Dampak Narasi Media Massa Arus-Utama terhadap Persepsi Masyarakat mengenai Ahmadiyah
SAP
14
Studi ini mengkritisi kecenderungan studi-studi Ahmadiyah yang mengabaikan kenyataan bahwa persekusi terhadap Ahmadiyah merupakan efek dari narasi media massa arus-utama yang berpihak pada kepentingan politik kelompok Muslim konservatif. Mayoritas studi tentang Ahmadiyah bersifat apolitis, hanya berfokus pada bentuk-bentuk persekusi yang dialami Ahmadiyah (Burhani, 2014; 2019), pada upaya representasi diri yang dilakukan Ahmadiyah melalui ruang media (Schafer, 2015), dan gagal memberikan jawaban mengapa persekusi terjadi (Ghaffar, 2023; Rizkita, 2022; Wulandari, 2023; Tanveer, 2020). Studi Wolf (2019) dan Saeed (2012) dalam konteks Pakistan tampaknya memberikan perhatian pada aspek politik dalam penindasan Ahmadiyah, tetapi mereka juga mengabaikan faktor pengaruh/dampak media. Berbeda dengan itu, dengan merujuk kepada gagasan Perse (2001) tentang pengaruh media massa terhadap opini publik, peneliti berargumen bahwa persekusi dan penindasan yang dialami oleh Ahmadiyah terjadi karena pengaruh media arus-utama yang sangat kuat dikendalikan oleh kepentingan politik mayoritas, dan dalam waktu yang lama, persekusi yang difasilitasi oleh media ini memengaruhi pikiran publik. Perse (2001) menegaskan bahwa dalam pembentukan opini publik, media massa berperan penting sebagai platform di mana isu politik dibahas dan peristiwa politik dimainkan.
Studi ini menggarisbawahi
bagaimana suara mayoritas (Muslim konservatif) secara politik mendominasi media
arus-utama, dan memengaruhi pikiran publik tentang Ahmadiyah. Hal ini sejalan
dengan gagasan Perse (2001) yang mengutip Noelle-Neumann tentang the spiral
of silence, di mana suara dominan mayoritas menguasai media massa dan mereka
yang minoritas karena takut dipersekusi memilih tidak menyuarakan pemikirannya.
Dalam hal ini, narasi mayoritas Muslim tentang Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat
dan menyimpang tampil menguasai media arus-utama di satu sisi (Heychael, Rafika, Adiprasetyo, & Arief, 2020),
sementara itu, di sisi lain, Ahmadiyah mendiamkan pandangan/narasi mereka untuk
menghindari sorotan atau persekusi mayoritas dominan (Kelso, 2022). Studi mutakhir
yang dilakukan Ma’arif (2022) di Indonesia dan Tanveer (2020) di Kanada mengonfirmasi
bagaimana Ahmadiyah berusaha untuk tidak terlihat berbeda dengan pandangan
mayoritas yang dominan.
Peneliti memandang bahwa apa yang dialami oleh Ahmadiyah sebagaimana di atas berkaitan dengan kekuatan media massa dalam pembentukan opini publik. Hal ini merujuk pada gagasan Perse
(2001) yang mengatakan, media massa merupakan kekuatan pencipta realitas sosial melalui peliputan opini publik; artinya media massa memproyeksikan
konstruksi pandangan politik dalam masyarakat berbasis pada pandangan dominan (Perse, 2001). Berkaitan dengan persekusi
Ahmadiyah, media massa arus-utama membentuk realitas sosial tentang kesesatan
komunitas ini dengan mengikuti pandangan dan norma mayoritas Muslim sebagai kelompok dominan, yang
dikendalikan oleh otoritas MUI. Studi Nastiti (2014) menegaskan bahwa
konstruksi sosial terkait minoritas Ahmadiyah terbentuk dengan memberikan prioritas
pada pandangan dan nilai-nilai mayoritas. Sehingga, secara politik, keberpihakan
media massa arus-utama kepada suara mayoritas telah melemahkan pengaruh
pemikiran Ahmadiyah.
Meskipun
Ahmadiyah, apabila merujuk Perse (2001) tentang tindakan selektif terhadap
konten media, dapat saja menolak konten media massa arus-utama yang
mempersekusi mereka, tetapi dominasi suara mayoritas dalam media arus-utama pada
waktu yang lama dan terus menerus telah membentuk opini publik tentang keberadaan
Ahmadiyah. Sehingga, pikiran umum yang berkembang dalam ruang publik adalah pikiran yang menempatkan Ahmadiyah sebagai kelompok yang telah melenceng dari keyakinan yang benar. Pengalaman
persekusi Ahmadiyah di berbagai dunia seperti Pakistan, Malaysia, dan Algeria (Greenwalt, Mohammad, & Vellturo, 2021) juga
mengkonfirmasi bagaimana pikiran mayoritas telah menjadi pikiran publik tentang
kesesatan Ahmadiyah (Sheikh, & Raja, 2024). Sheikh dan Raja (2024)
menunjukkan bagaimana narasi Islam konservatif yang merupakan mayoritas di Asia
Selatan digunakan untuk menyebut Ahmadiyah sebagai “yang lain” (telah keluar
dari kebenaran).
Peneliti
berpendapat bahwa pengalaman panjang persekusi Ahmadiyah di berbagai negara
tidak terlepas dari efek kumulatif media dalam waktu yang lama. Perse (2012) mengkategorikan
efek spiral keheningan ke dalam model efek kumulatif. Efek kumulatif berfokus
pada pentingnya konten media yang seragam di berbagai media massa arus-utama untuk memengaruhi pikiran publik.
Dalam hal ini, liputan media yang berpihak pada kepentingan mayoritas tampil konsisten dan terus menerus di berbagai
media. Sehingga, berbasis pada efek kumulatif ini, konten media arus-utama membentuk persepsi publik untuk turut mempersekusi Ahmadiyah. Meskipun beberapa studi seperti Burhani (2011), Schafer
(2015), dan Wulandari & Bawono (2023) memperlihatkan praktik bermedia dalam
komunitas Ahmadiyah, tetapi ketidak-berdayaan Ahmadiyah secara politik tampaknya
tidak mampu mengimbangi kekuatan efek kumulatif media massa yang telah
berlangsung lama.
Selain itu, dominasi kepentingan politik mayoritas dalam media massa arus-utama semakin terlihat dari ketakutan terhadap isolasi yang cukup konstan dialami komunitas Ahmadiyah belakangan ini. Karena ketakutan isolasi, Ahmadiyah mengubah strategi pergerakannya (Connley, 2016; Solikhati, 2022; Ma’arif, 2022) untuk menghindari benturan dengan kelompok mayoritas. Ketakutan ini terjadi, sebagaimana ditegaskan oleh Perse (2012), sebagai dampak paparan kumulatif dari penggambaran media massa arus-utama yang konsisten berpihak pada opini publik yang dominan. Akan tetapi, upaya Ahmadiyah menghindari tekanan mayoritas menjadi tidak berarti sejak efek paparan kumulatif media telah mengukuhkan norma umum yang berlaku dalam masyarakat tentang kesesatan Ahmadiyah (Heychael, 2021). Ahmadiyah karenanya menjadi semakin terisolasi.
Lebih
jauh, studi ini memandang bahwa bentukan pikiran publik terhadap Ahmadiyah merupakan
efek dari isu persekusi yang telah menjadi peristiwa media. Dayan & Katz (1992)
mengatakan bahwa peristiwa media melebihi apa yang ditayangkan sehari-hari oleh
media tetapi tentang peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan secara
langsung dalam media, menyita perhatian publik, dan memberikan efek secara
massal. Persekusi terhadap Ahmadiyah yang berlangsung lama dan terus menerus telah
menjadi sebuah krisis dalam konteks pluralitas (Budiwanti, 2001) dan sebagai
sebuah krisis, ia menjadi peristiwa media (Perse, 2001). Dalam hal ini, sebagai
peristiwa media, persekusi terhadap Ahmadiyah sering kali muncul mewarnai media
layaknya sebuah event yang berulang dengan keterlibatan banyak pihak.
Dan karena media massa arus-utama membingkai sesuatu berdasarkan opini
publik, peristiwa persekusi Ahmadiyah selalu dikuasi oleh narasi yang berpihak
pada kepentingan mayoritas.
Pertanyaan
yang hendak dijawab adalah bagaimana terpaan media massa arus-utama yang
bekerja untuk kepentingan politik kelompok mayoritas berpengaruh terhadap opini
masyarakat mengenai persekusi Ahmadiyah?
Referensi
Perse,
E. M., & Lambe, J. (2001). Media effects and society. Routledge.
Dayan,
D. and Katz, E. (1992) Media Events: The Live Broadcasting of History. Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Budiwanti, E. (2009).
Pluralism collapses: A Study of the Jama’ah Ahmadiyah Indonesia and its
persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.
Burhani, A.N. (2014).
Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and
Spiritual Appeals. Journal of Social Issues in Southeast Asia, 1 (3),
657-90.
Burhani,
A. (2019). 12. Ahmadiyah and Islamic Revivalism in Twentieth-Century Java,
Indonesia: A Neglected Contribution. In N. Saat & A. Ibrahim (Ed.), Alternative
Voices in Muslim Southeast Asia: Discourses and Struggles (pp.
199-220). Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789814843812-014.
Connley,
A. (2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their
Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of
Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58.
https://doi.org/10.1177/186810341603500102.
Greenwalt, P., Mohammad,
N.,Vellturo, M. (2021). Persecution of Ahmadiyya Muslims. United States
Commission on International Religious Freedom Kohari, A. (2021). How social
media became a deadly trap for a minority group in Pakistan. Rest of world.
https://restofworld.org/2021/facebook-pakistan-ahmadis/.
Heychael, M., Rafika,
H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious
communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.
Kelso,
E. (2022). Truth in Progress:
Second-Generation Ahmadi-Muslim Women Performing Integration in Germany.
Südasien-Chronik-South Asia Chronicle, Universität zu Berlin, pp.
285-306.
Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T.,
& Khuza’i, T. (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya
Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.
Rizkita, M., & Hidayat, A.
(2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi
terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20
(1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.
Tanveer. R. (2020). Ahmadiyya
and secularism: Religious persecution at home affects endorsement for secular
values in Canada. Religion and Culture Major Research Papers. 3.
https://scholars.wlu.ca/rlc_mrp/3.
Wolf, S.O. (2019). Persecution
against the Ahmadiyya Muslim Community in Pakistan: A multi-dimensional
perspective. Sadf Research Report, 1. www.sadf.eu.
Saeed, S. (2012), "Political Fields and Religious Movements: The Exclusion of the Ahmadiyya Community in Pakistan", Go, J. (Ed.) Political Power and Social Theory (Political Power and Social Theory, Vol. 23), Emerald Group Publishing Limited, Leeds, pp. 189-223. https://doi.org/10.1108/S0198-8719(2012)0000023011.
Schäfer, S. (2015). New Practices of Self-Representation. The Use of Online Media by Ahmadiyya and Shia communities in Indonesia and Malaysia. In Schneider, Richter (Hg.) 2015 – New Media Configurations and Socio-Cultural, 175–198.
Sheikh,
L. A., & Raja, R. (2024). The Othering of the Ahmadiyya Muslim Community:
Constructing Narratives. International Journal on Minority and Group
Rights (published online ahead of print 2024). https://doi.org/10.1163/15718115-bja10157.
Nastiti,
A. (2014). Discursive Construction of Religious Minority: Minoritization of
Ahmadiyya in Indonesia. Deutsches Asienforschungszentrum Asian Series
Commentaries, 19, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2472294.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar