Minggu, 17 November 2024

 

Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas

SAP 13

 

            Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa kehidupan dan pengalaman kelompok minoritas Ahmadiyah berada pada posisi terdominasi dan narasi mereka tidak dianggap oleh kelompok mayoritas (Hicks, 2018; Seikh & Raja, 2024; Mastro, 2017; Nastiti, 2014; Schäfer, 2017). Namun, kehadiran teknologi media digital telah membawa perubahan bagi pengalaman sehari-hari mereka sebagai minoritas (Schneider & Richter, 2015: Wulandari & Bawono, 2023; Kelso, 2022). Ahmadiyah sebagai pengguna media digital terlibat aktif dalam menghadirkan berbagai narasi alternatif yang berpihak pada eksistensi mereka (Sevea, 2009; Bakti, 2021; Burhani, 2020). Hal ini sejalan dengan gagasan McLuhan (2013) yang menyatakan bahwa kehadiran media sebagai teknologi telah mengubah masyarakat, menciptakan kebiasaan baru yang dinamis, terlepas apapun konten/pesan yang dibawanya. Dalam konteks ini, peneliti berargumen bahwa perubahan pengalaman keagamaan Ahmadiyah terjadi sebagai implikasi dari teknologi baru (digital) yang mereka gunakan. Teknologi baru ini memengaruhi cara pandang, cara interaksi, dan perlawanan Ahmadiyah terhadap kelompok mayoritas.

            Studi ini karenanya menggarisbawahi tentang bagaimana media digital memfasilitasi minoritas Ahmadiyah dalam upaya melawan narasi persekusi yang sentralistik pada media arus-utama yang dikendalikan oleh mayoritas. Berkaitan dengan ini, peneliti merujuk kepada gagasan McLuhan tentang teknologi/media dan desentralisasi. McLuhan (2013) mencontohkan bagaimana pada masanya telegraf membebaskan pers provinsi yang terpinggirkan dari ketergantungan pada pers metropolitan besar. Dalam hal ini, melalui media digital, Ahmadiyah sebagai komunitas terpinggirkan berusaha membebaskan diri dari atau menampilkan narasi alternatif di tengah dominasi narasi media yang dikendalikan oleh kelompok mayoritas. Hal ini sekaligus mengkritik sentralitas media yang telah menjadikan Ahmadiyah sebagai pihak yang dipersekusi dari waktu ke waktu (Connley, 2016).

                Lebih jauh, peneliti berargumen bahwa teknologi digital telah menghadirkan lingkungan baru bagi Ahmadiyah. Hal ini merujuk kepada pandangan McLuhan (2013) bahwa setiap teknologi (media) secara bertahap menciptakan lingkungan baru. Lingkungan tersebut tidak bersifat pasif tetapi sebagai proses yang aktif. Ahmadiyah dalam hal ini hidup dalam lingkungan baru yang aktif dan dinamis karena berbagai fitur teknologi digital yang mereka gunakan. Hal ini sebagaimana dikatakan Mul (2014) bahwa kelengkapan fitur teknologi digital memberikan pengalaman yang berbeda dalam praktik bermedia. Dalam konteks Ahmadiyah, lingkungan baru tersebut terbentuk dalam trend penampilan pengalaman keagamaan yang berbeda dari pola konvensional. Berkaitan dengan ini, temuan Schafer (2018) juga menunjukkan adanya praktik baru dalam representasi diri Ahmadiyah berbasis teknologi digital sebagaimana dialami oleh komunitas Ahmadiyah di Indonesia dan Malaysia.

          Akan tetapi, peneliti memandang bahwa penggunaan media digital oleh Ahmadiyah tidak semata-mata karena mereka dikendalikan oleh teknologi, tetapi juga berkaitan erat dengan kesadaran mereka akan dampak teknologi itu sendiri. Dalam hal ini, McLuhan (1999) melihat teknologi media menjalankan fungsi seni dengan membuat penggunanya sadar akan dampak psikologis dan sosial dari teknologi. Kehadiran teknologi digital karenanya telah berdampak pada kecenderungan Ahmadiyah untuk memikirkan kembali langkah dan posisi mereka di tengah kelompok mayoritas. Secara psikologis, teknologi digital membangkitkan motivasi diri Ahmadiyah untuk bermanuver di tengah dominasi (Sevea, 2009), sedangkan secara sosial, teknologi digital menciptakan ruang gerak yang lebih leluasa bagi minoritas Ahmadiyah (Wulandari & Bawono, 2023; Salas-Pilco, 2022).

Apa yang dialami oleh Ahmadiyah melalui teknologi/media digital, sebagaimana di atas, bekerja dalam gagasan 'media adalah pesan.' Berkaitan ini, McLuhan (2013) menekankan posisi media sebagai penanda kemajuan dan peradaban, tidak lagi semata-mata bergantung pada isi pesan yang disampaikan melaluinya. Artinya, pengalaman Ahmadiyah dalam konteks teknologi digital bukan saja berkutat pada isi pesan keagamaan yang mereka yakini tetapi juga tentang kemajuan dan trend teknologi dalam komunitas. Karenanya, peneliti berargumen bahwa meskipun pesan keagamaan Ahmadiyah yang disampaikan melalui media tidak diterima oleh atau tidak berdampak kepada mayoritas, penggunaan teknologi media terutama teknologi digital telah mencerminkan kemajuan komunitas ini (Burhani, 2020).

Kemajuan teknologi digital dalam komunitas Ahmadiyah pada gilirannya menyediakan ruang aktif bagi mereka untuk meninjau berbagai narasi besar tentang persekusi yang terdapat pada media arus-utama yang dikendalikan oleh kelompok mayoritas. McLuhan (2013) menjelaskan bahwa sering kali terdapat kekurangan atau kelemahan naratif dalam media arus-utama sehingga memerlukan partisipasi pengguna untuk meninjau, mengkritisi, dan menginterpretasikan narasi tersebut. Hal ini sejalan dengan gagasan keruntuhan meta-narasi dalam konteks post-modernitas. Dalam hal ini, peneliti merujuk kepada gagasan McGuigan (2006) yang mengatakan bahwa postmodernitas dicirikan dengan runtuhnya meta-narasi (narasi arus-utama). Pengalaman sehari-hari, teks media, dan bahkan budaya massa popular termasuk ke dalam ciri post-modernitas, yang tidak hanya terbatas pada budaya kaum elit (McGuigan, 2006). Artinya, dalam konteks ini, Ahmadiyah berada pada posisi sebagai agen aktif yang menarasikan pengalaman keseharian mereka melalui ruang digital, untuk melawan narasi utama (meta-narasi), dan tidak terikat dengan budaya atau narasi elit keagamaan yang dikendalikan oleh kelompok mayoritas. Hal ini, sejauh dilakukan melalui ruang digital, menurut Rogers (2021), menjadi ruang bagi penguatan narasi marginal secara lebih massif.

Perlawanan naratif, dalam konteks kemajuan teknologi digital, terbentuk sebagai praktik dekonstruksi terhadap narasi yang telah mapan. McGuigan (2006) berpendapat bahwa teknologi baru (digital) telah menjadi perantara identitas, menghasilkan metafora tentang dekonstruksi dan rekonstruksi diri dalam antarmuka organisme/mesin. Berkaitan dengan hal ini, Ahmadiyah menjadikan teknologi digital sebagai perantara untuk membangun identitas mereka dan juga melakukan dekonstruksi terhadap narasi yang dibangun oleh kelompok mayoritas yang berasal dari kalangan Muslim konservatif. Hal ini, sepanjang diorientasikan sebagai perlawanan terhadap narasi penindasan, mencerminkan sebuah manuver ideologis yang dilakukan Ahmadiyah (Connely, 2016).

Dengan mempertimbangkan pengaruh teknologi digital terhadap pengalaman bermedia Ahmadiyah, peneliti berargumen bahwa dekonstruksi yang dilakukan oleh Ahmadiyah tidak terlepas dari praktik pengalaman dan kebiasaan sehari-hari mereka. Pada gilirannya pengalaman tersebut akan menciptakan narasi atau wacana yang terfragmentasi, di mana Ahmadiyah mengambil bagian di dalamnya. Berkaitan dengan ini, McGuigan (2006) menegaskan bahwa komputer (sebagai teknologi digital) dapat dilihat sebagai alat untuk menyempurnakan kontrol dalam sistem pasar di satu sisi, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi di sisi lain, sehingga masyarakat bisa terlibat dalam produksi wacana dan pengetahuan. Artinya, dalam konteks ini, pengalaman sehari-hari Ahmadiyah dapat mendorong penciptaan wacana baru tentang keberagamaan (Ma’arif, 2022; Wulandari, 2023), sebuah wacana yang menempatkan tradisi Ahmadiyah sebagai sesuatu yang valid dan absah di tengah kelompok mayoritas.

Berdasarkan argumentasi di atas, maka pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana teknologi media digital menghadirkan pengalaman, kebiasaan, dan trend baru bagi kehidupan Ahmadiyah? (2) bagaimana Ahmadiyah memanfaatkan teknologi digital untuk melawan meta-narasi yang dikuasai oleh kelompok mayoritas?


Referensi

McGuigan, J. (2006). Modernity and Postmodern Culture, 2nd ed. Maidenhead: Open University Press

McLuhan, M. (2013). Understanding Media: The Extensions of Man. Critical Edition. London: MIT Press.

Burhani, A. (2019). 12. Ahmadiyah and Islamic Revivalism in Twentieth-Century Java, Indonesia: A Neglected Contribution. In N. Saat & A. Ibrahim (Ed.), Alternative Voices in Muslim Southeast Asia: Discourses and Struggles (pp. 199-220). Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789814843812-014.

Connley, A. (2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58. https://doi.org/10.1177/186810341603500102.

Hicks, J. (2014). Heresy and Authority: Understanding the Turn against Ahmadiyah in Indonesia. South East Asia Research22(3), 321–339. https://doi.org/10.5367/sear.2014.0216.

Kelso, E. (2022). Truth in Progress:  Second-Generation Ahmadi-Muslim Women Performing Integration in Germany. Südasien-Chronik-South Asia Chronicle, Universität zu Berlin, pp. 285-306.

Mastro, D.  (2017, September 26). Race and Ethnicity in US Media Content and Effects. Oxford Research Encyclopedia of Communication. Retrieved 18 Nov. 2024, from https://oxfordre.com/communication/view/10.1093/acrefore/9780190228613.001.0001/acrefore-9780190228613-e-122.

Mul, J. D. (2015). “Database Identity: Personal and Cultural Identity in the Age of Global Datafication.” In Been, W.D., Arora, P., & Hildebrandt, M. Crossroads in New Media, Identity and Law the Shape of Diversity to Come. Palgrave Macmillan.

Bakti, A.F. (2021). Involvement of The Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Promoting “Peaceful Islam” Through The Website. Proceeding of Saizu International Conference on Transdisciplinary Religious Studies, 82–89. https://doi.org/10.24090/icontrees.2021.14.

Rogers R (2021) Marginalizing the Mainstream: How Social Media Privilege Political Information. Front. Big Data 4:689036. doi: 10.3389/fdata.2021.689036.

Sevea, I. (2009). 7. The Ahmadiyya Print Jihad in South and Southeast Asia. In R. Michael Feener & T. Sevea (Ed.), Islamic Connections: Muslim Societies in South and Southeast Asia (pp. 134-148). Singapore: ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789812309242-010.

Saeed, S. (2012), "Political Fields and Religious Movements: The Exclusion of the Ahmadiyya Community in Pakistan", Go, J. (Ed.) Political Power and Social Theory (Political Power and Social Theory, Vol. 23), Emerald Group Publishing Limited, Leeds, pp. 189-223. https://doi.org/10.1108/S0198-8719(2012)0000023011.

Schneider, N., & Richter, C. (2015). New Media Configurations and Socio-Cultural Dynamics in Asia and the Arab World. Nomos e-Library. doi.org/10.5771/9783845253923.

Sheikh, L. A., & Raja, R. (2024). The Othering of the Ahmadiyya Muslim Community: Constructing Narratives. International Journal on Minority and Group Rights (published online ahead of print 2024). https://doi.org/10.1163/15718115-bja10157.

Schäfer, S. (2017). Ahmadis or Indonesians? The polarization of post-reform public debates on Islam and orthodoxy. Critical Asian Studies50(1), 16–36. https://doi.org/10.1080/14672715.2017.1404925.

Nastiti, A. (2014). Discursive Construction of Religious Minority: Minoritization of Ahmadiyya in Indonesia. Deutsches Asienforschungszentrum Asian Series Commentaries, 19, Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=2472294.

Salas-Pilco, S.Z.; Xiao, K.; Oshima, J. (2022). Artificial Intelligence and New Technologies in Inclusive Education for Minority Students: A Systematic Review. Sustainability14, 13572. https://doi.org/10.3390/su142013572.

Wulandari, P. & Bawono, H. (2023). Struggling for recognition archived-based documentary film of the Ahmadiyya Jamaat in Indonesia. Al-Jāmi‘Ah: Journal of Islamic Studies, 61 (2), 393-417, doi: 10.14421/ajis.2023.612.393-417.

 

 

 

 

 

Senin, 11 November 2024

 

Realitas Semu dalam Narasi Kesesatan Ahmadiyah di Ruang Digital

SAP 12

 

Studi sebelumnya menunjukkan bagaimana Ahmadiyah masih mengalami persekusi, seperti yang terjadi di Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan Algeria (Nagi, 2019; Budiwanti, 2009; Heychael, et.al, 2020; Greenwalt, 2021). Dalam hal ini, Ahmadiyah mengalami berbagai hujatan kebencian dalam media digital dengan tuduhan sesat (menyimpang dari kebenaran) oleh kelompok mayoritas (Rizkita, 2023; Azeem, 2021; Kohari, 2021). Namun, studi lain menegaskan bahwa persekusi terhadap kesesatan Ahmadiyah cenderung mengesampingkan fakta bahwa Ahmadiyah telah mulai membuka diri dengan meredefinisi keyakinan mereka dan juga telah lebih akomodatif dengan masyarakat sekitar (Tanveer; 2020; Ma’arif, 2022). Oleh karena itu, studi ini berargumen bahwa realitas tentang Ahmadiyah yang dibangun dalam ruang digital sebagai komunitas yang sesat dan menyimpang tidak lebih dari sekadar realitas semu yang tidak didasarkan pada kenyataan. Hal ini merujuk kepada pandangan Baudrillard (1994) tentang simulasi realitas yang tidak berbasis pada objek asli apa pun. Ini, tegas Baudrillard (1994), disebut sebagai realitas semu, di mana representasi yang awalnya mewakili realitas nyata telah bergeser menjadi realitas tanpa makna.

Media digital berperan dalam membangun realitas yang hyper (berlebihan). Baudrillard (1994) menyatakan bahwa digitality berpotensi menciptakan realitas melebihi apa yang dikonstruksi oleh iklan. Ia mengatakan “pemrosesan mikro, digitalitas, bahasa sibernetik melangkah lebih jauh melalui proses yang sangat mudah, melebihi iklan, dengan perantara sistem komputer.” Artinya, praktik penciptaan realitas di ruang digital melalui berbagai postingan lebih mudah dilakukan dari makanisme iklan (yang cenderung monoton). Dalam konteks ini, kelompok arus-utama mengubah kerja konstruksi mereka terhadap Ahmadiyah dari yang sebelumnya konvensional menuju pola-pola digital. Sehingga, persekusi melalui ruang digital ini semakin memperburuk posisi Ahmadiyah di tengah masyarakat (Rizkita, 2023; Kohari, 2021).

Apa yang dilakukan oleh kelompok arus-utama dalam ruang digital adalah membangun realitas Ahmadiyah dengan tidak mengikutsertakan sifat-sifat asli dari identitas Ahmadiyah yang terlihat di ruang nyata. Terkait hal ini, Baudrillard (1994) menyebutnya sebagai kegiatan informasi yang alih-alih memperkaya makna, tetapi menghancurkan intensitas makna dan mengakibatkan inersia (kecenderungan informasi yang diulang-ulang dan tidak berubah). Dalam hal ini, meskipun Ahmadiyah secara faktual telah menampakkan berbagai perubahan, seperti yang ditunjukkan oleh studi terdahulu tentang keterlibatan Ahmadiyah dalam kegiatan kemanusiaan secara nyata (Burhani, 2014; Solikhati, 2022; Tanveer, 2020; Moten, 2018), kelompok arus-utama tetap mengkonstruksi realitas kesesatan Ahmadiyah secara berulang-ulang dalam bahasa-bahasa yang konstan. Ini berarti bahwa realitas yang dibangun oleh arus-utama tentang Ahmadiyah tidak memperhatikan fakta-fakta sosial tentang eksistensi Ahmadiyah yang dinamis.

Pengabaian fakta sebenarnya tentang Ahmadiyah, menurut Baudrillard (1994), merupakan bentuk hiper-realitas di mana tanda tidak lagi mencerminkan realitas sesungguhnya tetapi ia mendahuluinya, bahkan mengaburkannya. Batas antara realitas dan representasinya menjadi kabur, sehingga apa yang dianggap ‘realitas’ justru merupakan konstruksi atau salinan dari sesuatu yang tidak lagi ada (Baudrillard, 1994). Dalam hal ini, masyarakat arus-utama telah terlebih dahulu membangun realitas kesesatan Ahmadiyah sebelum melakukan peninjauan lebih jauh tentang fakta-fakta ke-Ahmadiyah-an sehingga mengaburkan antara realitas simulatif dan realitas nyata (Chistyakov, 2020). Hal ini seperti yang diilustrasikan oleh Baudrillard (1994) tentang pembuatan peta yang mendahului wilayah; kesesatan Ahmadiyah telah terlebih dahulu diciptakan dalam ilusi sebelum melihat fakta yang sebenarnya.

Realitas semu yang dibangun oleh kelompok arus-utama terhadap Ahmadiyah pada akhirnya mendorong publik (masyarakat luas) ke arah yang pasif. Baudrillard (1994) memunculkan konsep deterrence (penangkalan), yaitu saat simulasi digunakan untuk menahan atau mengendalikan orang agar tidak terlalu banyak bertanya tentang realitas. Tanda atau gambar yang terus dilihat membuat orang merasa puas dan tidak mencari makna yang lebih dalam, sehingga menjadi pasif (Baudrillard, 1994). Dalam hal ini, untuk menangkal pertanyaan publik, kelompok arus-utama mengendalikan (mengelabui) publik dengan narasi atau dalih menjaga kesucian agama atau menjaga agama Tuhan, lalu dengan serta merta menyebut Ahmadiyah telah keluar dari keyakinan yang benar.

Hal yang penting pula digaris-bawahi adalah realitas Ahmadiyah yang dibangun oleh arus-utama melalui media digital semakin mengaburkan makna. Baudrillard (1994) berpendapat bahwa media menghasilkan implosi (keruntuhan) makna. Ia mengatakan, sering kali diasumsikan bahwa keberadaan informasi memproduksi makna; tetapi keberlimpahan informasi justru mengaburkan makna (we think that information produces meaning, the opposite occurs) (Baudrillard, 1994). Dalam narasi persekusi terhadap Ahmadiyah tampak bahwa keberlimpahan informasi (Bawden & Robinson, 2020) seputar persekusi Ahmadiyah di ruang digital tidak memberikan makna apapun bagi upaya menarik simpati terhadap penindasan yang dialami Ahmadiyah. Pada saat yang bersamaan itu justru hanya mengukuhkan legitimasi perilaku kekerasan terhadap Ahmadiyah. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan publik terjebak dalam nebula hiperreal (kabut realitas buatan), di mana media dan realitas yang tanpa fakta saling membaur sehingga makna menjadi kabur (Baudrillard, 1994).

Meskipun demikian, keberlangsungan praktik hiperrealitas terkait Ahmadiyah tidak terlepas dari realitas perubahan masyarakat, yang disebut oleh Castells (2010) sebagai masyarakat jaringan (network society), struktur masyarakat baru yang didasarkan pada jaringan yang diberdayakan oleh teknologi informasi. Masyarakat jaringan ini memiliki jangkauan global, melampaui batas-batas geografis konvensional. Studi ini karenanya berargumen bahwa realitas sosial baru yang berjejaring ini semakin membuka ruang bagi persekusi terhadap Ahmadiyah secara mudah dan terbuka. Hal ini terlihat misalnya, berdasarkan temuan Greenwalt (2021), bahwa persekusi Ahmadiyah di Malaysia berjejaring dengan persekusi Ahmadiyah yang terjadi di Pakistan dan Algeria.

Lebih jauh, dalam masyarakat informasi, persekusi arus-utama terhadap Ahmadiyah menggambarkan sebuah dominasi aktor dalam mempertahankan identitas budaya spesifik. Castells (2010) menegaskan bahwa masyarakat informasi ditandai dengan dominasi/keunggulan identitas sebagai prinsip yang mengatur mereka. Dalam konteks ini, seorang aktor sosial mengenali dirinya sendiri dan membangun makna terutama berdasarkan atribut budaya tertentu, dengan mengecualikan budaya lainnya (Castells, 2010; Couldry & Hepp, 2020). Artinya, melalui kemajuan teknologi informasi, kelompok arus-utama berusaha membangun/membingkai identitas budaya keagamaan mereka secara spesifik, sebagai yang benar di satu pihak (Yan, 2020), namun mengecualikan (menggangap sesat) kelompok Ahmadiyah di pihak lain.

Dengan memberikan penekanan pada realitas kesesatan Ahmadiyah sebagai sesuatu/realitas yang semu, penelitian ini karenanya tidak sejalan dengan pandangan atau narasi keagamaan konservatif yang menarasikan Ahmadiyah sebagai sesat dan menyimpang (Wolf, 2019). Mayoritas studi terdahulu yang berkembang dalam tradisi keagamaan arus-utama menempatkan Ahmadiyah sebagai pihak yang dimusuhi (Akbarizan, 2009; Faizah & Thohri, 2018; Monica et.al, 2023), bahkan dianjurkan untuk dipersekusi. Oleh karena itu, di tengah bangunan  realitas tentang kesesatan Ahmadiyah yang mendominasi ruang publik digital, penelitian ini berfokus/bertujuan untuk melihat sisi lain dari konstruksi tersebut dengan menggunakan kerangka Baudrillard (1994) dan Castells (2010). Kerangka Baudrillard (1994) berguna untuk melihat sisi semu dari realitas yang dibangun oleh arus-utama, sementara Castells (2010) akan membantu memperjelas budaya virtual arus-utama dalam konstruksi realitas tersebut.

Untuk itu, pertanyaan penelitiannya adalah (1) apa bentuk realitas semu tentang kesesatan Ahmadiyah yang disimulasi oleh kelompok arus-utama dalam ruang digital? (2) bagaimana budaya virtual berjejaring yang dimiliki arus-utama memengaruhi simulasi terhadap realitas Ahmadiyah di ruang digital?

 Mind Map

Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.

Castells, M. (2000). The Rise of the Network Society, 2nd ed. Oxford: Blackwell.

Akbarizan, A. (2009). Jamaah Ahmadiyah (Kesesatan yang Merusakan Kerukunan Umat Seagama). Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, 1(2). DOI: http://dx.doi.org/10.24014/trs.v1i2.456.

Azeem, T. (2021). Pakistan’s Social Media Is Overflowing With Hate Speech Against Ahmadis. The Diplomat. https://thediplomat.com/2021/07/pakistans-social-media-is-overflowing-with-hate-speech-against-ahmadis/.

Burhani, A.N. (2014). Conversion to Ahmadiyya in Indonesia: Winning Hearts through Ethical and Spiritual Appeals. Journal of Social Issues in Southeast Asia, (3), 657-90.

Budiwanti, E. (2009). Pluralism collapses: A Study of the Jama’Ah Ahmadiyah Indonesia and its persecution (May 19, 2009). Available at SSRN: https://ssrn.com/abstract=1645144 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1645144.

Bawden, D., & Robinson, L.  (2020). Information Overload: An Introduction. Oxford Research Encyclopedia of Politics. Retrieved 11 Nov. 2024, from https://oxfordre.com/politics/view/10.1093/acrefore/9780190228637.001.0001/acrefore-9780190228637-e-1360.

Chistyakov, Denis. (2020). Media Construction of Social Reality and Communication Impact on an Individual. Proceedings of 5th International Conference on Contemporary Education, Social Sciences and Humanities-Philosophy of Being Human as the Core of Interdisciplinary Research (ICCESSH 2020). 10.2991/assehr.k.200901.028.

Couldry, Nick, and Andreas Hepp, 'Media and the Social Construction of Reality', in Deana A. Rohlinger, and Sarah Sobieraj (eds), The Oxford Handbook of Digital Media Sociology (2022; online edn, Oxford Academic, 8 Oct. 2020), https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780197510636.013.2, accessed 10 Nov. 2024.

Faizah & Thohri, M. (2018). Strategi Penanganan Paham Keagamaan Menyimpang  dalam Perspektif Dakwah (Studi pada Kasus-kasus yang Ditangani MUI NTB). Jurnal Penelitian Keislaman, 14 (1), 13-29.

Greenwalt, P., Mohammad, N.,Vellturo, M. (2021). Persecution of Ahmadiyya Muslims. United States Commission on International Religious Freedom Kohari, A. (2021). How social media became a deadly trap for a minority group in Pakistan. Rest of world. https://restofworld.org/2021/facebook-pakistan-ahmadis/.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Moten, A. (2018). Ahmadiyya: Growth and Development of a Persecuted Community. Malaysian Journal of International Relations, 6. 35-46. 10.22452/mjir.vol6no1.4.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

Monica, A., Nur, A.L., Fauzi, A.M., & Sajari, D. (2018). Teologi Ahmadiyah di Indonesia Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, 5 (2), 17-136.  Doi: http://dx.doi.org/10.24042/ijitp.v5i2.19754.

Nagi, A. I. (2019). Hate, fear, conformity- How the Pakistani media is marginalizing the persecuted (Unpublished graduate research project). Institute of Business Administration, Pakistan. Retrieved from https://ir.iba.edu.pk/research-projects-msj/2.

Rizkita, M., & Hidayat, A. (2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20 (1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.

Tanveer. R. (2020). Ahmadiyya and secularism: Religious persecution at home affects endorsement for secular values in Canada. Religion and Culture Major Research Papers. 3.
https://scholars.wlu.ca/rlc_mrp/3.

Solikhati, S. (2022). Religious moderation and the struggle for identity through new media: Study of the Indonesian Ahmadiyya Congregation. Religious, 6 (2). https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/article/view/15058.

Wolf, S.O. (2019). Persecution against the Ahmadiyya Muslim Community in Pakistan: A multi-dimensional perspective. Sadf Research Report, 1. www.sadf.eu.

Yan, F. (2020). Media Construction of Social Reality. In: Image, Reality and Media Construction. Springer, Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-32-9076-1_3.

 

 

 

 

 

 

Selasa, 05 November 2024

 

Performativitas Perempuan Ahmadiyah (Perspektif Feminisme)_REVISI 

SAP 11

Temuan studi terdahulu menunjukkan bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami persekusi berbasis gender karena posisi mereka sebagai perempuan dari kelompok minoritas (Mak, 2020; Akram, 2022). Namun, hal ini berbeda dengan temuan lainnya, yang memperlihatkan keaktifan perempuan Ahmadiyah dalam melakukan perlawanan di tengah donimasi dan persekusi berbasis gender yang mereka alami (Noor, 2017). Mereka juga menampilkan taktik kompromis (Gosh, 2006) dengan berusaha membangun identitas baru di tengah persekusi (Trianita, 2012). Artinya, ini menunjukkan adanya upaya perempuan Ahmadiyah untuk mengartikulasikan ulang norma gender yang mendiskreditkan mereka. Karenanya, studi ini, dengan merujuk pandangan Butler (1990) tentang gender sebagai performativitas, berargumentasi bahwa identitas gender yang bersifat tidak tetap dan dihasilkan dari tindakan yang terus-menerus berulang dalam konteks norma sosial tertentu, memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan performa diri yang berbeda dengan norma dominan yang berkuasa.

Persekusi berbasis gender (menyakiti karena alasan minoritas) terhadap perempuan Ahmadiyah di Indonesia lebih banyak terjadi karena dominasi pandangan konservatif dari kelompok Muslim mayoritas (Gani, 2018), sebagaimana juga terjadi di Pakistan (Mak, 2020). Meskipun demikian, peneliti berargumentasi bahwa norma gender hasil konstruksi budaya konservatif Muslim tersebut dapat dilawan dengan penampilan (performance) diri yang aktif menggunakan narasi-narasi yang kritis. Hal ini sejalan dengan konsep relasi kritis (critical relation) yang merujuk pada kapasitas agen untuk mengartikulasikan sebuah alternatif tindakan yang mencerminkan norma-norma baru yang berpihak pada minoritas (Butler,2004). Artinya, dalam konteks relasi yang tidak setara dengan mayoritas ini, perempuan Ahmadiyah menggunakan kemampuan kritis mereka untuk mendekonstruksi pandangan gender dominan yang mempersekusi mereka.

Penampilan aktif oleh perempuan Ahmadiyah mencerminkan tindakan tubuh yang subversif (subversive bodily acts) (Butler, 1990), di mana penampilan diri dengan aksi-aksi tertentu bisa menjadi resistensi terhadap kuasa mayoritas. Dikatakan subversif karena perempuan Ahmadiyah melakukan tindakan perlawanan terhadap norma dominan yang berlaku. Alih-alih terikat dengan norma tersebut, mereka melakukan kritik terhadapnya melalui kegiatan naratif (Ma’arif, 2022; Connley, 2016; Noor, 2017). Dalam konteks ini, aksi subversif menjadi pilihan perempuan Ahmadiyah dalam melawan persekusi ganda yang mereka alami: sebagai perempuan yang dikungkung oleh norma-norma patriarkal di satu sisi, dan sebagai anggota kelompok minoritas yang dianggap menyimpang oleh mayoritas di sisi lain (Ahmadi, 2022).

Sejak penarasian identitas dilakukan oleh mayoritas untuk mengkonstruksi norma sosial gender, maka sebaliknya, penarasian identitas juga menjadi langkah yang bisa ditempuh perempuan Ahmadiyah dalam memaknai diri dan melawan norma dominan (Butler, 1993).  Praktik menarasikan identitas bisa dilakukan melalui ruang digital (Jos de Mul, 2015). Temuan studi sebelumnya menunjukkan keterbukaan ruang digital bagi masyarakat termasuk minoritas (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016). Karenanya, peneliti berargumentasi bahwa perempuan Ahmadiyah dapat menampilkan narasi gender alternatif yang berkaitan dengan diri mereka melalui media digital. Bahkan, melalui media digital, perempuan Ahmadiyah dapat mempertanyakan aturan dan norma-norma konservatif yang mempersekusi mereka (Kraidy, 2002). Selain itu, sifat media digital yang terbuka (Lindgren, 2022) justru menemukan relevansinya dengan sifat gender yang tidak tetap (Butler, 1990) sehingga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam relasi perempuan Ahmadiyah dengan norma dominan yang mempersekusi mereka.

Argumentasi ini berbeda dengan temuan Halwati (2022) dan Rosadi (2011) yang menunjukkan bagaimana narasi media menjadi ruang yang sering kali mendiskreditkan identitas perempuan minoritas seperti Ahmadiyah (Ahmadi, 2016).  Sementara itu, penampilan diri melalui narasi kritis di ruang digital menjadi bentuk komunikasi subversif perempuan Ahmadiyah (Ma’arif, 2022), yang memungkinkan pemahaman yang inklusif terhadap keragaman identitas (Butler, 1990; Gauntlett, 2008).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut: 

  1. Apa bentuk performa identitas dalam narasi yang ditampilkan oleh perempuan Ahmadiyah di Indonesia dalam ruang digital? 
  2. Bagaimana perempuan Ahmadiyah mengartikulasi ulang konstruksi sosial gender yang menyudutkan mereka melalui proses relasi kritis (critical relation)

Daftar Pustaka

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing Gender. Routledge.

Ahmed-Ghosh, H. (2006).  Ahmadi Women Reconciling Faith with Vulnerable Reality through Education. Journal of International Women's Studies, 8 (1), 36-51. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol8/iss1/3.

Ahmadi, F. (2006). Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context. Journal of Feminist Studies in Religion. 22. 33-53. 10.1353/jfs.2006.0035.

Ahmadi, D. (2024). Between a Rock and a Hard Place: The Intersectional Experiences of Iranian Feminists from Minoritized Ethno-National Backgrounds. Religions15(5), Article 533. https://doi.org/10.3390/rel15050533.

Akram, A.M. (2022). Navigating Triple Consciousness in the Diaspora: An Autoethnographic Account of an Ahmadi Muslim Woman in Canada. Religions13, 493. https://doi.org/10.3390/rel13060493.

Connley, A. (2016). Understanding the Oppressed: A Study of the Ahmadiyah and Their Strategies for Overcoming Adversity in Contemporary Indonesia. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 35(1), 29-58. https://doi.org/10.1177/186810341603500102.

Noor, N.M., Siti Syamsiyatun, JB., & Banawiratma. (2015). In search of peace: Ahmadi women’s experiences in conflict transformation. Ijtihad, 15 (1), DOI: https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i1.61-82.

Noor, N.M. Ahmadi Women Resisting Fundamentalist Persecution A Case Study on Active Group Resistance in Indonesia (Globalethics.net, 2017).

K.M. (2020). Gender-Based Perspectives on Key Issues Facing Poor Ahmadi Women in Pakistan, CREID Intersections Series, Coalition for Religious Equality and Inclusive Development. Brighton: Institute of Development Studies.

Gani, R. (2018). Islam dan kesetaraan gender. Al-Wardah, 12 (2), DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v12i2.139.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Gauntlett, D. (2008).  Media, Gender and Identity: An introduction. Routledge

Halwati, U., Alfi, I., Arifin, J., & Sirnopati, R. (2022). Konstruksi Gender dalam Media Islam dan Sekuler: Analisis Framing Berita Poligami, Pernikahan Dini, dan KDRT. Jurnal Komunikasi Islam12(2), 335–352. https://doi.org/10.15642/jki.2022.12.2.335-352.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Rangkuti, A. R. Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah pada Majalah Tempo dan Sabili). https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/58506.

Syafiq, M. (2022). Studi Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Sosial dan Keberagaman.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

Senin, 04 November 2024

 

Performativitas Perempuan Ahmadiyah (Perspektif Feminisme)

SAP 11

 

Temuan studi terdahulu menunjukkan bahwa perempuan Ahmadiyah mengalami persekusi berbasis gender karena posisi mereka sebagai perempuan dari kelompok minoritas (Mak, 2020; Akram, 2022). Namun, hal ini berbeda dengan temuan lainnya, yang memperlihatkan keaktifan perempuan Ahmadiyah dalam melakukan perlawanan di tengah donimasi dan persekusi berbasis gender yang mereka alami (Noor, 2017). Mereka juga menampilkan taktik kompromis (Gosh, 2006) dengan berusaha membangun identitas baru di tengah persekusi (Trianita, 2012). Artinya, ini menunjukkan adanya upaya perempuan Ahmadiyah untuk mengartikulasikan ulang norma gender yang mendiskreditkan mereka. Karenanya, studi ini, dengan merujuk pandangan Butler (1990) tentang gender sebagai performativitas, berargumentasi bahwa identitas gender yang bersifat tidak tetap dan dihasilkan dari tindakan yang terus-menerus berulang dalam konteks norma sosial tertentu, memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan performa diri yang berbeda dengan norma dominan yang berkuasa.

Persekusi berbasis gender terhadap perempuan Ahmadiyah di Indonesia lebih banyak terjadi karena dominasi pandangan konservatif dari kelompok Muslim mayoritas (Gani, 2018), sebagaimana juga terjadi di Pakistan (Mak, 2020). Meskipun demikian, peneliti berargumentasi bahwa norma gender hasil konstruksi budaya konservatif Muslim tersebut dapat dinegosiasi melalui tindakan-tindakan subversif (Butler, 1990). Dalam hal ini, konsep tindakan tubuh yang subversif (subversive bodily acts) (Butler, 1990) memungkinkan perempuan Ahmadiyah untuk menampilkan diri dengan ekspresi alternatif untuk menjelaskan peran mereka dalam masyarakat. Tindakan subversif menjadi pilihan untuk melawan persekusi ganda yang mereka alami: sebagai perempuan yang dikungkung oleh norma-norma patriarkal di satu sisi, dan sebagai anggota kelompok minoritas yang dianggap menyimpang oleh mayoritas di sisi lain (Ahmadi, 2022).

Sifat performativitas gender juga memungkinkan terjadinya relasi kritis (critical relation) perempuan Ahmadiyah (Butler, 2004) terhadap norma dominan yang berkuasa. Relasi kritis ini, tegas Butler (2004), bergantung pada kapasitas agen untuk mengartikulasikan sebuah alternatif tindakan yang mencerminkan norma-norma baru yang berpihak pada minoritas. Dalam konteks ini, tindakan alternatif yang dihasilkan oleh perempuan Ahmadiyah tentu mendapat tantangan dari otoritas Muslim sebagai pihak dominan yang berkuasa. Sehingga, untuk melakukan kritik, perempuan Ahmadiyah tidak bisa terlepas dari atau memerlukan kapasitas, kemampuan, dan keberanian untuk menarasikan identitas gender yang anti-mainstream, lebih cair, dan fleksibel (Gauntlett, 2008). Jos de Mul (2015) menegaskan bahwa penarasian identitas menjadi langkah yang bisa ditempuh oleh masyarakat termasuk perempuan Ahmadiyah dalam memaknai diri, dan itu bisa dilakukan melalui ruang digital.

Merujuk pada beberapa temuan studi sebelumnya tentang keterbukaan ruang digital bagi masyarakat termasuk minoritas (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016), peneliti berargumentasi bahwa perempuan Ahmadiyah dapat menampilkan narasi gender alternatif yang berkaitan dengan diri mereka melalui media digital. Bahkan, melalui media digital, perempuan Ahmadiyah dapat mempertanyakan aturan dan norma-norma konservatif yang mempersekusi mereka (Kraidy, 2002). Selain itu, sifat media digital yang terbuka (Lindgren, 2022) justru menemukan relevansinya dengan sifat gender yang tidak tetap (Butler, 1990) sehingga memungkinkan terjadinya dinamika baru dalam relasi perempuan Ahmadiyah dengan norma dominan yang mempersekusi mereka. Dengan demikian argumentasi ini berbeda dengan temuan Halwati (2022) dan Rosadi (2011) yang menunjukkan bagaimana media menjadi ruang yang sering kali merugikan identitas perempuan minoritas seperti Ahmadiyah (Ahmadi, 2016). 

 Usaha mendekonstruksi norma (gender) dominan melalui tindakan performative memang bukan praktik yang sederhana. Hal itu terjadi karena gender sendiri sebagai tindakan (doing) merujuk pada praktik improvisasi dalam sebuah situasi yang penuh dengan batasan (constraint) (Butler, 2004). Dalam konteks tersebut, meski perempuan Ahmadiyah bisa melakukan improvisasi tindakan untuk menghasilkan performa berbeda, namun itu sangat terbatas atau dibatasi oleh norma dominan yang berkuasa. Mereka (perempuan Ahmadiyah), karena konstruksi gender, tetap saja lebih rentan dengan persekusi dibandingkan laki-laki Ahmadiyah. Artinya, perempuan Ahmadiyah tidak melakukan peran gendernya sendirian, tetapi melakukannya dengan atau untuk orang lain yang menguasainya (Butler, 2004). Dalam konteks ini, perempuan Ahmadiyah sebagai anggota kelompok minoritas di Indonesia cenderung mengalami pembatasan, karena lingkungan sosial yang mengawasi gerak-gerik mereka (Wahab, 2019). Mereka bahkan menjadi sulit untuk menolak atau bisa keluar dari berbagai tekanan dari luar diri mereka (McDonagh-MP, 2020). 

Namun, sejak konstruksi sosial gender sendiri bukan merupakan sesuatu yang tetap dan memungkinkan untuk didekonstruksi (Butler, 1990), meskipun terus mengalami persekusi dan dominasi, tindakan perlawanan yang mereka (perempuan Ahmadiyah) lakukan secara berulang-ulang dan terus menerus (Butler, 1990) dapat membuka jalan bagi munculnya konstruksi sosial alternatif (Trianita, 2012). Untuk itu, peneliti menawarkan pandangan bahwa meski di satu sisi norma sosial konservatif di Indonesia berada pada posisi yang sangat dominan untuk mempersekusi perempuan Ahmadiyah (Butler, 1990), di sisi lain masih terdapat ruang agensi bagi perempuan Ahmadiyah dalam mengkonstruksi ulang peran gender mereka melalui narasi di ruang digital. Narasi digital sebagai bentuk komunikasi subversif perempuan Ahmadiyah bisa membuka peluang transformasi sosial (Ma’arif, 2022), meskipun dalam skala kecil, untuk mendorong pemahaman dan penerimaan yang inklusif terhadap keragaman identitas (Butler, 1990; Gauntlett, 2008).

Oleh karena itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut:

1. Apa bentuk performa identitas yang ditampilkan oleh perempuan Ahmadiyah di Indonesia dalam ruang digital?

2. Bagaimana perempuan Ahmadiyah mengartikulasi ulang konstruksi sosial gender yang menyudutkan mereka melalui proses relasi kritis (critical relation)?

 

Daftar Pustaka

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge.

Butler, J. (2004). Undoing Gender. Routledge.

Ahmed-Ghosh, H. (2006).  Ahmadi Women Reconciling Faith with Vulnerable Reality through Education. Journal of International Women's Studies, 8 (1), 36-51. http://vc.bridgew.edu/jiws/vol8/iss1/3.

Ahmadi, F. (2006). Islamic Feminism in Iran: Feminism in a New Islamic Context. Journal of Feminist Studies in Religion. 22. 33-53. 10.1353/jfs.2006.0035.

Ahmadi, D. (2024). Between a Rock and a Hard Place: The Intersectional Experiences of Iranian Feminists from Minoritized Ethno-National Backgrounds. Religions15(5), Article 533. https://doi.org/10.3390/rel15050533.

Akram, A.M. (2022). Navigating Triple Consciousness in the Diaspora: An Autoethnographic Account of an Ahmadi Muslim Woman in Canada. Religions, 13, 493. https://doi.org/10.3390/rel13060493.

Noor, N.M., Siti Syamsiyatun, JB., & Banawiratma. (2015). In search of peace: Ahmadi women’s experiences in conflict transformation. Ijtihad, 15 (1), DOI: https://doi.org/10.18326/ijtihad.v15i1.61-82.

K.M. (2020). Gender-Based Perspectives on Key Issues Facing Poor Ahmadi Women in Pakistan, CREID Intersections Series, Coalition for Religious Equality and Inclusive Development. Brighton: Institute of Development Studies.

Gani, R. (2018). Islam dan kesetaraan gender. Al-Wardah, 12 (2), DOI: http://dx.doi.org/10.46339/al-wardah.v12i2.139.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Gauntlett, D. (2008).  Media, Gender and Identity: An introduction. Routledge

Halwati, U., Alfi, I., Arifin, J., & Sirnopati, R. (2022). Konstruksi Gender dalam Media Islam dan Sekuler: Analisis Framing Berita Poligami, Pernikahan Dini, dan KDRT. Jurnal Komunikasi Islam12(2), 335–352. https://doi.org/10.15642/jki.2022.12.2.335-352.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Rangkuti, A. R. Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah pada Majalah Tempo dan Sabili). https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/58506.

Syafiq, M. (2022). Studi Kasus Diskriminasi terhadap Perempuan Ahmadiyah di Indonesia. Jurnal Sosial dan Keberagaman.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni, 18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

 

Senin, 28 Oktober 2024

Narasi Dialektis Kelompok Ahmadiyah dalam Media Digital

(Perspektif Strukturasi) 

SAP-10

           

Kelompok minoritas dianggap tidak memiliki keleluasaan untuk bergerak secara aktif karena struktur yang menguasainya (Baugut, 2020; Wilder, 2020; Saleem, 2019; Ghaffar, 2023). Namun, studi ini, dengan mempertimbangkan dialektika kontrol dari Giddens (1984), berargumentasi bahwa dalam konteks Indonesia, minoritas Ahmadiyah sebagai agen dan pihak yang kurang berkuasa (less powerful) dapat mengelola sumber daya dalam bentuk “narasi di media digital” untuk berdialektika dengan atau mengendalikan struktur (norma/aturan yang berlaku). Hal ini sejalan dengan pandangan Olsson (2016), Turner (2018), Abeele (2018), dan Lindgren (2022) yang melihat keaktifan individu/kelompok dalam bernarasi di ruang digital dalam relasinya dengan struktur. Karenanya, studi ini berbeda dengan interaksionalisme simbolik (Blumer, 1962), yang mengabaikan aspek struktur dan lebih menekankan tindakan berdasarkan pemaknaan simbol dalam interaksi sosial.

Merujuk pada pandangan Giddens (1984) tentang dualitas struktur, studi ini beragumentasi bahwa di tengah struktur “diskriminatif” di Indonesia, Ahmadiyah tidak serta merta terbatasi tindakannya. Dualitas struktur (duality of structure) (Giddens, 1984) tidak hanya membatasi (constrain) tindakan agen, tetapi juga membebaskan (enable)-nya, atau dengan kata lain, struktur juga dibentuk oleh tindakan agen. Ahmadiyah dalam konteks ini selain dikendalikan juga berada pada posisi yang mengendalikan/membentuk struktur “diskriminatif” tersebut. Sebagaimana di satu sisi, struktur “diskriminatif” itu terbentuk dari tindakan sosial (keagamaan) Ahmadiyah yang ‘dianggap berbeda’ dengan mayoritas, maka di sisi lain, tindakan tertentu Ahmadiyah juga bisa memengaruhi ataupun mengubah struktur tersebut (Connley, 2016).

Meskipun sebagian studi di negara seperti Pakistan (Ittefaq, 2023; McDonagh-MP, 2020), China (Lemon, 2022; Hua, 2022), Amerika (Pollock, 2024; Thijssen, 2022), termasuk juga Indonesia (Heychael et.al, 2023; Irawan, 2022), menggambarkan kuatnya diskriminasi terhadap minoritas, tetapi keterlibatan minoritas dalam bentuk “memberikan kritik-evaluatif” terhadap struktur itu menunjukkan adanya sebuah dialektika (Giddens, 1984). Studi ini karenanya berargumentasi bahwa dialektika antara agen (Ahmadiyah) dan struktur yang berkuasa sangat mungkin terjadi. Sehingga, minoritas Ahmadiyah, meskipun terdiskriminasi oleh aturan-aturan yang ada, bisa bertindak dinamis untuk mencari celah alternatif yang bisa mendorong pembentukan struktur baru yang berpihak pada kehidupan mereka (Ma’arif, 2022).

Relasi dinamis dan saling memengaruhi antara Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang berkuasa, menempatkan Ahmadiyah dalam proses “reproduksi tindakan sosial”, yang berpengaruh terhadap reproduksi struktur (Giddens, 1984). Artinya, di tengah struktur yang ada, keterlibatan aktif Ahmadiyah ini pada gilirannya dapat mendorong perubahan struktur yang lebih besar, misalnya dalam bentuk perubahan kebijakan atau aturan yang pro-Ahmadiyah di kemudian hari. Studi ini memandang, bahwa upaya reproduksi tersebut dapat dilakukan oleh minoritas Ahmadiyah melalui media digital (Etzioni, 2015; Heriyanto, 2018; Grant, 2016) dengan menyediakan berbagai narasi kritis. Hal ini sejalan dengan Kraidy (2002), yang melihat bagaimana kelompok minoritas melalui media “menjelaskan kembali” aturan dan norma yang berkuasa. Artinya, melalui ruang digital, komunitas Ahmadiyah dapat memberikan ‘artikulasi ulang’ terhadap struktur yang mempersekusi mereka, terutama menyangkut kebijakan diskriminatif dan tekanan sosial, yang membatasi ruang gerak mereka.

Tentu saja mengargumentasikan Ahmadiyah sebagai agen yang aktif dalam berdialektika dengan struktur, bahkan membentuk struktur, tidak terlepas dari perdebatan. Mayoritas temuan terdahulu menempatkan Ahmadiyah sebagai agen yang tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk bisa memengaruhi struktur dan cenderung hanya didominasi oleh struktur (Ghaffar, 2023; Wahab, 2018; Rizkita, 2023). Meskipun, argumentasi Connley (2016) tentang Ahmadiyah yang berusaha “merasionalisasi penindasan” mungkin bisa diterima sebagai bentuk tindakan/upaya memengaruhi struktur, tetapi Connley masih memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan bagaimana kesaling-pengaruhan antara Ahmadiyah dan struktur terjadi. Sebaliknya, studi ini berargumentasi, bahwa dialektika naratif (Giddens, 1984) antara Ahmadiyah dalam relasinya dengan struktur/aturan/norma yang ada dapat mendorong alternatif perubahan struktur yang bisa menjembatani mayoritas dan minoritas.

Berbeda dengan interaksionisme simbolik (Blumer, 1962) yang lebih relevan digunakan dalam konteks sosial yang relatif setara dan kurang terstruktur secara hierarkis (Fine & Kleinman, 1983), studi ini dilakukan dalam konteks di mana terdapat Ahmadiyah sebagai agen dan struktur yang berkuasa, yang terlibat upaya saling memengaruhi. Untuk itu, studi ini memilih pemikiran Giddens (1984) yang mengakui keberadaan norma/aturan yang menekan di satu sisi, tetapi juga di sisi lain tidak menafikan tindakan Ahmadiyah dalam menciptakan atau menantang struktur tersebut, yang dilakukan melalui ruang digital. Sehingga, studi ini mempertahankan argumentasi bahwa meskipun Ahmadiyah berada dalam struktur yang membatasi, mereka tetap aktif memanfaatkan agensi mereka untuk melakukan perubahan melalui praktik bermedia sehari-hari yang terorganisir.

            Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana Ahmadiyah sebagai agen menjadikan media digital sebagai ruang untuk berdialektika dengan struktur yang berkuasa di Indonesia?
  2. Apa saja bentuk-bentuk narasi dialektis yang dibuat oleh komunitas Ahmadiyah untuk mereproduksi atau memengaruhi ‘struktur’ yang kurang berpihak pada minoritas Ahmadiyah di Indonesia?


Mind map

Referensi

Giddens, A. (1984). The Constitution of Society:  Outline of the Theory of Structuration. Polity Press.

Blumer, H. (1962). “Society as Symbolic Interaction.”  In Rose, A. M. Human behavior and social processes; an interactionist approach. Boston: Houghton Mifflin.

Baugut, P. (2022). Perceptions of Minority Discrimination: Perspectives of Jews Living in Germany on News Media Coverage. Journalism & Mass Communication Quarterly, 99(2), 414-439. https://doi.org/10.1177/1077699020984759.

Etzioni, A. (2015). The Moral Dimension: Toward a New Economics. Free Press.

Fine, G. A., & Kleinman, S. (1983). Interpreting the Sociological Classics: Can There Be a 'True' Meaning of Marx? American Journal of Sociology, 88(1), 1-25.

Grant, A. (2016). ‘Don’t discriminate against minority nationalities’: practicing Tibetan ethnicity on social media. Asian Ethnicity18(3), 371–386. https://doi.org/10.1080/14631369.2016.1178062.

Heychael, M., Rafika, H.,Adiprasetyo, J., & Arief, Y. (2021). Marginalized religious communities in Indonesian Media: A Baseline Study. Remotivi.

Heryanto, A. (2018). Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture. NUS Press.

Ittefaq, M., Ejaz, M.W., Jamil, S., Iqbal, A., & Arif, R. (2021). Discriminated in Society and Marginalized in Media: Social Representation of Christian Sanitary Workers in Pakistan. Journalism Practice, DOI: 10.1080/17512786.2021.1939103.

Kraidy, M. M. (2002). Globalization of culture through the media. Handbook of International and Intercultural Communication, 3rd ed.

Lemon, E., Jardine, B., & Hall, N. (2022). Globalizing minority persecution: China’s transnational repression of the Uyghurs. Globalizations20(4), 564–580. https://doi.org/10.1080/14747731.2022.2135944.

Lindgren, S. (2022). Digital Media and Society.  SAGE Publications Ltd.

McDonagh-MP. (2020). The Persecution of Ahmadi Muslims and other Religious Communities in Pakistan. APPG for the Ahmadiyya Muslim Community.

Ma’arif, B.S., Hirzi, A.T., & Khuza’i, T.  (2022). Communication dynamics of Jemaat Ahmadiyya Indonesia (JAI) organization after persecution. Routledge.

Rizkita, M., & Hidayat, A. (2023). Love for all hatred for none: Ajaran teologis dan respon Ahmadi terhadap perusakan Masjid Miftahul Huda di media sosial. Nuanasa, 20 (1). https://doi.org/10.19105/nuansa.v20i1.7378.

Turner, G. (2018). The media and democracy in the digital era: is this what we had in mind? Media International Australia, 168(1), 3-14. https://doi.org/10.1177/1329878X18782987.

The Dui Hua Foundation. (2022). The Persecution of Unorthodox Religious Groups in China. https://duihua.org/the-persecution-of-unorthodox-religious-groups-in-china-a-report/.

Wahab, A. J., & Fakhruddin, F. (2019). Menakar efektivitas SKB tentang Ahmadiyah: Studi kasus konflik Ahmadiyah di Desa Gereneng Lombok Timur. Harmoni18(1), 443–459. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i1.356.

 

 

 

 

 

 


  Media Ahmadiyah dan Perlawanan Terhadap Meta-Narasi Keagamaan Mayoritas SAP 13               Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa k...