Peran
Media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia
dalam
Kontestasi dengan Arus-Utama di Indonesia (SAP 4)
Studi
ini bertujuan untuk mengkaji peran media Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
(sebagai kelompok yang terpinggirkan) sebagai ruang alternatif dalam kontestasi
mereka dengan arus-utama di Indonesia. Studi ini berargumentasi bahwa pengalaman
media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam media online mencerminkan keterbukaan
ruang otoritas alternatif bagi kelompok yang terisolasi atau teraniaya. Hal ini
sejalan dengan pandangan Couldry (2012) bahwa membangun saluran media atau
fasilitas distribusi media sendiri merupakan alat penting dalam membangun
otoritas agama alternatif. Artinya, saat JAI dipersekusi dengan framing
‘sesat’ oleh arus-utama, maka media yang mereka bangun sendiri menjadi ruang
alternatif untuk membangun otoritas.
Selain
untuk membangun otoritas agama, menurut Couldry (2012), blogging (dalam
konteks JAI adalah website) semakin menjadi alat umum untuk merefleksikan
spiritualitas secara terbuka. Selama beberapa waktu, sebelum era internet di
Indonesia, gerakan JAI tertutup dari masyarakat terutama sejak mereka dianggap
telah “menyimpang dan sesat”, karena menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
(Solikhati, 2022). Kehadiran website menjadi ruang atau alat untuk
menerjemahkan spiritualitas mereka secara terbuka.
Lebih
dari itu, bagi JAI, media tidak hanya sebagai alat. Sebagaimana dikatakan
Couldry (2012), pengalaman bermedia JAI juga menggambarkan apa yang disebut
sebagai ‘media culture.’ Couldry tidak menggunakan istilah ‘sistem
media’ yang cenderung berbasis analisis ekonomi politik tetapi ‘budaya media’
yang merujuk kepada pengalaman bermedia orang-orang, cara orang hidup dengan
media. Karena mengalami penolakan di berbagai tempat di ruang offline, JAI
berusaha menampilkan cara bermedia (budaya media) yang lebih ramah dan
berorientasi kebangsaan untuk dapat diterima publik luas. Kajian Solikhati
(2022) dan Wulandari & Bawono (2023 melaporkan bagaimana JAI menggunakan
pendekatan moderasi beragama dan kebangsaan dalam beberapa narasi media yang
mereka tampilkan.
JAI
membangun budaya media berbasis keyakinan (belief needs) (Couldry,
2012). Couldry menegaskan bahwa refleksi terhadap media keagamaan mungkin
merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dari bagaimana agama kini tertanam
dalam budaya media. Kebutuhan akan keyakinan (belief needs) menjadi isu
yang sangat sentral dalam kegiatan bermedia JAI. Melalui medianya, JAI menampilkan
pokok-pokok inti dari keyakinan mereka yang dianggap telah keluar dari pikiran
arus-utama. Orientasi keyakinan inilah yang menjadi basis bagi budaya media
kelompok JAI.
Sejalan
dengan itu, media juga, menurut Mankekar dalam Hesmondhalgh & Toynbee
(2008), membentuk cara orang mengalami perjalanan waktu: cara mereka mengingat
atau melupakan aspek masa lalu, cara mereka menafsirkan dan menjalani masa
kini, dan cara mereka membayangkan masa depan. JAI merefleksikan apa yang pernah
mereka alami di masa lalu dalam bentuk persekusi oleh otoritas arus-utama
keagamaan di Indonesia, yaitu MUI, dengan menfatwakan mereka telah menyimpang
dan sesat. Juga Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membatasi ruang gerak
mereka (Ghaffar, 2023; Suryana, 2017). Pengalaman persekusi yang masih terus
berlanjut hingga saat ini membuat kegiatan bermedia JAI lebih terorganisir
sebagai ruang gerak baru dalam ‘membayangkan masa depan’ yang terbebas dari
persekusi di Indonesia. Untuk tujuan itu, salah satu pendekatan yang ditempuh JAI
melalui media adalah dengan berusaha menampilkan narasi yang lebih terbuka.
Narasi
yang lebih terbuka melalui internet sebetulnya, menurut Ginsburg dalam Hesmondhalgh
& Toynbee (2008), dapat mendorong pengembangan jaringan politik dan perluasan
jangkauan dari budaya tradisional ke dalam domain baru. JAI dalam beberapa
postingannya, untuk orientasi pengembangan jaringan politik, berusaha
mengadaptasi narasi-narasi yang sering disuarakan oleh banyak jaringan/lembaga
di Indonesia, seperti NKRI harga mati, Indonesia negara Pancasila, dan
sebagainya (Solikhati, 2022). Hal ini mencerminkan bentuk baru dalam narasi
yang mereka kembangkan dari narasi tradisional yang cenderung kaku dan tertutup
menjadi narasi yang lebih ramah.
Namun,
memang tidak mudah bagi JAI untuk diakui oleh kelompok arus-utama. Ini bisa
merujuk kepada kekhawatiran Couldry (2012) tentang era digital sebagai era
ketidakpastian. Menurutnya, teknologi komunikasi baru khususnya telah
melahirkan mitos-mitos yang tiada habisnya (tentang demokratisasi, keharmonisan
politik, perdamaian dunia). Apa yang dilakukan Ahmadiyah memang merefleksikan
sebuah demokratisasi media bagi minoritas, tetapi justru karena Jama’ah
Ahmadiyah masih tergolong minoritas dan masih dipersekusi, penggunaan media dalam
konteks mereka tentu saja masih dalam batas-batas yang didominasi oleh narasi
arus-utama. Terlebih, saat narasi media JAI berhadapan langsung dengan narasi media
arus-utama yang proses produksinya, sebagaimana dikatakan Toynbee (2008), diatur
atau dipengaruhi oleh struktur sosial yang kompleks. Akibatnya narasi JAI tetap
menjadi narasi yang tidak bisa bebas dan lepas.
Peluang
yang cukup menguntungkan JAI adalah ketika Couldry (2012) menyatakan baik
institusi keagamaan maupun media memanfaatkan bentuk kekuasaan simbolik yang
sangat umum untuk mewakili dunia dalam memperkuat otoritas dalam masyarakat. JAI
telah menggunakan media dalam menyuarakan apa yang mereka yakini dan karenanya
itu menjadi kekuatan simbolik untuk memperkuat otoritas, tetapi persoalannya, pada
saat yang sama, kelompok arus-utama seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah serta kelompok wahabisme juga memanfaakan media untuk untuk
mendiskreditkan mereka di ruang online (Budiwanti, 2009). Sehingga, yang
terjadi sebenarnya adalah kontestasi dalam perebutan otoritas agama antara
arus-utama dan sempalan yang terjadi di ruang online, dan JAI telah mengambil
bagian dalam perebutan otoritas tersebut melalui media yang mereka bangun
sendiri.
Berkaitan
dengan itu, studi ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana media yang
dibangun oleh JAI berperan sebagai ruang alternatif otoritas dalam
berkontestasi dengan arus-utama di Indonesia?
Daftar
Pustaka
Hesmondhalgh,
D., & Toynbee, J. (2008). The Media and Social Theory. Routledge.
Couldry,
N. (2012). Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practices.
Polity Press.
Budiwanti,
E. (2009). Pluralism collapses: A Study of the Jama’Ah Ahmadiyah Indonesia and
its persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.
Gaffar,
A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI
Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community. Belief: Sociology
of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.
Wulandari,
P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based
documentary film of the Ahmadiyya Jamaat
in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417,
doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.
Suryana,
A. (2017). Discrepancy in state practices: The cases of violence against Ahmadiyah
and Shi’a minority communities during the presidency of Susilo Bambang
Yudhoyono. Al-Jami’ah, 55 (1). https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.71-104.
Solikhati,
S. (2022). Religious moderation and the struggle for identity through new media:
Study of the Indonesian Ahmadiyya Congregation. Religious, 6 (2). https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/15058.
Rizkita,
M., &Hidayat, A. (2023). Love for
all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan
Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuansa, 20 (1), https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378
Tidak ada komentar:
Posting Komentar