‘Selera’ Keagamaan dalam Konsumsi Arus
Utama Muslim
Terhadap Narasi Anti-Ahmadiyah (SAP 5)
Studi
lampau tentang konsumsi media menunjukkan bagaimana konsumsi media
mendorong kualitas hidup (Decebal-Remus (2018), memperkuat literasi informasi
(Guldin et.al, 2020) dan menciptakan komunikasi yang efektif (Gudino, 2022),
terutama dalam media digital dengan aksesibilitas kontennya (Alzubi, 2023),
yang juga berpengaruh terhadap budaya konsumsi daring seperti belanja online
pada masyarakat (Venugopal & Das, 2022), serta untuk tujuan hiburan dan
interaksi (Gentilviso & Aikat, 2019). Namun, konsumsi media menjadi tidak
netral saat konsumsi dilakukan berdasarkan dan untuk tujuan nilai-nilai
keagamaan (Bosînceanu, 2019; Pabbajah et.al, 2019). Artinya, meskipun konsumsi
media masyarakat secara umum mengindikasikan orientasi praktis bermedia
sehari-hari tetapi pada masyarakat beragama, basis nilai agama seringkali
menjadi pertimbangan konsumsi (Rius-Ulldemolins, 2023; Gupta et.al, 2023),
bahkan konsumsi berbasis agama mendukung status mayoritas agama di sebuah
negara seperti Kuwait (Al-Issa, 2023). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
konsumsi media berbasis agama selalu tidak bekerja dalam kerangka yang netral.
Terlebih minoritas agama seperti Ahmadiyah juga dipersekusi melalui media
(Nugroho et.al, 2013; Heychael et.al, 2021). Studi ini karenanya ingin mengkaji
bagaimana masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim mengkonsumsi media yang
bermuatan narasi anti-Ahmadiyah.
Bekerja dalam temuan
studi terdahulu tentang posisi agama yang menyebabkan konsumsi tidak netral,
studi ini menggunakan kerangka Bourdeu (1984), dengan argumentasi bahwa
konsumsi masyarakat arus utama Muslim terhadap narasi anti-Ahmadiyah tidaklah
bersifat netral, tetapi justru mencerminkan selera (teste) budaya
yang digunakan sebagai cara untuk membedakan (distinction) diri
dan menegaskan posisi dalam hierarki sosial. Mereka (arus utama), tegas
Bourdieu (1984), membedakan dirinya berdasarkan pembedaan/distingsi yang mereka
buat dalam bentuk klasifikasi: arus-utama sebagai ‘yang benar’ dan Ahmadiyah
sebagai ‘yang sesat.’ Sehingga, atas nama superioritas arus-utama, konsumsi
narasi anti-Ahmadiyah terlihat sarat dengan simbol status mayoritas.
Selera dan gaya hidup kelompok
arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah merupakan hasil dari nilai atau habitus yang
berlaku secara berulang-ulang, yang pada akhirnya berkontribusi pada reproduksi
stratifikasi kelas sosial (Bourdeu, 1984). Masyarakat arus utama Muslim hidup
dalam habitus yang meyakini tidak ada Nabi akhir zaman selain
Muhammad, sementara Ahmadiyah menyebut Mirza Ghulam Ahmad (MGH) sebagai Nabi.
Pertimbangan nilai (habitus) keyakinan inilah yang menjadi dasar
konsumsi masyarakat arus utama terhadap narasi-anti Ahmadiyah.
Pilihan konsumsi arus-utama
terhadap narasi anti-Ahmadiyah yang tersebar dalam media juga tidak terlepas
dari kapital budaya dalam bentuk kekayaan non-material seperti pendidikan,
pengetahuan, dan keterampilan (Bourdeu, 1984) yang mereka miliki. Kapital
budaya ini, menurut kerangka cultural pedigree (Bourdeu,
1984), diwariskan melalui keluarga dan sistem pendidikan dan berperan penting
dalam mempertahankan stratifikasi sosial. Muslim arus utama yang menolak
Ahmadiyah umumnya adalah mereka yang secara budaya memperoleh pendidikan di
lembaga-lembaga Islam tradisional dan konservatif (Misbah & Setyaningrum,
2022; Malik, 2023) dan lembaga arus-utama Islam yang diakui di dunia seperti
Saudi Arabia dan Mesir. Sementara itu, kalangan Ahmadiyah berkiblat atau
mengenyam pendidikan di Qadian, India, atau lembaga keagamaan lokal yang tidak
terkenal (Ropi, 2020). Artinya, secara kapital, arus-utama memiliki porsi
kapital yang lebih besar dan berpengaruh dibandingkan dengan kapital Ahmadiyah,
sehingga memengaruhi pola konsumsi, selera, dan pilihan mereka terhadap narasi
anti-Ahmadiyah.
Kapital pendidikan Ahmadiyah
yang kecil dibandingkan arus-utama menjadikan selera narasi pro-Ahmadiyah sulit
menyaingi pilihan narasi anti-Ahmadiyah (Ghaffar, 2023) dalam masyarakat. Modal
yang kecil ini membuat Ahmadiyah mengalami kesulitan meyakinkan masyarakat dalam
memperjuangkan narasi pro-Ahmadiyah. Sementara itu, narasi pro-Ahmadiyah hanya
muncul dalam kritik segelintir peneliti terhadap pemerintah dan surat keputusan
tiga menteri yang mempersekusi Ahmadiyah (Noor, 2013; Ghaffar, 2023; Regus,
2020, Suryana, 2017; Burhani, 2017). Narasi pro-Ahmadiyah ini menyebut
pemerintah telah gagal menjamin kebebasan beragama warga negara, dan Ahmadiyah dinilai
menjadi korban arus utama. Akan tetapi, narasi pro-Ahmadiyah yang digalang oleh
para peneliti ini pun tidak mampu mengimbangi selera konsumsi narasi
anti-Ahmadiyah yang mengakar dalam kehidupan dan habitus arus-utama.
Berbeda dengan Bourdeu yang melihat adanya muatan kelas sosial di balik konsumsi, Alan Warde (2014) menganggap konsumsi tidak hanya berpusat pada pilihan individu dan simbolisme budaya, tetapi juga berakar pada praktik sosial yang rutin, dan berbasis material. Warde mengkritik cultural turn yang menekankan konsumsi sebagai ekspresi identitas individu dan simbolisme budaya (Warde, 2014). Dalam konteks ini, masyarakat yang memilih mengkonsumsi narasi anti-Ahmadiyah sebagai kebutuhan informasi sehari-hari belaka, tanpa preferensi ideologis atau kencenderungan untuk distingsi, termasuk kedalam ketagori yang disebutkan Warde. Sebaliknya, selera konsumsi masyarakat arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah yang didasarkan pada tujuan distingsi, sangat sulit untuk dianggap sebagai praktik sehari-hari yang netral dan terbebas dari apa yang disebut Bourdeu (1984) sebagai selera aristokrat.
Dalam kasus narasi anti-Ahmadiyah, pikiran Warde tampaknya berbenturan dengan konteks Indonesia. Temuan Nugroho et.al (2013 dan Heychael et.al (2021) menunjukkan bagaimana media sebagai corong demokrasi telah diwarnai dengan narasi yang tidak berpihak kepada minoritas Ahmadiyah. Pada saat Menteri Agama berwacana mencabut SKB Tiga Menteri, MUI langsung bersuara memberikan pertentangan (Habibi, 2021). Hampir semua narasi masyarakat yang menyertai wacana pencabutan SKB tersebut mengandung justifikasi agama (Ghaffar, 2023). Oleh karena itu, meskipun konsumsi narasi anti-Ahmadiyah pada satu sisi mencerminkan praktik sehari-hari yang melekat dengan keberagamaan muslim arus-utama di Indonesia, dan karenanya bisa disebut sebagai praktik (Warde, 2014; Fante, 2013), bias ideologi yang mendasari konsumsi arus-utama terhadap narasi anti-Ahmadiyah tidak bisa secara sederhana dianggap sebagai praktik sehari-hari yang netral. Sebaliknya, studi ini mengasumsikan bahwa kecenderungan ideologis keagamaan selalu menjadi pertimbangan orang dalam mengkonsumsi narasi anti-Ahmadiyah.
Maka, pertanyaan
penelitian yang diajukan adalah bagaimana ‘habitus’ dan kapital budaya
keagamaan memengaruhi konsumsi arus utama Muslim terhadap narasi anti-Ahmadiyah
di Indonesia?
Daftar Pustaka
Referensi SAP 5
Bouraieu,
P. (1984). DistinctIon A social critique
of the judgement of taste. Harvard University Press.
Warde, A. (2014). After taste:
Culture, consumption and theories of practice. Journal of Consumer Culture,
14 (3), 279–303.
Referensi pendukung
Alzubi, A. . (2023). The evolving
relationship between digital and conventional media: A study of media
consumption habits in the digital era. THE PROGRESS: A Journal of
Multidisciplinary Studies, 4(3), 1-13. https://hnpublisher.com/ojs/index.php/TP/article/view/25.
Al-Issa, N., Dens,
N. and Kwiatek, P. (2024), The interplay of culture, religion
and luxury consumption: a cross-national investigation. Journal of Islamic
Marketing, 15 (6), 1608-1631. https://doi.org/10.1108/JIMA-05-2023-0153.
Burhani, A.N. Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi
Tentang Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Multikultural dan Multireligious, 6,
254-271.
Fonte, M. (2013). Food consumption as
social practice: Solidarity Purchasing Groups in Rome, Italy. Journal of
Rural Studies, 32, 230-239. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2013.07.003.
Gaffar,
A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI
Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community. Belief: Sociology
of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.
Gentilviso, C., & Aikat, D. (2019).
"Embracing the Visual, Verbal, and Viral Media: How Post-Millennial
Consumption Habits are Reshaping the News", Schulz, J., Robinson,
L., Khilnani, A., Baldwin, J., Pait, H., Williams, A.A., Davis,
J. and Ignatow, G. (Ed.) Mediated Millennials (Studies
in Media and Communications, Vol. 19), Emerald Publishing Limited, Leeds,
pp. 147-171. https://doi.org/10.1108/S2050-206020190000019009.
Guldin, R., Noga-Styron, K., &
Britto, S. (2021). Media consumption and news literacy habits during the covid-19
Pandemic. The International Journal of Critical Media Literacy, 3(1),
43-71. https://doi.org/10.1163/25900110-03030003.
Gudiño, D.; Fernández-Sánchez, M.J.;
Becerra-Traver, M.T.; Sánchez, S. (2022). Social media and the Pandemic:
Consumption Habits of the Spanish Population before and during the COVID-19
Lockdown. Sustainability, 14, 5490. https://doi.org/ 10.3390/su14095490.
Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo,
J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in
Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.
Malik, A. (2024). New variants of
ultra-conservative Islamic schools in Indonesia: A study on Islamic school
endeavor with Islamic group movement. Power and Education, 16(1), 14-28.
https://doi.org/10.1177/17577438231163042.
Misbah, M., & Setyaningrum, A.
(2022). Rising Islamic Conservatism in Indonesia Islamic Groups and Identity
Politics, by Leonard C. Sebastian, Syafiq Hasyim, Alexander
R. Arifianto. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde /
Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 178(1),
136-139. https://doi.org/10.1163/22134379-17801008.
Nugroho, Y., Nugraha,
L.K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D.A., & Amalia, D. (2013). Media
dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang Terpinggirkan. Centre for Innovation Policy and
Governance.
Noor, N.M. (2013). Ahmadiyah,
conflicts, and violence in contemporary Indonesia. Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies, 3(1):1 Doi: 10.18326/ijims.v3i1.1-30.
Rius-Ulldemolins, J., Pizzi, A.,
& Paya, R. (2023). Religion as a factor in cultural consumption: Religious
denomination and its impact on reading practices and ballet-opera attendance in
Europe. International Journal of Comparative Sociology, 64(3), 225-248. https://doi.org/10.1177/00207152221118627.
Remus, F.D. (2018). The Impact of
Media Consumption Habits upon the Quality of Life. International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 8(9),
794–815.
Regus, M. (2020). The Victimization
of the Ahmadiyya Minority Group in Indonesia: Explaining the Justifications and
Involved Actors. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 4
(4), 227-238.
Ropi, I. (2020). Sisi yang Terlupa:
Peran Historis Ahmadiyah dalam Wacana Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia. Al-Adyan:
Jurnal Studi Lintas Agama, 15 (2) Doi: https://doi.org/10.24042/ajsla.v15i2.7323.
Suryana, A. (2017). Discrepancy in
State Practices: The Cases of Violence against Ahmadiyah and Shi’a Minority
Communities during the Presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. Al-Jami’ah,
55 (1), https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.71-104.
Pabbajah, M., Jubba, H., Widyanti,
R.N., Pabbajah, T.H., Iribaram, S. (2019). Internet of Religion: Islam and New
Media Construction of Religious Movements in Indonesia. Proceedings of the
19th Annual International Conference on Islamic Studies. Doi=10.4108/eai.1-10-2019.2291750.
Venugopal, K. (2023). Social media
habits of rural consumers influencing on online consumption.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar