Produksi Narasi ‘Persekusi’ terhadap
Ahmadiyah dalam Media Arus Utama
(SAP 6)
Para
sarjana
sebelumnya memberikan perhatian pada media terutama
media baru sebagai ruang produksi narasi bagi kelompok minoritas. Kalangan
minoritas dapat memproduksi konten untuk membentuk identitas (Tsai, 2021;
Zerebecki, 2023; Salim, 2020), mempromosikan kapabilitas melalui hiburan (Naerland,
2022), menangani berbagai masalah di tengah dominasi mayoritas (Batool, 2021;
Sablina, 2023), serta membuka peluang keterlibatan politik minoritas (Ahmed
et.al, 2024). Sebagian jurnalis media juga memperkenalkan eksistensi minoritas
melalui karya jurnalisme mereka (Quraishy, 2007; Sui, 2018). Kendati demikian, ruang media tidak selamanya berpihak kepada minoritas
(Douglas, 2021) terutama dalam konteks organisasi media arus utama yang proses produksinya
dikendalikan oleh aturan mayoritas (O’Brien, et.al, 2023), sehingga seringkali menjadikan
minoritas sebagai pihak yang dirugikan (Nugroho et.al, 2013; Heychael et.al,
2021; Panis, 2019). Artinya, kebebasan bernarasi dalam media bagi minoritas tidak sepenuhnya
menghadirkan optimisme karena berhadapan dengan produksi media arus utama yang bertali-kelindan
dengan kemauan (tuntutan pasar) audiens mayoritas. Kesulitan ini semakin
diperparah dengan fakta di Indonesia di mana agama mayoritas seringkali
mencampuri urusan produksi konten (Shuhufi, 2022). Studi ini karenanya
berargumentasi bahwa organisasi produksi yang bekerja di atas kepentingan
tertentu (yang bersifat politik) seringkali menggiring narasi yang
menguntungkan pihak mayoritas dan merugikan minoritas.
Dengan
mendukung pandangan yang terakhir tersebut, studi ini menggunakan kerangka Hesmondhalgh
(2010) untuk melihat bagaimana organisasi produksi media arus utama bekerja
dalam menarasikan sesuatu yang berhubungan dengan kelompok Ahmadiyah. Hesmondhalgh (2010) melihat bagaimana organisasi media
beroperasi; bagaimana faktor-faktor komersial dan institusional memengaruhi keputusan
editorial. Dalam konteks ini, produksi narasi mengenai minoritas Ahmadiyah oleh
media arus utama tidak terlepas dari pengorganisasian pada level editorial yang
tentunya mempertimbangkan realitas sosial masyarakat Muslim mayoritas yang kemudian
memengaruhi narasi yang diproduksi.
Lebih jauh, produksi media yang dijalankan secara kolaboratif (Hesmondhalgh, 2010) memberikan pemahaman bahwa produk media tidak dihasilkan hanya oleh satu individu tetapi melalui interaksi antar bagian dalam organisasi media dan juga lingkungan sosial yang kompleks. Dalam produksi narasi tentang Ahmadiyah, kerja media berbasis kolaboratif dan interaksi antar bagian yang kompleks ini memungkinkan terjadinya pertautan kepentingan antara anggota individu yang berasal dari kalangan mayoritas dan tujuan murni media. Sehingga, dapat dikatakan produksi media tentang Ahmadiyah sulit untuk terbebas dari peran termasuk kecenderungan ideologis mereka yang terlibat di dalam proses produksinya.
Produksi
narasi tentang Ahmadiyah pada media arus utama seringkali bertujuan untuk membangun
realitas tertentu yang diskriminatif, sebagaimana argumentasi Hesmondhalgh
(2010) bahwa media tidak hanya mencerminkan realitas sosial tetapi juga
membentuk sebuah realitas melalui proses produksi yang terorganisir. Dalam konteks persekusi terhadap Ahmadiyah,
media arus utama tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga melalui ruang produksinya membentuk cara
pandang masyarakat terhadap kelompok ini. Melalui framing di ruang produksi, media
menciptakan lingkungan di mana tindakan persekusi dianggap dapat diterima
secara sosial (Ghaffar, 2023).
Apa yang sebenarnya terjadi tidak terlepas dari persinggungan antara orientasi murni media dan faktor-faktor eksternal, yang menyebabkan produksi media arus utama tentang Ahmadiyah kehilangan ruh kreatifitasnya. Hesmondalgh (2010) menyebutnya sebagai ketegangan antara kreativitas dan komersialisasi dalam produksi media. Kreatifitas media seringkali dihadapkan pada tekanan komersial dan kebutuhan untuk memenuhi permintaan pasar. Artinya, produksi media arus utama tentang Ahmadiyah dalam konteks Indonesia tidak bisa lepas dari permintaan pasar di mana ‘mayoritas muslim’ berada (Douglas, 2021). Meskipun mungkin di satu sisi, media arus utama memiliki orientasi untuk menampilkan kreatifitas secara subversif (Hesmondhalgh, 2010) dengan memberikan pembelaan terhadap kelompok Ahmadiyah, tetapi kebutuhan akan keberlangsungan hidup media (Ogenga, 2010) tetap mendorong mereka untuk menerima permintaan mayoritas demi jaminan finansial, politik, dan sosial.
Sementara
Hesmondhalgh lebih banyak berfokus melihat struktur organisasi produksi sebuah
media dengan kecenderungan pada aspek non-diskursif, di sisi lain, Sung dan Jessop (2013) menekankan pentingnya dimensi semiosis dalam ekonomi politik media. Ini melibatkan praktik diskursif (berupa wacana, bahasa, simbol) dan non-diskursif (material atau praktik konkret institusi) yang saling terkait, dalam bentuk bagaimana wacana (discourse), sebagai sistem tanda,
menggambarkan interaksi antara institusi dan makna yang menjadi jalur bagi
peredaran kekuasaan. Dalam hal ini, media sebagai lembaga (institution) memuat
bahasa yang di atasnya pemaknaan dapat diberikan dan juga mencerminkan kekuasaan.
Dalam kasus Ahmadiyah, media arus utama seringkali menggunakan bahasa atau
wacana yang mendiskreditkan, menggambarkan mereka sebagai “sesat”, “berbahaya,” “menyimpang,” “keluar dari Islam.” Penggunaan
istilah-istilah ini menciptakan stigma yang memperkuat hegemoni ideologi
mayoritas di satu sisi, tetapi juga memuat orientasi ekonomi politik media di
sisi lain. Dalam hal ini, media arus utama bekerja dalam narasi kekuasaan mayoritas
untuk bisa bertahan secara finansial dan politik.
Lebih
jauh, penerapan semiosis terhadap produksi narasi media arus utama dapat
membongkar bagaimana, menurut Sum dan Jessop (2013), kekuasaan
beroperasi dalam masyarakat Indonesia dalam relasi mayoritas-minoritas. Dengan
kata lain, narasi atau bahasa negatif yang dibangun oleh media terhadap
Ahmadiyah bukan hanya sekadar representasi, tetapi juga alat untuk
mempertahankan kekuasaan sosial. Di samping itu, analisis kritis berbasis
pemaknaan ini juga dapat menunjukkan bagaimana narasi media arus utama berkontribusi
pada normalisasi kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Penciptaan citra negatif,
melalui bahasa-bahasa tertentu, dalam menarasikan eksistensi Ahmadiyah, dapat
mendorong persepsi bahwa mereka (Ahmadiyah) adalah ancaman bagi stabilitas
sosial. Ini sejalan dengan pandangan Sum dan Jessop (2013, bahwa narasi budaya
memiliki kekuatan untuk membentuk realitas sosial, dan dalam hal ini, narasi negatif
tentang Ahmadiyah menjadi alat untuk mempertahankan status quo.
Berdasarkan uraian di atas, studi ini memandang bahwa pendekatan Hesmondhalgh (2010) di satu sisi
berkontribusi dalam menjelaskan bagaimana dinamika organisasi produksi media arus utama menghasilkan produk narasi, tetapi di sisi lain ia memiliki kekurangan dalam menggali pertalian antara politik ekonomi budaya dalam sebuah narasi. Karenanya, studi ini juga menerapkan pandangan Sum-Jessop tentang urgensi semiosis untuk
memahami dinamika ekonomi politik dalam narasi media arus-utama terhadap
Ahmadiyah, sehingga kompleksitas produksi
narasi persekusi tentang Ahmadiyah dalam media arus-utama dapat diuraikan.
Maka
pertanyaan penelitian yang muncul adalah:
1. Bagaimana
sistem produksi pada organisasi media arus utama berhubungan dengan tuntutan
pasar yang merupakan mayoritas Muslim?
2. Bagaimana
tanda-tanda semiotik pada narasi media arus utama dapat dimaknai dalam
kaitannya dengan kekuasaan mayoritas?
Daftar
Pustaka
Rujukan
SAP 6
Hesmondhalgh,
D. (2010). ‘Media industry studies, media production studies’, in J. Curran
(ed.), Media and Society. London: Bloomsbury Academic, pp. 145–63.URL
Sum,
N. L., & Jessop, B. (2013). Towards a cultural political economy:
Putting culture in its place in political economy. Edward Elgar Publishing.
ZAURL.
Rujukan
pendukung
B.
G. Żerebecki, S. J. Opree, J. Hofhuis & S. Janssen (2023): Successful
Minority Representations on TV Count: A Quantitative Content Analysis Approach,
Journal of Homosexuality, DOI: 10.1080/00918369.2023.2191287.
Douglas,
O. (2022). The media diversity and inclusion paradox: Experiences of black and
brown journalists in mainstream British news institutions. Journalism, 23(10),
2096-2113. https://doi.org/10.1177/14648849211001778.
O’Brien,
A., & Kerrigan, P. (2023). From grassroots to dissent: media activism and
campaigning for equality, diversity and inclusion in media industries. Continuum, 37(4),
433–447. https://doi.org/10.1080/10304312.2023.2253383.
Naerland,
T.U., & Dahl. J.M. (2022). Beyond
representation: Public service media, minority audiences and the promotion of
capabilities through entertainment. Poetics 92, 101687
Sablina,
L. (2023). The role of social media in
facilitating minority mobilisation: The Russian-language pro-war movement in
Germany amid the invasion of Ukraine. Wiley. DOI: 10.1111/nana.12982.
Salim.
A. (2020). Fenomena keterbukaan kelompok minoritas dalam berkomunikasi
di media sosial (studi pada kelompok minoritas lgbt di media sosial instagram).
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia, 5 (3), 19-31.
Heychael,
M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized
religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.
Nugroho,
Y., Nugraha, L.K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D.A., & Amalia, D.
(2013). Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang
Terpinggirkan. Centre for Innovation
Policy and Governance.
Gaffar,
A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI
Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community. Belief: Sociology
of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.
Shuhufi,
M., Fatmawati., Qadaruddin, M., Jalaluddin, B., Muhammad Yunus M.M, Nainunis
Nur, M. (2022). Islamic Law and Social Media: Analyzing the Fatwa of Indonesian
Ulama Council Regarding Interaction on Digital Platforms. Samarah, (6)
2, 824-843. DOI: 10.22373/sjhk.v6i2.15011.
Batool,
S., Sultana, S., & Tariq, S. (2021). Social Media and Religious Minorities:
Analyzing the Usage of Facebook Groups among Christian Minority to Highlight
their Issues in Pakistan. Global Mass Communication Studies Review,
VI(I), 117-132. https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(VI-I).10.
Ahmed,
S., Masood, M., & Wang, Y. (2024). Empowering the religious minority:
examining the mobilizing role of social media for online political
participation in an Asian democracy. Asian Journal of Communication,
(34) 2, 135-155, doi:10.1080/01292986.2024.2317314.
Ogenga,
F. (2010). Political economy of the Kenyan media-towards a culture of active
citisen journalism. Global Media Journal-African Edition, 4(2), 151-162.
Tsai,
H. yi S. (2021). Minority ethnic media: challenges for the future. Asian
Journal of Communication, 32(1), 21–40. https://doi.org/10.1080/01292986.2021.2007275
Mahmood,
Z., Aslam, M. J., & Ahmad, J. (2022). Is it possible to have freedom of
expression? Religious Minorities’ Perceptions of Social Media in
Pakistan. CoverAge: Journal of
Panis,
K.,, Paulussen, S., & Dhoest, A. (2019). Managing Super-Diversity on
Television: The Representation of Ethnic Minorities in Flemish Non-Fiction
Programmes. Media and Communication, 7 (1). Doi: https://doi.org/10.17645/mac.v7i1.1614.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar