Dominasi
Arus Utama terhadap
Kelompok
Marginal dalam Siniar (Podcast)
(Perspektif
Media, Praktik, dan Sistem Sosial)
REVISI
SAP 3
Studi
ini akan mengkaji bagaimana dinamika dan kesulitan perjuangan kelompok marginal
(dalam hal ini adalah mereka yang keluar dari Islam ke agama lain) memanfaatkan
siniar (podcast) untuk melawan dominasi arus utama. Ruang siniar dinggap
bisa menjadi ruang untuk mengimbangi narasi dominan yang berkuasa (Budiawan,
2020). Siniar mungkin dapat digunakan sebagai medan perjuangan baru bagi
kalangan marginal karena sifat keterbukaannya yang memberi ruang kebebasan
berekspresi (Carvalho dkk., 2009; McClung & Johnson, 2010; Anderson, 2023;
dan Saxton & Guo, 2020; Sirait & Irwansyah, 2021; dan Williams, 2020).
Namun, ruang siniar tidak sepenuhnya menjamin kebebasan pihak marginal, karena
arus-utama juga mendominasi ruang siniar melebihi siniar yang menampilkan kelompok
marginal (Stjernholm, 2024). Artinya, pelaku pindah agama (dari Islam ke agama
lain) memerlukan perjuangan keras (struggle) dalam melawan tatanan
sosial arus utama.
Studi
ini, dengan merujuk kepada Bourdieu (1977), berargumentasi bahwa lingkungan
sosial kelompok marginal (mereka yang berpindah keyakinan dari Islam ke agama
lain) mencerminkan sebuah tatanan sosial (social order) di mana
kekuasaan (power) agama mendiskreditkan mereka yang berpindah agama.
Bahkan, ruang siniar (podcast) yang dianggap menjamin kebebasan tetap
didominasi oleh kekuasaan arus utama. Ini kemudian mengharuskan kelompok
marginal untuk melakukan perjuangan sebagai resistensi terhadap
kekuasaan agama yang dominan.
Resistensi
marginal menjadi tidak mudah karena melawan habitus yang ditinggalkannya.
Dalam pandangan Bourdeau (1977), habitus sebagai sistem disposisi ini
terbentuk dari hasil pembelajaran, pembiasaan, dan interaksi antar individu
dalam masyarakat, namun bisa mengalami perubahan (durable, transposable
disposition) seiring waktu. Orang yang berpindah agama dari Islam tentu
saja pernah hidup dan didibesarkan dalam habitus norma dan nilai keislaman,
lalu kemudian meninggalkannya. Saat individu memilih untuk keluar dari habitus,
menurut Abdullah (2013), mereka akan dihujat secara sosial dan dimarginalisasi karena
dalam konteks kehidupan Muslim, norma-norma keislaman dianggap sebagai komponen
penting dari habitus individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Perjuangan
mereka yang meninggalkan habitusnya berhadapan dengan permasalahan modal, baik
dalam bentuk modal ekonomi, sosial, maupun budaya (Bourdeau, 1977). Sebelum
berpindah agama, mereka yang tadinya adalah seorang Muslim dengan komitmen
tinggi pada habitus-nya memiliki modal yang cukup untuk diterima oleh
masyarakatnya. Sehingga, berdasarkan Bourdieu (1977), orang yang berpindah
agama tidak lagi dapat menggunakan modal/jaringan sosial yang berlandaskan
norma agama Islam yang berlaku. Lebih jauh, mereka juga kehilangan akses
terhadap sumber daya budaya dan ekonomi (Bourdeu, 1977) yang sangat ditentukan
oleh partisipasi mereka dalam kelompok mayoritas Muslim.
Akibat
dari semuanya, individu yang berpindah agama juga menjadi sasaran kekuasaan
simbolik. Bourdieu (1977) menyatakan bahwa kekuasaan simbolik adalah kekuatan
yang bekerja melalui bahasa, representasi, dan ideologi, yang mampu memperkuat
dominasi sosial. Dalam kasus konversi agama dari Islam ke agama lain, pelakunya
akan dicap sebagai “murtad” atau “pengkhianat,” sebagai bentuk penghukuman
moral dan eksklusi sosial (Fachrudin, 2018). Sebagai hasilnya, kekuasaan
simbolik yang dimiliki oleh kelompok mayoritas Muslim memperkuat marginalisasi
terhadap individu-individu yang terlibat dalam perpindahan agama.
Dengan
demikian, studi ini menolak kerangka de Certeau (1984) yang memandang tindakan sehari-hari
(everyday life) bisa menjadi ‘taktik’ dalam melawan ‘strategi’ kekuasaan.
Bagi Certeau, individu bisa memainkan tindakan subversif mereka, dengan cara menavigasi
tindakan dalam melawan kekuasaan dominan. Dengan kerangka tersebut, mereka yang
berpindah agama diasumsikan mampu melawan kekuasaan dominan melalui kegiatan
atau praktik sehari-hari. Sebabnya, menurut de Certeau (1984), individu atau
kelompok yang terpinggirkan seringkali tidak bisa secara langsung menantang
struktur kekuasaan yang ada. Mereka (kalangan marginal) bisa menggunakan
taktik-taktik cerdik dalam ruang dan waktu yang tersedia untuk menyelinap dan
melawan dari dalam.
Namun,
masalahnya, dalam konteks relasi mayoritas-minoritas Indonesia, di mana mayoritas
Muslim menguasai hampir semua arena kehidupan sosial (Mubarrak & Kumalla,
2020), posisi mereka yang berpindah keyakinan dari Islam ke agama lain sangat
tidak diuntungkan meskipun dengan mengedepankan tindakan taktis sehari-hari seperti
disebutkan Certaeau (1984). Sehingga, mereka yang berpindah agama tetap
mengalami kesulitan dalam menavigasi perilaku taktiknya. Dalam konteks
Indonesia yang sangat fanatis, taktik de Certeau (1984) tidak dapat bekerja
untuk menyelesaikan dominasi kekuasaan Muslim terhadap individu yang berpindah
agama, justru kondisi/pengalaman marginal (berpindah agama) di Indonesia
mencerminkan pandangan Bourdeau (1977) tentang tatanan sosial (social order)
yang menghambat ekspresi diri individu pelaku perpindahan agama.
Studi
ini, karenanya, bertujuan untuk menganalisis bagaimana dinamika dan kesulitan
kelompok marginal memanfaatkan podcast berbasis platform YouTube dalam
melakukan resistensi atau perjuangan melawan dominasi kekuasaan agama. Maka
studi ini mengajukan pertanyaan:
1. Bagaimana
tatanan sosial dominan berhubungan dengan dinamika dan kesulitan marginal dalam
menavigasi diri termasuk dalam ruang siniar?
2. Bagaimana
norma kehidupan arus-utama memarjinalisasi para pelaku pindah agama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar