Minggu, 15 September 2024

Dominasi Arus Utama terhadap

Kelompok Marginal dalam Siniar (Podcast)

(Perspektif Media, Praktik, dan Sistem Sosial)

REVISI SAP 3

 

Studi ini akan mengkaji bagaimana dinamika dan kesulitan perjuangan kelompok marginal (dalam hal ini adalah mereka yang keluar dari Islam ke agama lain) memanfaatkan siniar (podcast) untuk melawan dominasi arus utama. Ruang siniar dinggap bisa menjadi ruang untuk mengimbangi narasi dominan yang berkuasa (Budiawan, 2020). Siniar mungkin dapat digunakan sebagai medan perjuangan baru bagi kalangan marginal karena sifat keterbukaannya yang memberi ruang kebebasan berekspresi (Carvalho dkk., 2009; McClung & Johnson, 2010; Anderson, 2023; dan Saxton & Guo, 2020; Sirait & Irwansyah, 2021; dan Williams, 2020). Namun, ruang siniar tidak sepenuhnya menjamin kebebasan pihak marginal, karena arus-utama juga mendominasi ruang siniar melebihi siniar yang menampilkan kelompok marginal (Stjernholm, 2024). Artinya, pelaku pindah agama (dari Islam ke agama lain) memerlukan perjuangan keras (struggle) dalam melawan tatanan sosial arus utama.

Studi ini, dengan merujuk kepada Bourdieu (1977), berargumentasi bahwa lingkungan sosial kelompok marginal (mereka yang berpindah keyakinan dari Islam ke agama lain) mencerminkan sebuah tatanan sosial (social order) di mana kekuasaan (power) agama mendiskreditkan mereka yang berpindah agama. Bahkan, ruang siniar (podcast) yang dianggap menjamin kebebasan tetap didominasi oleh kekuasaan arus utama. Ini kemudian mengharuskan kelompok marginal untuk melakukan perjuangan sebagai resistensi terhadap kekuasaan agama yang dominan.

Resistensi marginal menjadi tidak mudah karena melawan habitus yang ditinggalkannya. Dalam pandangan Bourdeau (1977), habitus sebagai sistem disposisi ini terbentuk dari hasil pembelajaran, pembiasaan, dan interaksi antar individu dalam masyarakat, namun bisa mengalami perubahan (durable, transposable disposition) seiring waktu. Orang yang berpindah agama dari Islam tentu saja pernah hidup dan didibesarkan dalam habitus norma dan nilai keislaman, lalu kemudian meninggalkannya. Saat individu memilih untuk keluar dari habitus, menurut Abdullah (2013), mereka akan dihujat secara sosial dan dimarginalisasi karena dalam konteks kehidupan Muslim, norma-norma keislaman dianggap sebagai komponen penting dari habitus individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Perjuangan mereka yang meninggalkan habitusnya berhadapan dengan permasalahan modal, baik dalam bentuk modal ekonomi, sosial, maupun budaya (Bourdeau, 1977). Sebelum berpindah agama, mereka yang tadinya adalah seorang Muslim dengan komitmen tinggi pada habitus-nya memiliki modal yang cukup untuk diterima oleh masyarakatnya. Sehingga, berdasarkan Bourdieu (1977), orang yang berpindah agama tidak lagi dapat menggunakan modal/jaringan sosial yang berlandaskan norma agama Islam yang berlaku. Lebih jauh, mereka juga kehilangan akses terhadap sumber daya budaya dan ekonomi (Bourdeu, 1977) yang sangat ditentukan oleh partisipasi mereka dalam kelompok mayoritas Muslim.

Akibat dari semuanya, individu yang berpindah agama juga menjadi sasaran kekuasaan simbolik. Bourdieu (1977) menyatakan bahwa kekuasaan simbolik adalah kekuatan yang bekerja melalui bahasa, representasi, dan ideologi, yang mampu memperkuat dominasi sosial. Dalam kasus konversi agama dari Islam ke agama lain, pelakunya akan dicap sebagai “murtad” atau “pengkhianat,” sebagai bentuk penghukuman moral dan eksklusi sosial (Fachrudin, 2018). Sebagai hasilnya, kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh kelompok mayoritas Muslim memperkuat marginalisasi terhadap individu-individu yang terlibat dalam perpindahan agama.

Dengan demikian, studi ini menolak kerangka de Certeau (1984) yang memandang tindakan sehari-hari (everyday life) bisa menjadi ‘taktik’ dalam melawan ‘strategi’ kekuasaan. Bagi Certeau, individu bisa memainkan tindakan subversif mereka, dengan cara menavigasi tindakan dalam melawan kekuasaan dominan. Dengan kerangka tersebut, mereka yang berpindah agama diasumsikan mampu melawan kekuasaan dominan melalui kegiatan atau praktik sehari-hari. Sebabnya, menurut de Certeau (1984), individu atau kelompok yang terpinggirkan seringkali tidak bisa secara langsung menantang struktur kekuasaan yang ada. Mereka (kalangan marginal) bisa menggunakan taktik-taktik cerdik dalam ruang dan waktu yang tersedia untuk menyelinap dan melawan dari dalam.

Namun, masalahnya, dalam konteks relasi mayoritas-minoritas Indonesia, di mana mayoritas Muslim menguasai hampir semua arena kehidupan sosial (Mubarrak & Kumalla, 2020), posisi mereka yang berpindah keyakinan dari Islam ke agama lain sangat tidak diuntungkan meskipun dengan mengedepankan tindakan taktis sehari-hari seperti disebutkan Certaeau (1984). Sehingga, mereka yang berpindah agama tetap mengalami kesulitan dalam menavigasi perilaku taktiknya. Dalam konteks Indonesia yang sangat fanatis, taktik de Certeau (1984) tidak dapat bekerja untuk menyelesaikan dominasi kekuasaan Muslim terhadap individu yang berpindah agama, justru kondisi/pengalaman marginal (berpindah agama) di Indonesia mencerminkan pandangan Bourdeau (1977) tentang tatanan sosial (social order) yang menghambat ekspresi diri individu pelaku perpindahan agama.

Studi ini, karenanya, bertujuan untuk menganalisis bagaimana dinamika dan kesulitan kelompok marginal memanfaatkan podcast berbasis platform YouTube dalam melakukan resistensi atau perjuangan melawan dominasi kekuasaan agama. Maka studi ini mengajukan pertanyaan:

1.  Bagaimana tatanan sosial dominan berhubungan dengan dinamika dan kesulitan marginal dalam menavigasi diri termasuk dalam ruang siniar?

2.    Bagaimana norma kehidupan arus-utama memarjinalisasi para pelaku pindah agama?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...