Senin, 16 September 2024

 

Peran Media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia

dalam Kontestasi dengan Arus-Utama di Indonesia (SAP 4)

 

Studi ini bertujuan untuk mengkaji peran media Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) (sebagai kelompok yang terpinggirkan) sebagai ruang alternatif dalam kontestasi mereka dengan arus-utama di Indonesia. Studi ini berargumentasi bahwa pengalaman media Jama'ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam media online mencerminkan keterbukaan ruang otoritas alternatif bagi kelompok yang terisolasi atau teraniaya. Hal ini sejalan dengan pandangan Couldry (2012) bahwa membangun saluran media atau fasilitas distribusi media sendiri merupakan alat penting dalam membangun otoritas agama alternatif. Artinya, saat JAI dipersekusi dengan framing ‘sesat’ oleh arus-utama, maka media yang mereka bangun sendiri menjadi ruang alternatif untuk membangun otoritas.

Selain untuk membangun otoritas agama, menurut Couldry (2012), blogging (dalam konteks JAI adalah website) semakin menjadi alat umum untuk merefleksikan spiritualitas secara terbuka. Selama beberapa waktu, sebelum era internet di Indonesia, gerakan JAI tertutup dari masyarakat terutama sejak mereka dianggap telah “menyimpang dan sesat”, karena menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi (Solikhati, 2022). Kehadiran website menjadi ruang atau alat untuk menerjemahkan spiritualitas mereka secara terbuka.

Lebih dari itu, bagi JAI, media tidak hanya sebagai alat. Sebagaimana dikatakan Couldry (2012), pengalaman bermedia JAI juga menggambarkan apa yang disebut sebagai ‘media culture.’ Couldry tidak menggunakan istilah ‘sistem media’ yang cenderung berbasis analisis ekonomi politik tetapi ‘budaya media’ yang merujuk kepada pengalaman bermedia orang-orang, cara orang hidup dengan media. Karena mengalami penolakan di berbagai tempat di ruang offline, JAI berusaha menampilkan cara bermedia (budaya media) yang lebih ramah dan berorientasi kebangsaan untuk dapat diterima publik luas. Kajian Solikhati (2022) dan Wulandari & Bawono (2023 melaporkan bagaimana JAI menggunakan pendekatan moderasi beragama dan kebangsaan dalam beberapa narasi media yang mereka tampilkan.

JAI membangun budaya media berbasis keyakinan (belief needs) (Couldry, 2012). Couldry menegaskan bahwa refleksi terhadap media keagamaan mungkin merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan dari bagaimana agama kini tertanam dalam budaya media. Kebutuhan akan keyakinan (belief needs) menjadi isu yang sangat sentral dalam kegiatan bermedia JAI. Melalui medianya, JAI menampilkan pokok-pokok inti dari keyakinan mereka yang dianggap telah keluar dari pikiran arus-utama. Orientasi keyakinan inilah yang menjadi basis bagi budaya media kelompok JAI.

Sejalan dengan itu, media juga, menurut Mankekar dalam Hesmondhalgh & Toynbee (2008), membentuk cara orang mengalami perjalanan waktu: cara mereka mengingat atau melupakan aspek masa lalu, cara mereka menafsirkan dan menjalani masa kini, dan cara mereka membayangkan masa depan. JAI merefleksikan apa yang pernah mereka alami di masa lalu dalam bentuk persekusi oleh otoritas arus-utama keagamaan di Indonesia, yaitu MUI, dengan menfatwakan mereka telah menyimpang dan sesat. Juga Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang membatasi ruang gerak mereka (Ghaffar, 2023; Suryana, 2017). Pengalaman persekusi yang masih terus berlanjut hingga saat ini membuat kegiatan bermedia JAI lebih terorganisir sebagai ruang gerak baru dalam ‘membayangkan masa depan’ yang terbebas dari persekusi di Indonesia. Untuk tujuan itu, salah satu pendekatan yang ditempuh JAI melalui media adalah dengan berusaha menampilkan narasi yang lebih terbuka.

Narasi yang lebih terbuka melalui internet sebetulnya, menurut Ginsburg dalam Hesmondhalgh & Toynbee (2008), dapat mendorong pengembangan jaringan politik dan perluasan jangkauan dari budaya tradisional ke dalam domain baru. JAI dalam beberapa postingannya, untuk orientasi pengembangan jaringan politik, berusaha mengadaptasi narasi-narasi yang sering disuarakan oleh banyak jaringan/lembaga di Indonesia, seperti NKRI harga mati, Indonesia negara Pancasila, dan sebagainya (Solikhati, 2022). Hal ini mencerminkan bentuk baru dalam narasi yang mereka kembangkan dari narasi tradisional yang cenderung kaku dan tertutup menjadi narasi yang lebih ramah.

Namun, memang tidak mudah bagi JAI untuk diakui oleh kelompok arus-utama. Ini bisa merujuk kepada kekhawatiran Couldry (2012) tentang era digital sebagai era ketidakpastian. Menurutnya, teknologi komunikasi baru khususnya telah melahirkan mitos-mitos yang tiada habisnya (tentang demokratisasi, keharmonisan politik, perdamaian dunia). Apa yang dilakukan Ahmadiyah memang merefleksikan sebuah demokratisasi media bagi minoritas, tetapi justru karena Jama’ah Ahmadiyah masih tergolong minoritas dan masih dipersekusi, penggunaan media dalam konteks mereka tentu saja masih dalam batas-batas yang didominasi oleh narasi arus-utama. Terlebih, saat narasi media JAI berhadapan langsung dengan narasi media arus-utama yang proses produksinya, sebagaimana dikatakan Toynbee (2008), diatur atau dipengaruhi oleh struktur sosial yang kompleks. Akibatnya narasi JAI tetap menjadi narasi yang tidak bisa bebas dan lepas.

Peluang yang cukup menguntungkan JAI adalah ketika Couldry (2012) menyatakan baik institusi keagamaan maupun media memanfaatkan bentuk kekuasaan simbolik yang sangat umum untuk mewakili dunia dalam memperkuat otoritas dalam masyarakat. JAI telah menggunakan media dalam menyuarakan apa yang mereka yakini dan karenanya itu menjadi kekuatan simbolik untuk memperkuat otoritas, tetapi persoalannya, pada saat yang sama, kelompok arus-utama seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah serta kelompok wahabisme juga memanfaakan media untuk untuk mendiskreditkan mereka di ruang online (Budiwanti, 2009). Sehingga, yang terjadi sebenarnya adalah kontestasi dalam perebutan otoritas agama antara arus-utama dan sempalan yang terjadi di ruang online, dan JAI telah mengambil bagian dalam perebutan otoritas tersebut melalui media yang mereka bangun sendiri.

Berkaitan dengan itu, studi ini akan menjawab pertanyaan: bagaimana media yang dibangun oleh JAI berperan sebagai ruang alternatif otoritas dalam berkontestasi dengan arus-utama di Indonesia?

 

Daftar Pustaka

Hesmondhalgh, D., & Toynbee, J. (2008). The Media and Social Theory. Routledge.

Couldry, N. (2012). Media, Society, World: Social Theory and Digital Media Practices. Polity Press.

Budiwanti, E. (2009). Pluralism collapses: A Study of the Jama’Ah Ahmadiyah Indonesia and its persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.

Gaffar, A. (2023). Persecution of the Indonesian Ahmadiyya Congregation through the MUI Fatwa, Tuan Guru, and the Lombok Community.  Belief: Sociology of Religion Journal. 1 (1), https://doi.org/10.30983/belief.v1i1.6482.

Wulandari, P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based documentary film of  the Ahmadiyya Jamaat in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417, doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.

Suryana, A. (2017). Discrepancy in state practices: The cases of violence against Ahmadiyah and Shi’a minority communities during the presidency of Susilo Bambang Yudhoyono. Al-Jami’ah, 55 (1). https://doi.org/10.14421/ajis.2017.551.71-104.

Solikhati, S. (2022). Religious moderation and the struggle for identity through new media: Study of the Indonesian Ahmadiyya Congregation. Religious, 6 (2). https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/15058.

Rizkita, M., &Hidayat, A.  (2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuansa, 20 (1),  https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...