Media
Ahmadiyah dan Perlawanan terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas
REVISI_SAP
13
Beberapa
peneliti mengungkapkan bahwa kehidupan dan pengalaman kelompok minoritas Ahmadiyah,
sebagai pihak yang dipersekusi (Ghaffar, 2023) berada pada posisi terdominasi
dan narasi mereka diabaikan oleh kelompok mayoritas (Hicks, 2018; Seikh &
Raja, 2024; Mastro, 2017; Nastiti, 2014; Schäfer, 2017). Namun, kehadiran
teknologi media digital telah membawa perubahan bagi pengalaman sehari-hari
mereka sebagai minoritas (Schneider & Richter, 2015: Wulandari &
Bawono, 2023; Kelso, 2022). Ahmadiyah sebagai pengguna media digital terlibat
aktif dalam menghadirkan berbagai narasi alternatif yang berpihak pada
eksistensi mereka (Sevea, 2009; Bakti, 2021; Burhani, 2020). Hal ini sejalan
dengan gagasan McLuhan (2013) yang menyatakan bahwa kehadiran media sebagai
teknologi telah mengubah masyarakat, menciptakan kebiasaan baru yang dinamis,
dan melibatkan pengalaman masyarakat dalam penggunaannya. Berkaitan dengan itu,
peneliti berargumen bahwa perubahan pengalaman keagamaan Ahmadiyah terjadi
sebagai implikasi dari teknologi baru yang mereka gunakan. Teknologi baru ini merupakan
teknologi digital yang memengaruhi cara pandang, cara interaksi, dan perlawanan
Ahmadiyah terhadap kelompok mayoritas (Schafer, 2018).
Studi ini menggarisbawahi bagaimana
media digital memfasilitasi minoritas Ahmadiyah dalam upaya melawan narasi
persekusi yang sentralistik pada media arus-utama yang dikendalikan oleh
mayoritas. Berkaitan dengan ini, peneliti merujuk kepada gagasan McLuhan
tentang teknologi/media dan desentralisasi. McLuhan (2013) mencontohkan
bagaimana pada masanya telegraf membebaskan pers provinsi yang terpinggirkan
dari ketergantungan pada pers metropolitan besar. Dalam hal ini, melalui media
digital, Ahmadiyah sebagai komunitas terpinggirkan memanfaatkan teknologi
digital untuk melawan sentralitas narasi yang terdapat dalam media arus-utama.
Hal ini sekaligus mengkritik sentralitas media yang telah menjadikan Ahmadiyah
sebagai pihak yang dipersekusi dari waktu ke waktu (Connley, 2016).
Lebih
jauh, peneliti berargumen bahwa teknologi digital telah menghadirkan lingkungan
baru bagi Ahmadiyah, yang menggantikan lingkungan lama yang penuh keterbatasan
sebelum kehadiran teknologi. Hal ini merujuk kepada pandangan McLuhan (2013) bahwa setiap
teknologi (media) secara bertahap menciptakan lingkungan baru. Lingkungan
tersebut tidak bersifat pasif tetapi sebagai proses yang aktif. Ahmadiyah dalam
hal ini hidup dalam lingkungan baru yang aktif dan dinamis karena berbagai
fitur teknologi digital yang mereka gunakan. Hal ini sebagaimana dikatakan Mul
(2014) bahwa kelengkapan fitur teknologi digital memberikan pengalaman yang
berbeda dalam praktik bermedia. Lingkungan baru Ahmadiyah tersebut terbentuk
dalam tren penampilan pengalaman keagamaan yang berbeda dari pola konvensional.
Temuan Schafer (2018) juga menunjukkan adanya praktik baru dalam representasi
diri Ahmadiyah berbasis teknologi digital sebagaimana dialami oleh komunitas
Ahmadiyah di Indonesia dan Malaysia. Menurut
temuan Schafer, Ahmadiyah menggunakan media digital untuk menjelaskan tuduhan
sesat yang dialamatkan kepada mereka.
Penggunaan media digital oleh
Ahmadiyah berkaitan erat dengan pengalaman sehari-hari mereka yang yang terddampak
teknologi itu sendiri. Dalam hal ini, McLuhan (1999) melihat teknologi media
menjalankan fungsi seni dengan membuat penggunanya sadar akan dampak psikologis
dan sosial dari teknologi. Kehadiran teknologi digital karenanya telah
berdampak pada kecenderungan Ahmadiyah untuk memikirkan kembali langkah dan
posisi mereka di tengah kelompok mayoritas. Secara psikologis, teknologi
digital membangkitkan motivasi diri Ahmadiyah untuk bermanuver di tengah
dominasi (Sevea, 2009), sedangkan secara sosial, teknologi digital menciptakan
ruang gerak yang lebih leluasa bagi minoritas Ahmadiyah (Wulandari &
Bawono, 2023; Salas-Pilco, 2022).
Apa
yang dialami oleh Ahmadiyah melalui teknologi/media digital bekerja dalam
gagasan 'media adalah pesan.' Berkaitan ini, McLuhan (2013) menekankan posisi
media sebagai ruang pembentukan sejarah yang merefleksikan kemajuan dan
peradaban. Artinya, pengalaman Ahmadiyah dalam ruang teknologi digital menunjukkan
bagaimana teknologi menjadi ruang bagi narasi Ahmadiyah. Karenanya, peneliti
berargumen bahwa meskipun pesan keagamaan Ahmadiyah yang disampaikan melalui
media tidak diterima oleh atau tidak berdampak kepada mayoritas, penggunaan
teknologi media terutama teknologi digital telah mencerminkan kemajuan
komunitas ini dan mereka dapat membangun narasi secara leluasa melalui ruang
digital itu (Burhani, 2020).
Penggunaan
teknologi digital dalam komunitas Ahmadiyah menyediakan ruang aktif bagi mereka
untuk meninjau berbagai narasi besar tentang persekusi yang terdapat pada media
arus-utama yang dikendalikan oleh kelompok mayoritas (Schneider &
Richter, 2015; Solikhati, 2022). Hal ini sejalan dengan McGuigan tentang bagaimana
narasi besar (meta-narasi) dapat dikritisi dalam post-modernitas. McGuigan
(2006) mengatakan bahwa postmodernitas dicirikan dengan runtuhnya meta-narasi
(narasi arus-utama). Pengalaman sehari-hari, teks media, dan bahkan budaya
massa popular termasuk ke dalam ciri post-modernitas, yang tidak hanya terbatas
pada budaya kaum elit (McGuigan, 2006). Dalam hal ini, Ahmadiyah menjadi agen
aktif yang menarasikan pengalaman keseharian mereka melalui ruang digital,
untuk melawan narasi utama (meta-narasi), dan tidak terikat dengan budaya atau
narasi elit keagamaan yang dikendalikan oleh kelompok mayoritas. Hal ini,
sejauh dilakukan melalui ruang digital, menurut Rogers (2021), menjadi ruang
bagi penguatan narasi marginal secara lebih massif.
Pengalaman
Ahmadiyah dalam kaitan dengan teknologi digital merupakan praktik dekonstruksi
terhadap narasi yang telah mapan (. McGuigan (2006) berpendapat bahwa teknologi
telah menjadi perantara identitas, menghasilkan metafora tentang dekonstruksi
dan rekonstruksi diri dalam antarmuka organisme/mesin. Berkaitan dengan hal
ini, Ahmadiyah menjadikan teknologi digital sebagai perantara untuk membangun
identitas mereka dan juga melakukan dekonstruksi terhadap narasi yang dibangun oleh
kelompok mayoritas yang berasal dari kalangan Muslim konservatif. Hal ini,
sepanjang diorientasikan sebagai perlawanan terhadap narasi penindasan,
mencerminkan sebuah manuver ideologis yang dilakukan Ahmadiyah (Connely, 2016).
Dekonstruksi
melalui ruang digital terhadap narasi persekusi di media arus-utama pada
gilirannya menciptakan fragmentasi narasi (Schneider & Richter, 2015),
di mana Ahmadiyah mengambil bagian di dalamnya. McGuigan (2006) menegaskan
bahwa komputer (sebagai teknologi digital) dapat dilihat sebagai sebagai alat
pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi di sisi lain, sehingga
masyarakat bisa terlibat dalam produksi wacana dan pengetahuan. Berkaitan
dengan ini, pengalaman sehari-hari Ahmadiyah mendorong penciptaan narasi perlawanan
terhadap narasi arus-utama yang dikendalikan oleh mayoritas dari kelompok
Muslim konservatif (Ma’arif, 2022; Wulandari, 2023).
Berdasarkan
argumentasi di atas, maka pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini
adalah bagaimana Ahmadiyah menggunakan media digital dengan menghadirkan
pengalaman mereka untuk melawan narasi persekusi yang dikuasai oleh kelompok
mayoritas?
Referensi
McGuigan, J.
(2006). Modernity and Postmodern Culture, 2nd ed. Maidenhead: Open
University Press
McLuhan, M.
(2013). Understanding Media: The Extensions of Man. Critical Edition.
London: MIT Press.
Burhani, A.
(2019). 12. Ahmadiyah and Islamic Revivalism in Twentieth-Century Java,
Indonesia: A Neglected Contribution. In N. Saat & A. Ibrahim (Ed.), Alternative
Voices in Muslim Southeast Asia: Discourses and Struggles (pp. 199-220).
Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789814843812-014.
Connley, A.
(2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their
Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of
Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58. https://doi.org/10.1177/186810341603500102.
Hicks, J.
(2014). Heresy and Authority: Understanding the Turn against Ahmadiyah in
Indonesia. South East Asia Research, 22(3), 321–339. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0216.
Kelso, E.
(2022). Truth in Progress:
Second-Generation Ahmadi-Muslim Women Performing Integration in Germany.
Südasien-Chronik-South Asia Chronicle, Universität zu Berlin, pp.
285-306.
Mastro,
D. (2017, September 26). Race and
Ethnicity in US Media Content and Effects. Oxford Research Encyclopedia of
Communication. Retrieved 18 Nov. 2024, from https://oxfordre.com/communication/view/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore-9780190228613-e-122.
Mul, J. D.
(2015). “Database Identity: Personal and Cultural Identity in the Age of Global
Datafication.” In Been, W.D., Arora, P., & Hildebrandt, M. Crossroads in
New Media, Identity and Law the Shape of Diversity to Come. Palgrave Macmillan.
Bakti, A.F.
(2021). Involvement of The Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Promoting
“Peaceful Islam” Through The Website. Proceeding of Saizu International
Conference on Transdisciplinary Religious Studies, 82–89. https://doi.org/10.24090/icontrees.2021.14.
Rogers R. (2021).
Marginalizing the Mainstream: How Social Media Privilege Political Information.
Front. Big Data 4:689036. doi: 10.3389/fdata.2021.689036.
Sevea, I.
(2009). 7. The Ahmadiyya Print Jihad in South and Southeast Asia. In R. Michael
Feener & T. Sevea (Ed.), Islamic Connections: Muslim Societies in South
and Southeast Asia (pp. 134-148). Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789812309242-010.
Saeed, S.
(2012), "Political Fields and Religious Movements: The Exclusion of the
Ahmadiyya Community in Pakistan", Go, J. (Ed.) Political Power and
Social Theory (Political Power and Social Theory, Vol. 23), Emerald
Group Publishing Limited, Leeds, pp. 189-223. https://doi.org/10.1108/S0198-8719(2012)0000023011.
Schneider, N., & Richter, C. (2015). New Media
Configurations and Socio-Cultural Dynamics in Asia and the Arab World. Nomos
e-Library. doi.org/10.5771/9783845253923.
Sheikh, L.
A., & Raja, R. (2024). The Othering of the Ahmadiyya Muslim Community:
Constructing Narratives. International Journal on Minority and Group Rights
(published online ahead of print 2024). https://doi.org/10.1163/15718115-bja10157.
Schäfer, S.
(2017). Ahmadis or Indonesians? The polarization of post-reform public debates
on Islam and orthodoxy. Critical Asian Studies, 50(1), 16–36. https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1404925.
Nastiti, A.
(2014). Discursive Construction of Religious Minority: Minoritization of
Ahmadiyya in Indonesia. Deutsches Asienforschungszentrum Asian Series
Commentaries, 19, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2472294.
Salas-Pilco,
S.Z.; Xiao, K.; Oshima, J. (2022). Artificial Intelligence and New Technologies
in Inclusive Education for Minority Students: A Systematic Review. Sustainability,
14, 13572. https://doi.org/10.3390/su142013572.
Wulandari, P.
& Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based documentary
film of the Ahmadiyya Jamaat in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic
Studies, 61 (2), 393-417, doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar