-kelindan dengan kemauan (tuntutan pasar) audiens mayoritas (Zorzi, 2019). Akibatnya, kelompok minoritas semakin menemukan ruang sempit untuk produksi atau berpartisipasi dalam diskursus dominan, terlebih saat mayoritas juga seringkali mencampuri urusan produksi konten (Shuhufi, 2022). Studi ini karenanya berargumentasi bahwa organisasi produksi media yang bekerja di atas kepentingan tertentu (yang bersifat politik) seringkali menggiring narasi yang menguntungkan pihak mayoritas dan merugikan minoritas.

Dengan mendukung pandangan yang terakhir tersebut, studi ini menggunakan kerangka Hesmondhalgh (2010) untuk melihat bagaimana organisasi produksi media arus utama bekerja dalam memproduksi konten persekusi terhadap kelompok Ahmadiyah untuk menghasilkan keuntungan. Hesmondhalgh (2010) melihat bagaimana organisasi media beroperasi; bagaimana faktor-faktor komersial dan institusional memengaruhi keputusan editorial. Dalam konteks ini, produksi narasi persekusi mengenai minoritas Ahmadiyah oleh media arus utama tidak terlepas dari pengorganisasian pada level editorial yang dipengaruhi oleh berbagai nilai dan sistem hirarkis, yang hidup dalam masyarakat arus-utama.

Lebih jauh, produksi media yang dijalankan secara kolaboratif (Hesmondhalgh, 2010) memberikan pemahaman bahwa produk media tidak dihasilkan hanya oleh satu individu tetapi melalui interaksi antar bagian dalam organisasi media dan juga lingkungan sosial yang kompleks. Dalam produksi narasi tentang Ahmadiyah, kerja media berbasis kolaboratif dan interaksi antar bagian yang kompleks ini memungkinkan adanya pengaruh kepentingan anggota individu yang berasal dari kalangan mayoritas. Sehingga, dapat dikatakan produksi media tentang Ahmadiyah sulit untuk terbebas dari peran termasuk kecenderungan ideologis mereka yang terlibat di dalam proses produksinya.

Produksi narasi tentang Ahmadiyah pada media arus utama seringkali bertujuan untuk membangun realitas tertentu yang diskriminatif, sebagaimana argumentasi Hesmondhalgh (2010) bahwa media tidak hanya mencerminkan realitas sosial tetapi juga membentuk sebuah realitas melalui proses produksi yang terorganisir.  Dalam konteks persekusi terhadap Ahmadiyah, media arus utama tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga melalui ruang produksinya membentuk cara pandang masyarakat terhadap kelompok ini (Heychael, et.al, 2021). Melalui framing di ruang produksi, media menciptakan lingkungan di mana tindakan persekusi dianggap dapat diterima secara sosial (Ghaffar, 2023).

Apa yang sebenarnya terjadi tidak terlepas dari persinggungan antara orientasi media  untuk menghasilkan kreatifitas dan faktor-faktor eksternal, yang menyebabkan produksi media arus utama tentang Ahmadiyah kehilangan kreatifitasnya. Hesmondalgh (2010) menyebutnya sebagai ketegangan antara kreativitas dan komersialisasi dalam produksi media. Kreatifitas media seringkali dihadapkan pada tekanan komersial dan kebutuhan untuk memenuhi permintaan pasar. Artinya, produksi media arus utama tentang Ahmadiyah dalam konteks Indonesia tidak bisa lepas dari permintaan pasar di mana ‘mayoritas muslim’ berada (Douglas, 2021). Meskipun mungkin di satu sisi, media arus utama memiliki orientasi untuk menampilkan kreatifitas secara subversif (Hesmondhalgh, 2010) dengan memberikan pembelaan terhadap kelompok Ahmadiyah, tetapi kebutuhan akan keberlangsungan hidup media (Ogenga, 2010) tetap mendorong mereka untuk menerima permintaan mayoritas demi jaminan finansial, politik, dan sosial.

Sementara Hesmondhalgh lebih banyak berfokus melihat struktur organisasi produksi sebuah media dengan kecenderungan pada aspek non-diskursif, di sisi lain, Sung dan Jessop (2013) menekankan pentingnya dimensi semiosis dalam ekonomi politik media. Ini melibatkan praktik diskursif (berupa wacana, bahasa, simbol) dan non-diskursif (material atau praktik konkret institusi) yang saling terkait, dalam bentuk bagaimana wacana (discourse), sebagai sistem tanda, menggambarkan interaksi antara institusi dan makna yang menjadi jalur bagi peredaran kekuasaan. Dalam hal ini, media sebagai lembaga (institution) memuat bahasa yang di atasnya pemaknaan dapat diberikan dan juga mencerminkan kekuasaan. Dalam kasus Ahmadiyah, media arus utama seringkali menggunakan bahasa atau wacana yang mendiskreditkan, menggambarkan mereka sebagai “sesat”, “berbahaya,” “menyimpang,” “keluar dari Islam.” Penggunaan istilah-istilah ini menciptakan stigma yang memperkuat hegemoni ideologi mayoritas di satu sisi, tetapi juga memuat orientasi ekonomi politik media di sisi lain. Dalam hal ini, media arus utama bekerja dalam narasi kekuasaan mayoritas untuk bisa bertahan secara finansial dan politik.

Lebih jauh, penerapan semiosis terhadap produksi narasi media arus utama dapat membongkar bagaimana, menurut Sum dan Jessop (2013), kekuasaan beroperasi dalam masyarakat Indonesia dalam relasi mayoritas-minoritas. Dengan kata lain, narasi atau bahasa negatif yang dibangun oleh media terhadap Ahmadiyah bukan hanya sekadar representasi, tetapi juga alat untuk mempertahankan kekuasaan sosial. Di samping itu, analisis kritis berbasis pemaknaan ini juga dapat menunjukkan bagaimana narasi media arus utama berkontribusi pada normalisasi kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Penciptaan citra negatif, melalui bahasa-bahasa tertentu, dalam menarasikan eksistensi Ahmadiyah, dapat mendorong persepsi bahwa mereka (Ahmadiyah) adalah ancaman bagi stabilitas sosial. Ini sejalan dengan pandangan Sum dan Jessop (2013, bahwa narasi budaya memiliki kekuatan untuk membentuk realitas sosial, dan dalam hal ini, narasi negatif tentang Ahmadiyah menjadi alat untuk mempertahankan status quo.

Berdasarkan uraian di atas, studi ini memandang bahwa pendekatan Hesmondhalgh (2010) di satu sisi berkontribusi dalam menjelaskan bagaimana dinamika organisasi produksi media arus utama menghasilkan produk narasi, tetapi di sisi lain ia memiliki kekurangan dalam menggali pertalian antara politik ekonomi budaya dalam sebuah narasi. Karenanya, studi ini juga menerapkan pandangan Sum-Jessop tentang urgensi semiosis untuk memahami dinamika ekonomi politik dalam narasi media arus-utama terhadap Ahmadiyah, sehingga kompleksitas produksi narasi persekusi tentang Ahmadiyah dalam media arus-utama dapat diuraikan.

Maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah:

1.   Bagaimana sistem produksi pada organisasi media arus utama berhubungan dengan tuntutan pasar yang merupakan mayoritas Muslim?

2.  Bagaimana tanda-tanda semiotik pada narasi media arus utama dapat dimaknai dalam kaitannya dengan kekuasaan mayoritas?

 

MIND MAP

Daftar Pustaka

Rujukan SAP 6

Hesmondhalgh, D. (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J. Curran (ed.), Media and Society. London: Bloomsbury Academic, pp. 145–63.URL

Sum, N. L., & Jessop, B. (2013). Towards a cultural political economy: Putting culture in its place in political economy. Edward Elgar Publishing. ZAURL.

 

Rujukan pendukung

 

B. G. Żerebecki, S. J. Opree, J. Hofhuis & S. Janssen (2023): Successful Minority Representations on TV Count: A Quantitative Content Analysis Approach, Journal of Homosexuality, DOI: 10.1080/00918369.2023.2191287.

Douglas, O. (2022). The media diversity and inclusion paradox: Experiences of black and brown journalists in mainstream British news institutions. Journalism, 23(10), 2096-2113. https://doi.org/10.1177/14648849211001778.

O’Brien, A., & Kerrigan, P. (2023). From grassroots to dissent: media activism and campaigning for equality, diversity and inclusion in media industries. Continuum37(4), 433–447. https://doi.org/10.1080/10304312.2023.2253383.

Naerland, T.U., & Dahl. J.M.  (2022). Beyond representation: Public service media, minority audiences and the promotion of capabilities through entertainment. Poetics 92, 101687

Sablina, L.  (2023). The role of social media in facilitating minority mobilisation: The Russian-language pro-war movement in Germany amid the invasion of Ukraine. Wiley. DOI: 10.1111/nana.12982.

Salim. A. (2020). Fenomena keterbukaan kelompok minoritas dalam berkomunikasi di media sosial (studi pada kelompok minoritas lgbt di media sosial instagram). Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia, 5 (3), 19-31.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Nugroho, Y., Nugraha, L.K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D.A., & Amalia, D. (2013). Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang Terpinggirkan.  Centre for Innovation Policy and Governance.

Gaffar, A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community.  Belief: Sociology of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.

Shuhufi, M., Fatmawati., Qadaruddin, M., Jalaluddin, B., Muhammad Yunus M.M, Nainunis Nur, M. (2022). Islamic Law and Social Media: Analyzing the Fatwa of Indonesian Ulama Council Regarding Interaction on Digital Platforms. Samarah, (6) 2, 824-843. DOI: 10.22373/sjhk.v6i2.15011. 

Batool, S., Sultana, S., & Tariq, S. (2021). Social Media and Religious Minorities: Analyzing the Usage of Facebook Groups among Christian Minority to Highlight their Issues in Pakistan. Global Mass Communication Studies Review, VI(I), 117-132. https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(VI-I).10.

Ahmed, S., Masood, M., & Wang, Y. (2024). Empowering the religious minority: examining the mobilizing role of social media for online political participation in an Asian democracy. Asian Journal of Communication, (34) 2, 135-155, doi:10.1080/01292986.2024.2317314.

Ogenga, F. (2010). Political economy of the Kenyan media-towards a culture of active citisen journalism. Global Media Journal-African Edition, 4(2), 151-162.

Tsai, H. yi S. (2021). Minority ethnic media: challenges for the future. Asian Journal of Communication32(1), 21–40. https://doi.org/10.1080/01292986.2021.2007275

Mahmood, Z., Aslam, M. J., & Ahmad, J. (2022). Is it possible to have freedom of expression? Religious Minorities’ Perceptions of Social Media in Pakistan. CoverAge: Journal of

Panis, K.,, Paulussen, S., & Dhoest, A. (2019). Managing Super-Diversity on Television: The Representation of Ethnic Minorities in Flemish Non-Fiction Programmes. Media and Communication, 7 (1). Doi: https://doi.org/10.17645/mac.v7i1.1614

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...