Jumat, 20 September 2024

 

Peran Ruang New Media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia

dalam Kontestasi dengan Arus-Utama di Indonesia

(Revisi_SAP 4)

 

Beberapa studi terdahulu memandang praktik new media berperan bagi kehidupan minoritas dan keagamaan. Melalui new media, minoritas pemeluk Kristen di Pakistan menyelesaikan berbagai permasalahan mereka di tengah dominasi mayoritas Muslim (Batool, 2021), bahkan membuka peluang keterlibatan politik minoritas Muslim seperti di India (Ahmed et.al, 2024). New media juga menghidupkan bahasa minoritas yang terancam punah (Valijärvi, 2023), mendukung moralitas/nilai minoritas keagamaan (Ferguson et.al, 2021), dan menyediakan tempat yang ‘tetap’ bagi minoritas Gereja (Kołodziejska, 2023). Dialog antara mayoritas-minoritas (Neumaier, 2020) juga terjadi dalam new media, di mana kebermaknaan dan fungsi sosial komunitas keagamaan dapat dimunculkan (Muller & Friemel, 2024). Kendati demikian, di sisi lain, new media berpotensi mengancam tradisi budaya dan norma kelompok konservatif keagamaan (Kheir & Muberg, 2020), memperkuat streotipe minoritas berbasis agama (Bruce, 2018), serta diskriminasi minoritas agama dalam hal pekerjaan (Ittefaq, 2023). Artinya, meskipun new media memungkinkan terjadinya diskriminasi terhadap minoritas, tetapi karena sifat keterbukaannya, new media tetap bisa menjadi ruang baru untuk terjadinya resistensi minoritas terhadap narasi mayoritas. Dengan demikian studi ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana peran new media sebagai ruang alternatif Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) (sebagai kelompok minoritas) dalam kontestasi mereka dengan arus-utama di Indonesia.

Menyepakati pandangan yang mendukung perjuangan minoritas dalam new media, studi ini berargumentasi dengan merujuk pada pandangan mediatisasi dari Couldry (2012), bahwa alih-alih selalu menjadi sasaran dominasi, pengalaman new media JAI justru mencerminkan keterbukaan ruang otoritas alternatif bagi kelompok yang terisolasi atau teraniaya. Menurut Couldry (2012), membangun saluran media atau fasilitas distribusi media sendiri merupakan alat penting dalam membangun otoritas agama alternatif. Artinya, pada saat JAI dipersekusi dengan tuduhan ‘sesat’ oleh arus-utama, media yang mereka bangun sendiri menjadi ruang alternatif untuk membangun otoritas.

Masih menurut Couldry (2012), blogging (dalam konteks JAI adalah blog-website) semakin menjadi alat umum untuk merefleksikan spiritualitas secara terbuka. Sebelum kemajuan internet di Indonesia, gerakan JAI tertutup dari masyarakat terutama sejak mereka menyebut Mirza Ghulam Ahmad (MGH) sebagai nabi (Ghaffar, 2023). Kehadiran blog-website menjadi alat untuk menerjemahkan spiritualitas mereka secara terbuka kepada masyarakat yang mempersekusinya. Sejalan dengan itu, pengalaman bermedia JAI membentuk suatu ‘media culture’ (Couldry, 2012). Couldry menggunakan istilah ‘budaya media’ untuk menyebut pengalaman bermedia orang-orang, cara orang hidup dengan media. JAI membangun budaya media berbasis keyakinan (belief needs) (Couldry, 2012), yaitu dengan berusaha menarasikan ajarannya tentang kenabian MGH secara lebih ramah dalam bingkai kebangsaan dan moderasi beragama (Wulandari & Bawono, 2023).

Berbeda dengan Couldry yang cenderung melihat bagaimana media membentuk dan memediasi realitas sosial serta partisipasi kultural di dunia modern, Hesmondhalgh (2008) lebih berfokus pada teori sosial kritis dan bagaimana media berhubungan dengan kekuasaan dan ideologi. Lebih jauh, Toynbee (2008) mengatakan bahwa proses produksi media diatur atau dipengaruhi oleh struktur sosial yang kompleks. Terdapat banyak faktor di balik produksi. Dengan kerangka ini, narasi JAI tetap menjadi narasi yang tidak bisa bebas dan lepas karena mayoritas Muslim di Indonesia adalah mereka yang menguasai media dan selalu menampilkan kekuasaan dan ideologi mereka dalam berbagai media yang dimilikinya. Fatwa MUI, misalnya, yang menyatakan kesesatan JAI, dan juga Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membatasi ruang gerak mereka (Ghaffar, 2023) adalah narasi kekuasaan yang memenuhi media arus-utama.

Terlepas dari otoritas dominan, JAI sebagai minoritas, menurut Couldry (2012) dapat memanfaatkan bentuk kekuasaan simbolik dalam memperkuat otoritas dalam masyarakat. JAI dapat menyuarakan apa yang mereka yakini melalui new media dan karenanya itu menjadi kekuatan simbolik untuk memperkuat otoritas, meski berhadapan dengan kelompok arus-utama yang juga memanfaakan media untuk untuk mendiskreditkan JAI di ruang online (Ghaffar, 2023). Sehingga, dengan mengedepankan argumentasi ini, yang terjadi sebenarnya adalah kontestasi dalam perebutan otoritas agama antara arus-utama dan minoritas JAI yang terjadi di ruang new media, dan JAI telah mengambil bagian dalam kontestasi ini melalui media yang mereka bangun sendiri (Couldry, 2012).

Berkaitan dengan itu, studi ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana new media yang dibangun oleh JAI berperan sebagai ruang alternatif otoritas dalam berkontestasi dengan arus-utama di Indonesia?

 

MIND MAP TEORI

 

Daftar Pustaka

Hesmondhalgh, D., & Toynbee, J. (2008). The Media and Social Theory. Routledge.

Couldry, N. (2012). Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practices. Polity Press.

Ahmed, S., Masood, M., & Wang, Y. (2024). Empowering the religious minority: examining the mobilizing role of social media for online political participation in an Asian democracy. Asian Journal of Communication, (34) 2, 135-155, doi:10.1080/01292986.2024.2317314

Gaffar, A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community.  Belief: Sociology of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.

Wulandari, P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based documentary film of  the Ahmadiyya Jamaat in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417, doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.

Müller, J., & Friemel, T.N. (2024). Dynamics of Digital Media Use in Religious Communities—A Theoretical Model. Religions 15, 762. https://doi.org/10.3390/rel15070762.

Neumaier, A. (2020): The big friendly counter-space? Interreligious encounter within social media, Religion, DOI: 10.1080/0048721X.2020.1754605.

Ittefaq, M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated in Society and Marginalized in Media: Social Representation of Christian Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI: 10.1080/17512786.2021.1939103.

Bruce, T. (2018). New technologies, continuing ideologies: Online reader comments as a support for media perspectives of minority religions. Discourse, Context & Media, xxx (2017) xxx–xxx.

Kołodziejska, M., Fajfer, L.,Hall, D., & Radde-Antweiler, D. (2023) Religious media settlers in times of deep mediatization. Religion, (53) 2, 199-223, doi: 10.1080/0048721X.2022.2083032.

Ferguson, J., Ecklund, E.H., & Rothschild, C. (2021). Navigating Religion Online: Jewish and Muslim Responses to Social Media. Religions, (12) 258,  https://doi.org/10.3390/ rel12040258.

Kheir, S., & Moberg, M. (2020). Internet and social media use and religion among minority groups in Israel: A case study of Muslim and Druze young adults. In Digital Media, Young Adults and Religion. Routledge.

Batool, S., Sultana, S., & Tariq, S. (2021). Social Media and Religious Minorities: Analyzing the Usage of Facebook Groups among Christian Minority to Highlight their Issues in Pakistan. Global Mass Communication Studies Review, VI(I), 117-132. https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(VI-I).10.

Valijärvi, R.,& Kahn, L. (2023). The Role of New Media in Minority- and Endangered-Language Communities. In Endangered Languages in the 21st Century. Routledge.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...