Peran Ruang New Media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia
dalam Kontestasi dengan Arus-Utama di Indonesia
(Revisi_SAP 4)
Beberapa studi terdahulu memandang praktik new media berperan
bagi kehidupan minoritas dan keagamaan. Melalui new media, minoritas pemeluk
Kristen di Pakistan menyelesaikan berbagai permasalahan mereka di tengah
dominasi mayoritas Muslim (Batool, 2021), bahkan membuka peluang keterlibatan politik
minoritas Muslim seperti di India (Ahmed et.al, 2024). New media juga menghidupkan
bahasa minoritas yang terancam punah (Valijärvi, 2023), mendukung moralitas/nilai
minoritas keagamaan (Ferguson et.al, 2021), dan menyediakan tempat yang ‘tetap’
bagi minoritas Gereja (Kołodziejska, 2023). Dialog antara mayoritas-minoritas (Neumaier,
2020) juga terjadi dalam new media, di mana kebermaknaan dan fungsi
sosial komunitas keagamaan dapat dimunculkan (Muller & Friemel, 2024). Kendati
demikian, di sisi lain, new media berpotensi mengancam tradisi budaya
dan norma kelompok konservatif keagamaan (Kheir & Muberg, 2020), memperkuat
streotipe minoritas berbasis agama (Bruce, 2018), serta diskriminasi minoritas
agama dalam hal pekerjaan (Ittefaq, 2023). Artinya, meskipun new media memungkinkan
terjadinya diskriminasi terhadap minoritas, tetapi karena sifat keterbukaannya,
new media tetap bisa menjadi ruang baru untuk terjadinya resistensi
minoritas terhadap narasi mayoritas. Dengan demikian studi ini bertujuan untuk
mengkaji bagaimana peran new media sebagai ruang alternatif Jama’ah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) (sebagai kelompok minoritas) dalam kontestasi mereka
dengan arus-utama di Indonesia.
Menyepakati
pandangan yang mendukung perjuangan minoritas dalam new media, studi ini
berargumentasi dengan merujuk pada pandangan mediatisasi dari Couldry
(2012), bahwa alih-alih selalu menjadi sasaran dominasi, pengalaman new
media JAI justru mencerminkan keterbukaan ruang otoritas alternatif bagi
kelompok yang terisolasi atau teraniaya. Menurut Couldry (2012), membangun
saluran media atau fasilitas distribusi media sendiri merupakan alat penting
dalam membangun otoritas agama alternatif. Artinya, pada saat JAI dipersekusi
dengan tuduhan ‘sesat’ oleh arus-utama, media yang mereka bangun sendiri
menjadi ruang alternatif untuk membangun otoritas.
Masih
menurut Couldry (2012), blogging (dalam konteks JAI adalah blog-website)
semakin menjadi alat umum untuk merefleksikan spiritualitas secara terbuka.
Sebelum kemajuan internet di Indonesia, gerakan JAI tertutup dari masyarakat
terutama sejak mereka menyebut Mirza Ghulam Ahmad (MGH) sebagai nabi (Ghaffar,
2023). Kehadiran blog-website menjadi alat untuk menerjemahkan spiritualitas
mereka secara terbuka kepada masyarakat yang mempersekusinya. Sejalan dengan
itu, pengalaman bermedia JAI membentuk suatu ‘media culture’ (Couldry,
2012). Couldry menggunakan istilah ‘budaya media’ untuk menyebut pengalaman
bermedia orang-orang, cara orang hidup dengan media. JAI membangun budaya media
berbasis keyakinan (belief needs) (Couldry, 2012), yaitu dengan berusaha
menarasikan ajarannya tentang kenabian MGH secara lebih ramah dalam bingkai
kebangsaan dan moderasi beragama (Wulandari & Bawono, 2023).
Berbeda
dengan Couldry yang cenderung melihat bagaimana media membentuk dan memediasi
realitas sosial serta partisipasi kultural di dunia modern, Hesmondhalgh (2008)
lebih berfokus pada teori sosial kritis dan bagaimana media berhubungan dengan
kekuasaan dan ideologi. Lebih jauh, Toynbee (2008) mengatakan bahwa proses
produksi media diatur atau dipengaruhi oleh struktur sosial yang kompleks.
Terdapat banyak faktor di balik produksi. Dengan kerangka ini, narasi JAI tetap
menjadi narasi yang tidak bisa bebas dan lepas karena mayoritas Muslim di
Indonesia adalah mereka yang menguasai media dan selalu menampilkan kekuasaan
dan ideologi mereka dalam berbagai media yang dimilikinya. Fatwa MUI, misalnya,
yang menyatakan kesesatan JAI, dan juga Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
yang membatasi ruang gerak mereka (Ghaffar, 2023) adalah narasi kekuasaan yang
memenuhi media arus-utama.
Terlepas
dari otoritas dominan, JAI sebagai minoritas, menurut Couldry (2012) dapat memanfaatkan
bentuk kekuasaan simbolik dalam memperkuat otoritas dalam masyarakat. JAI dapat
menyuarakan apa yang mereka yakini melalui new media dan karenanya itu
menjadi kekuatan simbolik untuk memperkuat otoritas, meski berhadapan dengan
kelompok arus-utama yang juga memanfaakan media untuk untuk mendiskreditkan JAI
di ruang online (Ghaffar, 2023). Sehingga, dengan mengedepankan argumentasi
ini, yang terjadi sebenarnya adalah kontestasi dalam perebutan otoritas agama
antara arus-utama dan minoritas JAI yang terjadi di ruang new media, dan
JAI telah mengambil bagian dalam kontestasi ini melalui media yang mereka
bangun sendiri (Couldry, 2012).
Berkaitan
dengan itu, studi ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana new media yang
dibangun oleh JAI berperan sebagai ruang alternatif otoritas dalam berkontestasi
dengan arus-utama di Indonesia?
Daftar
Pustaka
Hesmondhalgh,
D., & Toynbee, J. (2008). The Media and Social Theory. Routledge.
Couldry,
N. (2012). Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practices.
Polity Press.
Ahmed,
S., Masood, M., & Wang, Y. (2024). Empowering the religious minority:
examining the mobilizing role of social media for online political participation
in an Asian democracy. Asian Journal of Communication, (34) 2, 135-155, doi:10.1080/01292986.2024.2317314
Gaffar,
A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI
Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community. Belief: Sociology
of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.
Wulandari,
P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based
documentary film of the Ahmadiyya Jamaat
in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417,
doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.
Müller,
J., & Friemel, T.N. (2024). Dynamics of Digital Media Use in Religious
Communities—A Theoretical Model. Religions 15, 762. https://doi.org/10.3390/rel15070762.
Neumaier,
A. (2020): The big friendly counter-space? Interreligious encounter within
social media, Religion, DOI: 10.1080/0048721X.2020.1754605.
Ittefaq,
M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated
in Society and Marginalized in Media: Social Representation of Christian
Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI:
10.1080/17512786.2021.1939103.
Bruce,
T. (2018). New technologies, continuing ideologies: Online reader comments as a
support for media perspectives of minority religions. Discourse, Context
& Media, xxx (2017) xxx–xxx.
Kołodziejska,
M., Fajfer, L.,Hall, D., & Radde-Antweiler, D. (2023) Religious media
settlers in times of deep mediatization. Religion, (53) 2, 199-223, doi:
10.1080/0048721X.2022.2083032.
Ferguson,
J., Ecklund, E.H., & Rothschild, C. (2021). Navigating Religion Online:
Jewish and Muslim Responses to Social Media. Religions, (12) 258, https://doi.org/10.3390/ rel12040258.
Kheir, S.,
& Moberg, M. (2020). Internet and social media use and religion among
minority groups in Israel: A case study of Muslim and Druze young adults. In Digital
Media, Young Adults and Religion. Routledge.
Batool,
S., Sultana, S., & Tariq, S. (2021). Social Media and Religious Minorities:
Analyzing the Usage of Facebook Groups among Christian Minority to Highlight
their Issues in Pakistan. Global Mass Communication Studies Review,
VI(I), 117-132. https://doi.org/10.31703/gmcr.2021(VI-I).10.
Valijärvi,
R.,& Kahn, L. (2023). The Role of New Media in Minority- and
Endangered-Language Communities. In Endangered Languages in the 21st Century.
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar