Senin, 23 September 2024

 

‘Selera’ Keagamaan dalam Konsumsi Arus Utama Muslim

Terhadap Narasi Anti-Ahmadiyah (SAP 5)

           

Studi lampau tentang konsumsi media menunjukkan bagaimana konsumsi media mendorong kualitas hidup (Decebal-Remus (2018), memperkuat literasi informasi (Guldin et.al, 2020) dan menciptakan komunikasi yang efektif (Gudino, 2022), terutama dalam media digital dengan aksesibilitas kontennya (Alzubi, 2023), yang juga berpengaruh terhadap budaya konsumsi daring seperti belanja online pada masyarakat (Venugopal & Das, 2022), serta untuk tujuan hiburan dan interaksi (Gentilviso & Aikat, 2019). Namun, konsumsi media menjadi tidak netral saat konsumsi dilakukan berdasarkan dan untuk tujuan nilai-nilai keagamaan (Bosînceanu, 2019; Pabbajah et.al, 2019). Artinya, meskipun konsumsi media masyarakat secara umum mengindikasikan orientasi praktis bermedia sehari-hari tetapi pada masyarakat beragama, basis nilai agama seringkali menjadi pertimbangan konsumsi (Rius-Ulldemolins, 2023; Gupta et.al, 2023), bahkan konsumsi berbasis agama mendukung status mayoritas agama di sebuah negara seperti Kuwait (Al-Issa, 2023). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi media berbasis agama selalu tidak bekerja dalam kerangka yang netral. Terlebih minoritas agama seperti Ahmadiyah juga dipersekusi melalui media (Nugroho et.al, 2013; Heychael et.al, 2021). Studi ini karenanya ingin mengkaji bagaimana masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim mengkonsumsi media yang bermuatan narasi anti-Ahmadiyah.

Bekerja dalam temuan studi terdahulu tentang posisi agama yang menyebabkan konsumsi tidak netral, studi ini menggunakan kerangka Bourdeu (1984), dengan argumentasi bahwa konsumsi masyarakat arus utama Muslim terhadap narasi anti-Ahmadiyah tidaklah bersifat netral, tetapi justru mencerminkan selera (teste) budaya yang digunakan sebagai cara untuk membedakan (distinction) diri dan menegaskan posisi dalam hierarki sosial. Mereka (arus utama), tegas Bourdieu (1984), membedakan dirinya berdasarkan pembedaan/distingsi yang mereka buat dalam bentuk klasifikasi: arus-utama sebagai ‘yang benar’ dan Ahmadiyah sebagai ‘yang sesat.’ Sehingga, atas nama superioritas arus-utama, konsumsi narasi anti-Ahmadiyah terlihat sarat dengan simbol status mayoritas.

Selera dan gaya hidup kelompok arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah merupakan hasil dari nilai atau habitus yang berlaku secara berulang-ulang, yang pada akhirnya berkontribusi pada reproduksi stratifikasi kelas sosial (Bourdeu, 1984). Masyarakat arus utama Muslim hidup dalam habitus yang meyakini tidak ada Nabi akhir zaman selain Muhammad, sementara Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad (MGH) sebagai Nabi. Pertimbangan nilai (habitus) keyakinan inilah yang menjadi dasar konsumsi masyarakat arus utama terhadap narasi-anti Ahmadiyah.

Pilihan konsumsi arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah yang tersebar dalam media juga tidak terlepas dari kapital budaya dalam bentuk kekayaan non-material seperti pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan (Bourdeu, 1984) yang mereka miliki. Kapital budaya ini, menurut kerangka cultural pedigree (Bourdeu, 1984), diwariskan melalui keluarga dan sistem pendidikan dan berperan penting dalam mempertahankan stratifikasi sosial. Muslim arus utama yang menolak Ahmadiyah umumnya adalah mereka yang secara budaya memperoleh pendidikan di lembaga-lembaga Islam tradisional dan konservatif (Misbah & Setyaningrum, 2022; Malik, 2023) dan lembaga arus-utama Islam yang diakui di dunia seperti Saudi Arabia dan Mesir. Sementara itu, kalangan Ahmadiyah berkiblat atau mengenyam pendidikan di Qadian, India, atau lembaga keagamaan lokal yang tidak terkenal (Ropi, 2020). Artinya, secara kapital, arus-utama memiliki porsi kapital yang lebih besar dan berpengaruh dibandingkan dengan kapital Ahmadiyah, sehingga memengaruhi pola konsumsi, selera, dan pilihan mereka terhadap narasi anti-Ahmadiyah.

Kapital pendidikan Ahmadiyah yang kecil dibandingkan arus-utama menjadikan selera narasi pro-Ahmadiyah sulit menyaingi pilihan narasi anti-Ahmadiyah (Ghaffar, 2023) dalam masyarakat. Modal yang kecil ini membuat Ahmadiyah mengalami kesulitan meyakinkan masyarakat dalam memperjuangkan narasi pro-Ahmadiyah. Sementara itu, narasi pro-Ahmadiyah hanya muncul dalam kritik segelintir peneliti terhadap pemerintah dan surat keputusan tiga menteri yang mempersekusi Ahmadiyah (Noor, 2013; Ghaffar, 2023; Regus, 2020, Suryana, 2017; Burhani, 2017). Narasi pro-Ahmadiyah ini menyebut pemerintah telah gagal menjamin kebebasan beragama warga negara, dan Ahmadiyah dinilai menjadi korban arus utama. Akan tetapi, narasi pro-Ahmadiyah yang digalang oleh para peneliti ini pun tidak mampu mengimbangi selera konsumsi narasi anti-Ahmadiyah yang mengakar dalam kehidupan dan habitus arus-utama.

            Berbeda dengan Bourdeu yang melihat adanya muatan kelas sosial di balik konsumsi, Alan Warde (2014) menganggap konsumsi tidak hanya berpusat pada pilihan individu dan simbolisme budaya, tetapi juga berakar pada praktik sosial yang rutin, dan berbasis material. Warde mengkritik cultural turn yang menekankan konsumsi sebagai ekspresi identitas individu dan simbolisme budaya (Warde, 2014). Dalam konteks ini, masyarakat yang memilih mengkonsumsi narasi anti-Ahmadiyah sebagai kebutuhan informasi sehari-hari belaka, tanpa preferensi ideologis atau kencenderungan untuk distingsi, termasuk kedalam ketagori yang disebutkan Warde. Sebaliknya, selera konsumsi masyarakat arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah yang didasarkan pada tujuan distingsi, sangat sulit untuk dianggap sebagai praktik sehari-hari yang netral dan terbebas dari apa yang disebut Bourdeu (1984) sebagai selera aristokrat.

Dalam kasus narasi anti-Ahmadiyah, pikiran Warde tampaknya berbenturan dengan konteks Indonesia. Temuan Nugroho et.al (2013 dan Heychael et.al (2021) menunjukkan bagaimana media sebagai corong demokrasi telah diwarnai dengan narasi yang tidak berpihak kepada minoritas Ahmadiyah. Pada saat Menteri Agama berwacana mencabut SKB Tiga Menteri, MUI langsung bersuara memberikan pertentangan (Habibi, 2021). Hampir semua narasi masyarakat yang menyertai wacana pencabutan SKB tersebut mengandung justifikasi agama (Ghaffar, 2023). Oleh karena itu, meskipun konsumsi narasi anti-Ahmadiyah pada satu sisi mencerminkan praktik sehari-hari yang melekat dengan keberagamaan muslim arus-utama di Indonesia, dan karenanya bisa disebut sebagai praktik (Warde, 2014; Fante, 2013), bias ideologi yang mendasari konsumsi arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah tidak bisa secara sederhana dianggap sebagai praktik sehari-hari yang netral. Sebaliknya, studi ini mengasumsikan bahwa kecenderungan ideologis keagamaan selalu menjadi pertimbangan orang dalam mengkonsumsi narasi anti-Ahmadiyah.

Maka, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana ‘habitus’ dan kapital budaya keagamaan memengaruhi konsumsi arus utama Muslim terhadap narasi anti-Ahmadiyah di Indonesia?

 

MIND MAP

 

Daftar Pustaka

Referensi SAP 5

Bouraieu, P.  (1984). DistinctIon A social critique of the judgement of taste. Harvard University Press.

Warde, A. (2014). After taste: Culture, consumption and theories of practice. Journal of Consumer Culture, 14 (3), 279–303.

 

Referensi pendukung

Alzubi, A. . (2023). The evolving relationship between digital and conventional media: A study of media consumption habits in the digital era. THE PROGRESS: A Journal of Multidisciplinary Studies4(3), 1-13. https://hnpublisher.com/ojs/index.php/TP/article/view/25.

Al-Issa, N., Dens, N. and Kwiatek, P. (2024), The interplay of culture, religion and luxury consumption: a cross-national investigation. Journal of Islamic Marketing, 15 (6), 1608-1631https://doi.org/10.1108/JIMA-05-2023-0153.

Burhani, A.N.  Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Multikultural dan Multireligious, 6, 254-271.

Fonte, M. (2013). Food consumption as social practice: Solidarity Purchasing Groups in Rome, Italy. Journal of Rural Studies, 32, 230-239. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2013.07.003.

Gaffar, A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community.  Belief: Sociology of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.

Gentilviso, C., & Aikat, D. (2019). "Embracing the Visual, Verbal, and Viral Media: How Post-Millennial Consumption Habits are Reshaping the News", Schulz, J., Robinson, L., Khilnani, A., Baldwin, J., Pait, H., Williams, A.A., Davis, J. and Ignatow, G. (Ed.) Mediated Millennials (Studies in Media and Communications, Vol. 19), Emerald Publishing Limited, Leeds, pp. 147-171. https://doi.org/10.1108/S2050-206020190000019009.

Guldin, R., Noga-Styron, K., & Britto, S. (2021). Media consumption and news literacy habits during the covid-19 Pandemic. The International Journal of Critical Media Literacy3(1), 43-71. https://doi.org/10.1163/25900110-03030003.

Gudiño, D.; Fernández-Sánchez, M.J.; Becerra-Traver, M.T.; Sánchez, S. (2022). Social media and the Pandemic: Consumption Habits of the Spanish Population before and during the COVID-19 Lockdown. Sustainability, 14, 5490. https://doi.org/ 10.3390/su14095490.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Malik, A. (2024). New variants of ultra-conservative Islamic schools in Indonesia: A study on Islamic school endeavor with Islamic group movement. Power and Education, 16(1), 14-28. https://doi.org/10.1177/17577438231163042.

Misbah, M., & Setyaningrum, A. (2022). Rising Islamic Conservatism in Indonesia Islamic Groups and Identity Politics, by Leonard C. Sebastian, Syafiq Hasyim, Alexander R. Arifianto. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia178(1), 136-139. https://doi.org/10.1163/22134379-17801008.

Nugroho, Y., Nugraha, L.K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D.A., & Amalia, D. (2013). Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang Terpinggirkan.  Centre for Innovation Policy and Governance.

Noor, N.M. (2013). Ahmadiyah, conflicts, and violence in contemporary Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 3(1):1 Doi: 10.18326/ijims.v3i1.1-30.

Rius-Ulldemolins, J., Pizzi, A., & Paya, R. (2023). Religion as a factor in cultural consumption: Religious denomination and its impact on reading practices and ballet-opera attendance in Europe. International Journal of Comparative Sociology, 64(3), 225-248. https://doi.org/10.1177/00207152221118627.

Remus, F.D. (2018). The Impact of Media Consumption Habits upon the Quality of Life. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 8(9), 794–815.

Regus, M. (2020). The Victimization of the Ahmadiyya Minority Group in Indonesia: Explaining the Justifications and Involved Actors. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 4 (4), 227-238.

Ropi, I. (2020). Sisi yang Terlupa: Peran Historis Ahmadiyah dalam Wacana Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia. Al-Adyan: Jurnal Studi Lintas Agama, 15 (2) Doi: https://doi.org/10.24042/ajsla.v15i2.7323.

Suryana, A. (2017). Discrepancy in State Practices: The Cases of Violence against Ahmadiyah and Shi’a Minority Communities during the Presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. Al-Jami’ah, 55 (1), https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.71-104.

Pabbajah, M., Jubba, H., Widyanti, R.N., Pabbajah, T.H., Iribaram, S. (2019). Internet of Religion: Islam and New Media Construction of Religious Movements in Indonesia. Proceedings of the 19th Annual International Conference on Islamic Studies.  Doi=10.4108/eai.1-10-2019.2291750.

Venugopal, K. (2023). Social media habits of rural consumers influencing on online consumption.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...